Dewas Terima 37 Laporan, ICW Ungkap Sebab Pelanggaran Etik Pegawai KPK Naik
loading...
A
A
A
JAKARTA - I ndonesia Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa maraknya pelaporan dugaan pelanggaran kode etik pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikarenakan dua hal.
Hal tersebut menanggapi data dari Dewan Pengawas KPK yang menerima 37 laporan dugaan pelanggaran kode etik insan komisi sepanjang semester I tahun ini. Jumlah tersebut bertambah dari tahun sebelumnya yang hanya 30 laporan.
"Pertama, hilangnya nilai keteladanan dari Pimpinan KPK dalam hal ini Firli Bahuri dkk.Betapa tidak, pada level pimpinan saja, khususnya Ketua KPK, telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan dua kali pelanggaran kode etik. Mulai dari bertemu pihak yang berperkara sampai menunjukkan gaya hidup mewah," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (25/6/2021).
"Belum lagi ditambah dengan pemeriksaan etik Lili Pintauli Siregar yang besar kemungkinan akan terbukti melanggar kode etik karena menjalin komunikasi dengan pihak berperkara," imbuhnya.
Faktor yang kedua yakni hukuman etik yang dijatuhkan oleh Dewan Pengawas tidak mencerminkan pemberian efek jera. Misal, putusan Dewas terhadap Firli Bahuri yang semestinya dapat dikenakan pelanggaran berat namun hanya diganjar dengan teguran tertulis. "Jadi, sederhananya Dewan Pengawas gagal dalam mengirimkan pesan tegas untuk seluruh insan KPK," jelasnya.
Di luar itu, ICW semakin tidak melihat kinerja konkret dari Dewan Pengawas. Sebab, seringkali hal-hal yang ditangani bertolak belakang dengan fakta sebenarnya. Misalnya saja untuk putusan tahun 2020 lalu terhadap Aprizal (ex Plt DirDumas KPK) yang semestinya dikenakan terhadap Ketua KPK.
Selain itu terdapat pula putusan yang dijatuhkan kepada Yudi Purnomo dalam polemik penyidik Rossa Purbo Bekti.
"Dewan Pengawas juga kerap gagal dalam menggali kebenaran materiil dari suatu peristiwa. Ambil contoh dalam persidangan kode etik Firli Bahuri lalu. Kala itu, Dewan Pengawas tidak mencermati lebih lanjut perihal kwitansi penyewaan helikopter yang kental dengan nuansa gratifikasi," ungkapnya.
Selain itu, ICW menilai proses penanganan dugaan pelanggaran kode etik di Dewan Pengawas juga lambat. "Sebut saja pelaporan sejumlah pegawai non aktif KPK terkait dengan Tes Wawasan Kebangsaan. Jika saja Dewan Pengawas objektif dan independen, semestinya putusan etik sudah dapat dijatuhkan kepada seluruh Pimpinan KPK," pungkasnya.
Hal tersebut menanggapi data dari Dewan Pengawas KPK yang menerima 37 laporan dugaan pelanggaran kode etik insan komisi sepanjang semester I tahun ini. Jumlah tersebut bertambah dari tahun sebelumnya yang hanya 30 laporan.
"Pertama, hilangnya nilai keteladanan dari Pimpinan KPK dalam hal ini Firli Bahuri dkk.Betapa tidak, pada level pimpinan saja, khususnya Ketua KPK, telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan dua kali pelanggaran kode etik. Mulai dari bertemu pihak yang berperkara sampai menunjukkan gaya hidup mewah," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (25/6/2021).
"Belum lagi ditambah dengan pemeriksaan etik Lili Pintauli Siregar yang besar kemungkinan akan terbukti melanggar kode etik karena menjalin komunikasi dengan pihak berperkara," imbuhnya.
Faktor yang kedua yakni hukuman etik yang dijatuhkan oleh Dewan Pengawas tidak mencerminkan pemberian efek jera. Misal, putusan Dewas terhadap Firli Bahuri yang semestinya dapat dikenakan pelanggaran berat namun hanya diganjar dengan teguran tertulis. "Jadi, sederhananya Dewan Pengawas gagal dalam mengirimkan pesan tegas untuk seluruh insan KPK," jelasnya.
Di luar itu, ICW semakin tidak melihat kinerja konkret dari Dewan Pengawas. Sebab, seringkali hal-hal yang ditangani bertolak belakang dengan fakta sebenarnya. Misalnya saja untuk putusan tahun 2020 lalu terhadap Aprizal (ex Plt DirDumas KPK) yang semestinya dikenakan terhadap Ketua KPK.
Selain itu terdapat pula putusan yang dijatuhkan kepada Yudi Purnomo dalam polemik penyidik Rossa Purbo Bekti.
"Dewan Pengawas juga kerap gagal dalam menggali kebenaran materiil dari suatu peristiwa. Ambil contoh dalam persidangan kode etik Firli Bahuri lalu. Kala itu, Dewan Pengawas tidak mencermati lebih lanjut perihal kwitansi penyewaan helikopter yang kental dengan nuansa gratifikasi," ungkapnya.
Selain itu, ICW menilai proses penanganan dugaan pelanggaran kode etik di Dewan Pengawas juga lambat. "Sebut saja pelaporan sejumlah pegawai non aktif KPK terkait dengan Tes Wawasan Kebangsaan. Jika saja Dewan Pengawas objektif dan independen, semestinya putusan etik sudah dapat dijatuhkan kepada seluruh Pimpinan KPK," pungkasnya.
(muh)