Anis Matta Ungkap Dua Sumpah yang Menginspirasi Partai Gelora
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengungkapkan, ada dua sumpah yang menginspirasi Partai Gelora. Anis mengungkapkannya saat memberikan pengantar diskusi Gelora Talk4 bertajuk "Pembelahan Politik di Jagat Media Sosial: Residu Pemilu yang Tak Kunjung Usai" di Jakarta, Selasa (22/6/2021).
"Ada dua sumpah yang menginspirasi kami di Partai Gelora . Pertama, Sumpah Palapa dan kedua Sumpah Pemuda. Kedua sumpah ini menjadi ilham bagi para pendiri bangsa yang waktu itu ingin merumuskan identitas baru, bernama Indonesia," ujar Anis Matta.
Dia menambahkan, Sumpah Palapa Gajah Mada tidak hanya menginspirasi Partai Gelora, tapi juga memberi ilham bagi Mohammad Yamin, tokoh pemuda untuk memelopori Sumpah Pemuda. "Itu sebabnya, Mohammad Yamin otak di balik Sumpah Pemuda menulis panjang tentang Gajah Mada yang bisa mengonsolidasikan seluruh potensi dan bisa fokus menyelesaikan krisis sistemik yang terjadi saat itu," tuturnya.
Maka itu, dia mengatakan bahwa Sumpah Palapa Gajah Mada juga bisa menjadi tekad untuk melahirkan sumpah ketiga, yakni Sumpah Tekad Indonesia untuk keluar dan bangkit dari krisis, sehingga mampu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan lima besar dunia.
"Andaikata Gajah Mada dan para perintis Sumpah Pemuda masih ada, mereka semuanya akan ada dalam forum diskusi kita ini. Untuk melihat persoalan yang kita bahas, kita tidak tahu arah sejarah yang sedang kita tuju, ada semacam kebingungan kolektif yang mendera para pemimpin kita saat ini," kata Anis Matta.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia Mahfuz Sidik mengatakan jika pembelahan sosial dan politik di masyarakat segera tidak diakhiri, maka bisa menyebabkan terjadinya fail state (negara gagal) dan berujung bubarnya negara.
"Pembelahan sosial dan politik yang terbiarkan, residunya akan semakin mengental dan dapat menyebabkan fail state, negara gagal. Di beberapa negara pembelahan menjadi pemicu negara bubar, sehingga harus ada solusi segera untuk mengakhiri," ujar Mahfuz dalam kesempatan sama.
Peneliti komunikasi dan politik Guntur F. Prisanto menilai pembelahan sosial politik di media sosial (medsos) bukanlah cerminan realita sesungguhnya, hanya gambaran di dunia maya. Sebab, kata dia, pembelahan sosial adalah keniscayaan dalam politik. "Karena penganut demokrasi liberal perlu mengindentifikasi secara tegas pilihannya. Parpol lah yang bertanggung jawab untuk mencairkan politik identitas ini," kata Guntur.
Dyah Kartika Rini, penggerak JASMEV, menilai bisa saja masyarakat tertentu hanya ingin menunjukkan pilihan dukungan dan politik di medsos saja, tetapi tidak di dunia nyata. "Boleh jadi dia amat garang di medsos, tetapi sangat berbeda di dunia nyata. Pembelahan sosial sebenarnya sudah dimulai dari Pilkada DKI 2012 lalu, jadi kalau dihitung sudah berlangsung 9 tahun," ujar Dyah.
Penggerak Relawan Ganti Presiden Ari Saptono menegaskan, pada titik tertentu politik identitas ini justru menguntungkan para calon kandidat independen seperti yang terjadi dalam Pilkada Serentak 2020, karena mereka dianggap masih bersih dan tidak terlibat konflik kepentingan selama ini.
"Lebih dari 50 persen calon independen dalam pilkada menang seperti di Lampung dan beberapa kota di Kalimantan Timur. Masyarakat sudah apatis dan jenuh dengan partai politik, lalu memilih calon alternatif yang relatif masih murni," ujar Ari Saptono.
"Ada dua sumpah yang menginspirasi kami di Partai Gelora . Pertama, Sumpah Palapa dan kedua Sumpah Pemuda. Kedua sumpah ini menjadi ilham bagi para pendiri bangsa yang waktu itu ingin merumuskan identitas baru, bernama Indonesia," ujar Anis Matta.
Dia menambahkan, Sumpah Palapa Gajah Mada tidak hanya menginspirasi Partai Gelora, tapi juga memberi ilham bagi Mohammad Yamin, tokoh pemuda untuk memelopori Sumpah Pemuda. "Itu sebabnya, Mohammad Yamin otak di balik Sumpah Pemuda menulis panjang tentang Gajah Mada yang bisa mengonsolidasikan seluruh potensi dan bisa fokus menyelesaikan krisis sistemik yang terjadi saat itu," tuturnya.
Maka itu, dia mengatakan bahwa Sumpah Palapa Gajah Mada juga bisa menjadi tekad untuk melahirkan sumpah ketiga, yakni Sumpah Tekad Indonesia untuk keluar dan bangkit dari krisis, sehingga mampu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan lima besar dunia.
"Andaikata Gajah Mada dan para perintis Sumpah Pemuda masih ada, mereka semuanya akan ada dalam forum diskusi kita ini. Untuk melihat persoalan yang kita bahas, kita tidak tahu arah sejarah yang sedang kita tuju, ada semacam kebingungan kolektif yang mendera para pemimpin kita saat ini," kata Anis Matta.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia Mahfuz Sidik mengatakan jika pembelahan sosial dan politik di masyarakat segera tidak diakhiri, maka bisa menyebabkan terjadinya fail state (negara gagal) dan berujung bubarnya negara.
"Pembelahan sosial dan politik yang terbiarkan, residunya akan semakin mengental dan dapat menyebabkan fail state, negara gagal. Di beberapa negara pembelahan menjadi pemicu negara bubar, sehingga harus ada solusi segera untuk mengakhiri," ujar Mahfuz dalam kesempatan sama.
Peneliti komunikasi dan politik Guntur F. Prisanto menilai pembelahan sosial politik di media sosial (medsos) bukanlah cerminan realita sesungguhnya, hanya gambaran di dunia maya. Sebab, kata dia, pembelahan sosial adalah keniscayaan dalam politik. "Karena penganut demokrasi liberal perlu mengindentifikasi secara tegas pilihannya. Parpol lah yang bertanggung jawab untuk mencairkan politik identitas ini," kata Guntur.
Dyah Kartika Rini, penggerak JASMEV, menilai bisa saja masyarakat tertentu hanya ingin menunjukkan pilihan dukungan dan politik di medsos saja, tetapi tidak di dunia nyata. "Boleh jadi dia amat garang di medsos, tetapi sangat berbeda di dunia nyata. Pembelahan sosial sebenarnya sudah dimulai dari Pilkada DKI 2012 lalu, jadi kalau dihitung sudah berlangsung 9 tahun," ujar Dyah.
Penggerak Relawan Ganti Presiden Ari Saptono menegaskan, pada titik tertentu politik identitas ini justru menguntungkan para calon kandidat independen seperti yang terjadi dalam Pilkada Serentak 2020, karena mereka dianggap masih bersih dan tidak terlibat konflik kepentingan selama ini.
"Lebih dari 50 persen calon independen dalam pilkada menang seperti di Lampung dan beberapa kota di Kalimantan Timur. Masyarakat sudah apatis dan jenuh dengan partai politik, lalu memilih calon alternatif yang relatif masih murni," ujar Ari Saptono.
(zik)