Nadiem Makarim Diingatkan Jangan Berjudi dengan Kesehatan Anak Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim dinilai memaksakan pembukaan sekolah tatap muka di tengah pandemi COVID-19 mematikan yang belum terkendali. Alasan-alasan yang diberikan Nadiem Makarim untuk sikap ngototnya membuka sekolah juga dinilai kurang masuk akal, salah, dan sering berubah yang menunjukkan kebijakan tersebut tidak dilandasi dengan pertimbangan matang dan terburu-buru.
Awalnya Nadiem Makarim menyatakan sekolah tatap muka baru dilaksanakan setelah semua guru mendapatkan vaksinasi. Sekarang Nadiem justru semakin ngotot agar sekolah dibuka walaupun walaupun belum semua guru divaksin.
Mantan Koordinator Tim Kampanye Nasional Jokowi–Ma’ruf Amin, Hendra Setiawan Boen mengatakan pemikiran Nadiem bahwa vaksinasi guru membuat sekolah tatap muka aman jelas salah besar. Terbukti cukup banyak kasus orang yang sudah mendapat vaksin justru kembali tertular. Selanjutnya ada juga virus COVID-19 varian baru yang justru kebal terhadap vaksin yang ada sekarang.
"Bukti lain yang memperlihatkan Nadiem terburu-buru dengan kebijakannya tersebut adalah dia melupakan bahwa komponen sekolah bukan hanya guru, melainkan juga ada staf administrasi, petugas kebersihan, petugas keamanan, bus antar-jemput sekolah, pihak penjemput anak yang bisa terdiri dari pengasuh, orang tua, hingga warga sekitar," ujarnya dalam keteranganya yang diterima SINDOnews, Jumat (4/6/2021).
Lantas, apakah Nadiem bisa menjamin semua komponen tersebut sudah divaksin dan/atau disiplin dalam melaksanakan protokol kesehatan? Padahal Nadiem sendiri mengakui tidak ada anggaran untuk menyediakan alat tes COVID-19 di sekolah. Padahal tes PCR adalah cara paling akurat untuk men-screening apakah seseorang membawa virus COVID-19 atau tidak.
"Yang patut disayangkan, Nadiem juga menolak berbicara mengenai klaster di lingkungan sekolah yang muncul setelah kebijakan uji coba tatap muka dilaksanakan. Dari pemberitaan, terakhir kali Nadiem berbicara mengenai klaster sekolah adalah Agustus 2020 padahal akhir-akhir ini sudah cukup banyak klaster pendidikan misalnya di Pekalongan yang terjadi karena pegawai sakit namun tidak melapor dan berbaur dengan rekan lain di sekolah; klaster sekolah Tasikmalaya dan lain-lain. Bisa dibayangkan nasib anak-anak apabila klaster yang menimpa guru-guru di atas terjadi pada saat sekolah tatap muka sudah berjalan," jelasnya.
Hendra melanjutkan alasan utama yang diberikan Nadiem adalah sekolah di rumah merusak masa depan. Sebagai orang yang menyelesaikan hampir seluruh usia sekolahnya di luar negeri, seharusnya Nadiem Makarim sudah mengetahui bahwa sekolah di rumah (homeschooling) sudah menjadi salah satu pilihan orang tua untuk mendidik anak karena lebih fleksibel dan orang tua dapat menentukan sendiri mata pelajaran yang dipelajari anak sesuai minat dan bakat serta dapat melahirkan hubungan orang tua dan anak yang lebih baik.
Dengan semua kelebihan homeschooling ini, kata dia, tidak heran bahkan sebelum COVID-19, orang tua di Indonesia banyak mempercayakan pendidikan anak kepada sistem homeschooling seiring bertambahnya sekolah yang menyediakan program homeschooling. Selain dua alasan utama di atas, vaksin dan homeschooling buruk, alasan yang sering diutarakan Nadiem adalah angka pernikahan dini naik karena sekolah di rumah.
"Pernyataan tersebut membuktikan bahwa Nadiem memang tidak memahami kultur dan sosiologis di Indonesia. Faktanya, bahkan sebelum COVID-19, penikahan dini sudah marak ditemukan di seluruh Indonesia. Misalnya berdasarkan data 2018 atau satu tahun sebelum COVID-19, sebanyak 1.184.100 perempuan menikah di bawah 18 tahun dengan jumlah terbanyak di Jawa sebesar 668.900 perempuan. Jadi sama sekali tidak ada korelasi antara pernikahan dini dengan sekolah di rumah," paparnya.
Terakhir, Nadiem malah melontarkan pernyataan bahwa karena mall dan kantor sudah dibuka maka sekolah tatap muka juga harus dibuka. Tidak ada hubungan antara mal dan kantor dengan sekolah.
"Itupun, apabila Nadiem mau menggunakan kantor sebagai acuan, maka di Jakarta sendiri sudah ada ratusan klaster kantor dan ribuan orang melanggar protokol kesehatan di pusat perbelanjaan, padahal pekerja kantoran dan pengunjung mall adalah orang dewasa yang seharusnya memiliki kesadaran lebih menjaga protokol kesehatan dibanding anak-anak," jelas Hendra.
Menurutnya, masih belum terlambat untuk Nadiem merevisi kebijakan memaksakan sekolah tatap muka. Tidak mempertimbangkan sisi positif dan negatif sebuah kebijakan tapi tutup mata dan telinga untuk memaksakan pelaksanaan kebijakan tersebut sama saja dengan perjudian.
Kata dia, Nadiem tidak boleh berjudi dengan kesehatan anak-anak Indonesia. Memang sekolah online tidak mudah tapi itulah tugas seorang menteri yang membidangi pendidikan untuk memberikan fasilitas dan mendidik orang tua agar mampu dan terbiasa menjalankan sekolah online.
"Nadiem perlu membaca jurnal dalam International Journal of Infectious Diseases berjudul “Mortality in Children with positive SARS-CoV-2 polymerase chain reaction test: leason learned from a tertiary referral hospital in Indonesia” yang mencatat data pasien anak di RS Cipto Mangunkusumo dari Maret hingga Oktober 2020 menemukan bahwa tingkat kematian anak pada kasus terkonfirmasi COVID-19 adalah 40%."
"Jadi jelas sekolah online mungkin tidak ideal bagi beberapa orang tua tapi masih yang terbaik di masa pandemi. Sekolah tatap muka hanya boleh dilaksanakan apabila pandemi sudah menunjukkan tanda selesai," tutup dia.
Awalnya Nadiem Makarim menyatakan sekolah tatap muka baru dilaksanakan setelah semua guru mendapatkan vaksinasi. Sekarang Nadiem justru semakin ngotot agar sekolah dibuka walaupun walaupun belum semua guru divaksin.
Mantan Koordinator Tim Kampanye Nasional Jokowi–Ma’ruf Amin, Hendra Setiawan Boen mengatakan pemikiran Nadiem bahwa vaksinasi guru membuat sekolah tatap muka aman jelas salah besar. Terbukti cukup banyak kasus orang yang sudah mendapat vaksin justru kembali tertular. Selanjutnya ada juga virus COVID-19 varian baru yang justru kebal terhadap vaksin yang ada sekarang.
"Bukti lain yang memperlihatkan Nadiem terburu-buru dengan kebijakannya tersebut adalah dia melupakan bahwa komponen sekolah bukan hanya guru, melainkan juga ada staf administrasi, petugas kebersihan, petugas keamanan, bus antar-jemput sekolah, pihak penjemput anak yang bisa terdiri dari pengasuh, orang tua, hingga warga sekitar," ujarnya dalam keteranganya yang diterima SINDOnews, Jumat (4/6/2021).
Lantas, apakah Nadiem bisa menjamin semua komponen tersebut sudah divaksin dan/atau disiplin dalam melaksanakan protokol kesehatan? Padahal Nadiem sendiri mengakui tidak ada anggaran untuk menyediakan alat tes COVID-19 di sekolah. Padahal tes PCR adalah cara paling akurat untuk men-screening apakah seseorang membawa virus COVID-19 atau tidak.
"Yang patut disayangkan, Nadiem juga menolak berbicara mengenai klaster di lingkungan sekolah yang muncul setelah kebijakan uji coba tatap muka dilaksanakan. Dari pemberitaan, terakhir kali Nadiem berbicara mengenai klaster sekolah adalah Agustus 2020 padahal akhir-akhir ini sudah cukup banyak klaster pendidikan misalnya di Pekalongan yang terjadi karena pegawai sakit namun tidak melapor dan berbaur dengan rekan lain di sekolah; klaster sekolah Tasikmalaya dan lain-lain. Bisa dibayangkan nasib anak-anak apabila klaster yang menimpa guru-guru di atas terjadi pada saat sekolah tatap muka sudah berjalan," jelasnya.
Hendra melanjutkan alasan utama yang diberikan Nadiem adalah sekolah di rumah merusak masa depan. Sebagai orang yang menyelesaikan hampir seluruh usia sekolahnya di luar negeri, seharusnya Nadiem Makarim sudah mengetahui bahwa sekolah di rumah (homeschooling) sudah menjadi salah satu pilihan orang tua untuk mendidik anak karena lebih fleksibel dan orang tua dapat menentukan sendiri mata pelajaran yang dipelajari anak sesuai minat dan bakat serta dapat melahirkan hubungan orang tua dan anak yang lebih baik.
Dengan semua kelebihan homeschooling ini, kata dia, tidak heran bahkan sebelum COVID-19, orang tua di Indonesia banyak mempercayakan pendidikan anak kepada sistem homeschooling seiring bertambahnya sekolah yang menyediakan program homeschooling. Selain dua alasan utama di atas, vaksin dan homeschooling buruk, alasan yang sering diutarakan Nadiem adalah angka pernikahan dini naik karena sekolah di rumah.
"Pernyataan tersebut membuktikan bahwa Nadiem memang tidak memahami kultur dan sosiologis di Indonesia. Faktanya, bahkan sebelum COVID-19, penikahan dini sudah marak ditemukan di seluruh Indonesia. Misalnya berdasarkan data 2018 atau satu tahun sebelum COVID-19, sebanyak 1.184.100 perempuan menikah di bawah 18 tahun dengan jumlah terbanyak di Jawa sebesar 668.900 perempuan. Jadi sama sekali tidak ada korelasi antara pernikahan dini dengan sekolah di rumah," paparnya.
Terakhir, Nadiem malah melontarkan pernyataan bahwa karena mall dan kantor sudah dibuka maka sekolah tatap muka juga harus dibuka. Tidak ada hubungan antara mal dan kantor dengan sekolah.
"Itupun, apabila Nadiem mau menggunakan kantor sebagai acuan, maka di Jakarta sendiri sudah ada ratusan klaster kantor dan ribuan orang melanggar protokol kesehatan di pusat perbelanjaan, padahal pekerja kantoran dan pengunjung mall adalah orang dewasa yang seharusnya memiliki kesadaran lebih menjaga protokol kesehatan dibanding anak-anak," jelas Hendra.
Menurutnya, masih belum terlambat untuk Nadiem merevisi kebijakan memaksakan sekolah tatap muka. Tidak mempertimbangkan sisi positif dan negatif sebuah kebijakan tapi tutup mata dan telinga untuk memaksakan pelaksanaan kebijakan tersebut sama saja dengan perjudian.
Kata dia, Nadiem tidak boleh berjudi dengan kesehatan anak-anak Indonesia. Memang sekolah online tidak mudah tapi itulah tugas seorang menteri yang membidangi pendidikan untuk memberikan fasilitas dan mendidik orang tua agar mampu dan terbiasa menjalankan sekolah online.
"Nadiem perlu membaca jurnal dalam International Journal of Infectious Diseases berjudul “Mortality in Children with positive SARS-CoV-2 polymerase chain reaction test: leason learned from a tertiary referral hospital in Indonesia” yang mencatat data pasien anak di RS Cipto Mangunkusumo dari Maret hingga Oktober 2020 menemukan bahwa tingkat kematian anak pada kasus terkonfirmasi COVID-19 adalah 40%."
"Jadi jelas sekolah online mungkin tidak ideal bagi beberapa orang tua tapi masih yang terbaik di masa pandemi. Sekolah tatap muka hanya boleh dilaksanakan apabila pandemi sudah menunjukkan tanda selesai," tutup dia.
(kri)