Kritik Adalah Biasa, tapi Harus Tetap Beretika dan Solutif

Jum'at, 18 Juni 2021 - 00:34 WIB
loading...
Kritik Adalah Biasa,...
Indonesia adalah negara demokrasi. Urusan kritik mengkritik adalah hal biasa. Apalagi kebebasan berpendapat merupakan sesuatu yang dilindungi Undang-undang. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Indonesia adalah negara demokrasi. Kritik mengkritik adalah sesuatu yang biasa. Apalagi kebebasan berpendapat merupakan hal yang dilindungi Undang-undang.

Meski demikian, kritik itu seyogyanya disampaikan dengan beretika dan cara-cara santun. Kritik juga harus membangun, bukan malah melontarkan ujaran kebencian, apalagi penghinaan.

Menurut pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah mengatakan, kririk jangan sampai berisi ujaran kebencian atau hate speech. Kritik juga jangan mengarah kepada personal atau menyebut nama seseorang yang kemudian bisa menjadi penghinaan dan pencemaran nama baik.

Dia mengatakan, kritik harus menekankan kepada perbaikan-perbaikan. ”Kritik itu harus menegakkan solusi, bahasa kerennya kritik yang solutif. Jangan mengkritik hanya karena kepentingan-kepentingan saja. Pada dasarnya semua kritik itu diperbolehkan tapi kritik itu didasarkan pada data untuk memberikan suatu rekomendasi atau masukan,” ujar Trubus di Jakarta, Kamis (17/6/2021).
Kritik Adalah Biasa, tapi Harus Tetap Beretika dan Solutif

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah. Foto/Istimewa

Trubus menegaskan masyarakat Indonesia majemuk. Ada tiga upaya bagaimana membangun demokrasi dalam konteks mengkritik, tetapi tetap mengedepankan etika kesantunan publik.

Pertama, melakukan edukasi kepada masyarakat dengan memberikan pemahaman bahwa kritik harus menempatkan pada persoalan aspek-aspek membangun kebersamaan, toleransi, mendekati empowerment atau memberdayakan masyarakat.

“Tapi kondisinya masyarakat kita ada yang minim literasi karena pendidikannya kurang. Ini bagaimana disinergikan. Jadi memberdayakan mereka supaya saling bersinergi,” ungkapnya.
Kedua, lanjut Trubus, kririk harus ditempatkan atau jangan sampai berisi ujaran kebencian atau hate speech. Jangan mengarah kepada yang bersifat personal atau menyebut nama seseorang. Sebab itu bisa menjurus kepada penghinaan dan pencemaran nama baik. “Ketiga, kritik harus menegakkan solusi yang mana bahasa kerennya itu kritik yang solutif, Jadi kritik solutif itu kritik yang memberikan jalan keluar terhadap persoalan-persoalan yang ada,” tuturnya.

Dia mengakui kelemahan para pengkritik, baik yang dilakukan buzzer-buzzer atau pun yang dilakukan oleh kalangan akademisi terkadang tidak solutif. “Mengapa ? Karena lebih kepentingan-kepentingan saja. Karena apa? Ketika mereka diminta untuk menjelaskan secara rinci atau pun mendeskripsikan persoalan yang disampaikan, kebanyakan mereka itu tidak menguasai dan tidak memiliki data,” tutur Trubus.

Dosen Tetap di Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu juga menyampaikan agar kritik juga memberikan-masukan yang bisa dipakai untuk merumuskan suatu kebijakan yang sifatnya proporsional, berkeadilan dan kepastian hukum. Oleh karena itu, lanjut dia, perlu edukasi kepada mereka-mereka yang suka memberikan kritikan terutama kelompok oposisi.

“Karena sifat budaya kita yang patron-klien, maka patronnya atau tokohnya dulu yang harus dibenahi. Jadi nanti publiknya atau kliennya atau pendukungnya otomatis akan terbawa atau terbenahi pada situasi track record yang menjunjung namanya perbedaan atau toleransi,” katanya.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2878 seconds (0.1#10.140)