Polemik soal Pajak Terus Bergulir, Begini Penjelasan Ketua Banggar DPR
loading...
A
A
A
JAKARTA - Polemik rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Revisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) hingga kini terus bergulir.
Kendati demikian, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah memastikan rencana pemerintah itu tidak akan memberatkan masyarakat.
Justru dikatakannya revisi KUP merupakan grand strategy menuju reformasi perpajakan berkeadilan yang akan menguntungkan bangsa ini kedepannya.
Karena itu, Said meminta agar wacana ini jangan dibenturkan seolah-olah mau memukul masyarakat bawah sehingga daya belinya menurun. "Tidak seperti itu. Yakinlah, ini menguntungkan kita semua sebagai anak bangsa," tegas Said di Jakarta, Senin (21/6/2021).
Dia menjelaskan, perdebatan mengenai encana revisi KUP ini agak aneh. Bahkan pembahasan yang berkembang sekarang sudah liar di luar batas kepatutan. Padahal dalam reformasi pajak terdapat berbagai macam tarif PPN seperti PPN umum, PPN multitarif dan PPN final.
Ironisnya, sambung dia, yang berkembang sekarang ini PPN "multitafsir". "Yaitu tafsir seenaknya di luar batas kepatutan. Harus diakui, pemerinah sekarang ini serba salah, begini salah, begitu salah. Ini kan tidak fair juga," ujar politikus PDIP ini.
Dia mendukung rencana revisi KUP yang diajukan pemerintah. Dukungan ini dalam rangka reformasi perpajakan berkeadilan. Akan tetapi jelasnya, harus ada skema dalam implementasinya, baik itu PPN umum, PPN multitarif dan PPN final.
"Tidak bisa digebyah uyah bahwa masyarakat bawah yang tradisional langsung beli beras kena PPN. Tidak seperti itu," ujarnya.
Namun demikian, kalaupun itu benar dilakukan maka DPR akan memaksa pemerintah memberikan stimulus ke masyarakat lapisan bawah.
Berdasarkan strukturnya, komposisi masyarakat Indonesia terdiri dari 40% masyarakat kelas bawah, 40% masyarakat kelas menengah dan 20% masyarakat kelas atas.
"Yang ramai komentar soal PPN ini kan 40 persen kelas menengah dan 20 persen kelas atas. Yang kelas menengah mereka diam. Tetapi, jangan karena tidak tau apa-apa, kita tidak melakukan pembelaan. Itu kan tidak boleh," terangnya.
Said mengaku banyak yang mengkritisi wacana kenaikan PPN ini. Kekinian, bleid ini dipersoalkan lantaran dirancang ditengah pandemi covid-19 melanda Indonesia.
Akan tetapi, lanjut dia, ini bukan soal pendemi atau bukan. Tetapi, justru disaat pandemi ini, pemerintah menata sistem perpajakan nasional melalui reformasi perpajakan.
Sehingga saat pandemi Covid-19 ini berlalu, kata dia, bangsa ini mempunyai sistem perpajakan yang ajeg. "Karena kita ingin punya modalitas kekuatan fiskal yang berkelanjutan. Kalau tidak ditata mulai sekarang dengan alasan pandemi kapan lagi waktu kita," ucapnya.
Untuk itu, Said memastikan proses pembahasan RUU KUP ini dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan semua stakeholder agar memiliki resonansi yang sama. "Bahwa, revisi ini bukan semata-mata untuk menutup lobang fiskal ataupun menambah pendapatan negara. Tetapi bagaimana fiskal kita berkelanjutan,"ujarnya. Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah
Ketua DPP PDIP ini mengaku nuansa berkeadilan hilang dari narasi perpajakan selama ini. Revisi perpajakan, tutur dia, tidak hanya mencakup PPN, tapi juga pajak lainnya seperti pajak penghasilan atau PPh Badan, PPh Perdagangan Melalui Sistem Elekronik (PMSE), PPh Orang Pribadi dan Carbon Tax.
"Sebagai contoh, bayangkan saja, di PPh Badan kita, ada 5.000 lebih perusahaan menengah atas. Selama 5 tahun bahkan 10 tahun eksis terus, tetapi selalu mengaku rugi," tuturnya.
Semestinya, kalau lima tahun rugi maka potensi bangkrut. Namun anehnya, tidak bangkrut juga. Maka terhadap perusahaan yang selalu rugi terus tiap tahun tetapi masih eksis maka harus ada kewajiban pajak minimun yang dikenakan. "Berarti, tingkat kepatuhan membayar pajaknya rendah. Makanya, dikenakan pajak minimun," lanjutnya.
Said mengatakan, saat ini PPN Indonesia paling rendah se-Asia. Bahkan tarif PPN Indonesia kalah dengan Vietnam “PPN kita paling rendah. Di Asia rata-rata PPN 12 persen. Sedangkan rata-rata anggota G20 17 persen,” ungkapnya.
Kendati demikian, Said memastikan DPR belum secara resmi membahas revisi UU KUP. "Saya meminta publik tidak menafsirkan sepotong-sepotong isi draf tersebut karena persepsi yang berkembang multitafsir. Padahal DPR-nya belum membahas itu,” tuturnya.
Kendati demikian, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah memastikan rencana pemerintah itu tidak akan memberatkan masyarakat.
Justru dikatakannya revisi KUP merupakan grand strategy menuju reformasi perpajakan berkeadilan yang akan menguntungkan bangsa ini kedepannya.
Karena itu, Said meminta agar wacana ini jangan dibenturkan seolah-olah mau memukul masyarakat bawah sehingga daya belinya menurun. "Tidak seperti itu. Yakinlah, ini menguntungkan kita semua sebagai anak bangsa," tegas Said di Jakarta, Senin (21/6/2021).
Dia menjelaskan, perdebatan mengenai encana revisi KUP ini agak aneh. Bahkan pembahasan yang berkembang sekarang sudah liar di luar batas kepatutan. Padahal dalam reformasi pajak terdapat berbagai macam tarif PPN seperti PPN umum, PPN multitarif dan PPN final.
Ironisnya, sambung dia, yang berkembang sekarang ini PPN "multitafsir". "Yaitu tafsir seenaknya di luar batas kepatutan. Harus diakui, pemerinah sekarang ini serba salah, begini salah, begitu salah. Ini kan tidak fair juga," ujar politikus PDIP ini.
Dia mendukung rencana revisi KUP yang diajukan pemerintah. Dukungan ini dalam rangka reformasi perpajakan berkeadilan. Akan tetapi jelasnya, harus ada skema dalam implementasinya, baik itu PPN umum, PPN multitarif dan PPN final.
"Tidak bisa digebyah uyah bahwa masyarakat bawah yang tradisional langsung beli beras kena PPN. Tidak seperti itu," ujarnya.
Namun demikian, kalaupun itu benar dilakukan maka DPR akan memaksa pemerintah memberikan stimulus ke masyarakat lapisan bawah.
Berdasarkan strukturnya, komposisi masyarakat Indonesia terdiri dari 40% masyarakat kelas bawah, 40% masyarakat kelas menengah dan 20% masyarakat kelas atas.
"Yang ramai komentar soal PPN ini kan 40 persen kelas menengah dan 20 persen kelas atas. Yang kelas menengah mereka diam. Tetapi, jangan karena tidak tau apa-apa, kita tidak melakukan pembelaan. Itu kan tidak boleh," terangnya.
Said mengaku banyak yang mengkritisi wacana kenaikan PPN ini. Kekinian, bleid ini dipersoalkan lantaran dirancang ditengah pandemi covid-19 melanda Indonesia.
Akan tetapi, lanjut dia, ini bukan soal pendemi atau bukan. Tetapi, justru disaat pandemi ini, pemerintah menata sistem perpajakan nasional melalui reformasi perpajakan.
Sehingga saat pandemi Covid-19 ini berlalu, kata dia, bangsa ini mempunyai sistem perpajakan yang ajeg. "Karena kita ingin punya modalitas kekuatan fiskal yang berkelanjutan. Kalau tidak ditata mulai sekarang dengan alasan pandemi kapan lagi waktu kita," ucapnya.
Untuk itu, Said memastikan proses pembahasan RUU KUP ini dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan semua stakeholder agar memiliki resonansi yang sama. "Bahwa, revisi ini bukan semata-mata untuk menutup lobang fiskal ataupun menambah pendapatan negara. Tetapi bagaimana fiskal kita berkelanjutan,"ujarnya. Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah
Ketua DPP PDIP ini mengaku nuansa berkeadilan hilang dari narasi perpajakan selama ini. Revisi perpajakan, tutur dia, tidak hanya mencakup PPN, tapi juga pajak lainnya seperti pajak penghasilan atau PPh Badan, PPh Perdagangan Melalui Sistem Elekronik (PMSE), PPh Orang Pribadi dan Carbon Tax.
"Sebagai contoh, bayangkan saja, di PPh Badan kita, ada 5.000 lebih perusahaan menengah atas. Selama 5 tahun bahkan 10 tahun eksis terus, tetapi selalu mengaku rugi," tuturnya.
Semestinya, kalau lima tahun rugi maka potensi bangkrut. Namun anehnya, tidak bangkrut juga. Maka terhadap perusahaan yang selalu rugi terus tiap tahun tetapi masih eksis maka harus ada kewajiban pajak minimun yang dikenakan. "Berarti, tingkat kepatuhan membayar pajaknya rendah. Makanya, dikenakan pajak minimun," lanjutnya.
Said mengatakan, saat ini PPN Indonesia paling rendah se-Asia. Bahkan tarif PPN Indonesia kalah dengan Vietnam “PPN kita paling rendah. Di Asia rata-rata PPN 12 persen. Sedangkan rata-rata anggota G20 17 persen,” ungkapnya.
Kendati demikian, Said memastikan DPR belum secara resmi membahas revisi UU KUP. "Saya meminta publik tidak menafsirkan sepotong-sepotong isi draf tersebut karena persepsi yang berkembang multitafsir. Padahal DPR-nya belum membahas itu,” tuturnya.
(dam)