Muhaimin Iskandar dan Peluang Kader NU Maju Capres 2024
loading...
A
A
A
Abdul Rochim
Praktisi Media
PEMILIHAN Umum Presiden dan Legislatif (Pilpres-Pileg) masih tiga tahunan lagi. Namun, sejumlah nama sudah muncul sebagai kandidat potensial calon presiden (capres) pada Pemilu 2024 mendatang.
Sebut saja nama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang meski sudah tiga kali kalah di Pilpres, sekali sebagai cawapres dan dua kali sebagai capres, kini namanya justru sering menduduki posisi teratas capres berdasarkan sejumlah hasil survei nasional. Ada pula nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang juga tidak kalah mentereng jika mengamati hasil survei belakangan ini. Nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun demikian, selalu berada di deretan atas survei kandidat potensial.
Selain ketiga tokoh tersebut, ada sejumlah nama lain kandidat capres atau cawapres potensial seperti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indarparawansa, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Meneg BUMN Erick Thohir, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua MPR Bambang Soesatyo, politikus senior Golkar yang juga mantan wapres Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), termasuk juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar.
Nama terakhir cukup menarik untuk diulas sebagai kandidat potensial capres pada Pilpres 2024 mendatang. Memang, PKB sebagai kendaraan politik Gus AMI atau Cak Imin–sapaan akrab Abdul Muhaimin Iskandar–masih di bawah PDIP, Golkar, maupun Gerindra jika merujuk pada hasil Pemilu 2019 lalu. Namun, hasil survei sejumlah lembaga survei belakangan ini menempatkan PKB di posisi papan atas. Hasil survei terbaru Puspoll Indonesia juga menempatkan PKB di posisi tiga besar, mengungguli Partai Golkar.
PKB juga merupakan parpol yang punya basis massa cukup kuat dan mengakar. Basis pemilih PKB juga tergolong cukup loyal. Buktinya, meski sempat surut akibat konflik internal, PKB berhasil reborn dan menunjukkan kesolidannya pada Pemilu Legislatif 2019 lalu. Partai besutan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itupun berhasil meraih 13.570.097 suara nasional dan mengantarkan 58 kadernya duduk di Senayan sebagai anggota kursi DPR RI periode 2019-2024.
Perolehan suara PKB pada Pemilu 2019 merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah partai berlambang bintang sembilan ini berdiri, walaupun dalam hal persentase nasional masih kebih kecil dibanding 1999. Pada Pemilu 1999, suara PKB mencapai 13.336.982 atau 12,61% dan diakumulasi menjadi 51 kursi DPR. Sementara pada Pemilu 2004, PKB meraih 12.002.885 suara atau 10,61% dengan akumulasi 52 kursi di DPR RI. Pada Pemilu 2009, suara PKB hanya 5.146.122 suara (4,94%) dengan jumlah kursi hanya 28. Sedangkan pada 2014, PKB meraih 11.298.957 atau 9,04% suara nasional.
Sosok Muhaimin Iskandar sendiri dikenal sebagai tokoh politik yang mempunyai track record cukup panjang dalam percaturan politik nasional. Ikut menggaungi berdirinya PKB sejak awal bersama Gus Dur dan sejumlah tokoh NU lainnya pada 2018 silam, cucu dari salah satu pendiri NU KH Birsi Syansuri ini langsung lolos ke Senayan pada pemilu perdananya Tahun 1999. Keponakan Gus Dur inipun langsung dipercaya sebagai Wakil Ketua DPR di usianya yang masih cukup muda saat itu, 32 tahun. Sementara sang paman, Gus Dur berhasil duduk sebagai Presiden RI.
Karir tokoh kelahiran Jombang, Jawa Timur pada 24 September 1966 ini kian moncer setelah pada periode pertama kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2004-2009, dipercaya sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Kabinet Indonesia Bersatu I. Selanjutnya pada Kabinet Indonesia Bersatu II di bawah Presiden SBY periode 2009-2014, mantan ketua umum PB PMII ini kembali dipercaya sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Era SBY berakhir dan berganti era Presiden Joko Widodo (Jokowi), PKB merapat ke koalisi Jokowi dan Muhaimin Iskandar mendapatkan posisi sebagai Wakil Ketua MPR. Di periode kedua Jokowi, menjelang penentuan cawapres Jokowi, Muhaimin melakukan manuver politik bersama sejumlah ketua umum parpol koalisi lain, dan berhasil meyakinkan Jokowi untuk bergandengan dengan Rais Aam PBNU saat itu, KH Ma’ruf Amin. Jokowi pun kembali duduk di Istana, dan Muhaimin Iskandar untuk kali kedua menduduki posisi sebagai Wakil Ketua DPR RI. Negarawan yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Ma’arif bahkan menyebut suami dari Rustini Murtadho itu sebagai the real politician.
Sementara PKB selama ini dikenal sangat identik dengan kelompok pemilih massa NU. Meskipun di beberapa wilayah seperti Papua dan NTT, PKB justru dikenal sebagai parpol nasionalis dan plural layaknya Golkar, PDIP maupun Gerindra atau Nasdem dan memiliki pemilih cukup besar dari kelompok nonmuslim. Sementara Muhaimin juga merupakan politikus yang sangat dekat dan identik dengan NU.
Dalam beberapa kali pilpres sejak era Reformasi, kader NU pun selalu andil dalam Pilpres. Diawali pada 1999, Gus Dur sukses melanggeng ke Istana, pada Pilpres 2004, dua kader terbaik NU KH Hasyim Muzadi yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU maju sebagai cawapres berdampingan dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Satu lagi adik Gus Dur, KH Salahuddin Wahid yang maju sebagai cawapres berdampingan dengan Wiranto. Pada Pilpres 2009 dan 2014, kader NU absen. Baru pada 2019, lagi-lagi kader terbaik NU yakni Rais Aam PBNU saat itu, KH Ma’ruf Amin dipinang Jokowi sebagai cawapres dan sukses sebagai wakil presiden saat ini.
NU sebagai ormas Islam dengan jumlah massa terbesar di Indonesia bahkan dunia, selalu jadi magnet dalam setiap kontestasi Pilpres. Karena itu, sudah sepatutnya kader NU ikut berperan bahkan berkontestasi dalam perebutan kepemimpinan nasional.
Mengacu pada hasil survei nasional Alvara Research Center bertajuk ”Potret Keberagamaan Muslim Indonesia” pada 2016 lalu, penduduk muslim Indonesia sekitar 50,3% mengaku berafiliasi dengan NU. Sementara dari sisi keanggotaan, 36,1% mengaku menjadi anggota NU.
Estimasi Alvara berdasarkan data BPS dari jumlah populasi penduduk muslim dan berusia 17 tahun keatas, serta berafiliasi dan menjadi anggota ormas Islam, dihasilkan jumlah penduduk muslim yang berafiliasi dengan NU berjumlah 79,04 juta jiwa. Dari sisi keanggotaan, 57,33 juta penduduk muslim Indonesia mengaku menjadi anggota NU.
Sementara berdasarkan hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 18-25 Februari 2019, NU didaulat sebagai ormas terbesar di Indonesia dengan jumlah pesentase 49,5%. Bahkan, survei LSI menunjukkan NU bukan hanya sebagai pemilik ormas terbesar dalam skala nasional saja, namun juga membuktikan bahwa NU adalah ormas terbesar di dunia. Jika saat ini total seluruh penduduk Indonesia berjumlah kurang lebih 250 juta penduduk dengan jumlah penduduk muslim yang berkisar 87%, maka NU dengan persentase 49,5% yang dimiliki, memiliki basis massa yang berjumlah kurang lebih 108 juta orang.
Kembali ke sosok Muhaimin Iskandar, dalam deretan elite politik nasional yang memiliki kedekatan dengan NU baik secara silsilah maupun kendaraan politiknya maka Muhaimin punya kans untuk ikut bertarung dalam memperebutkan kursi kepemimpinan nasional pada 2024 mendatang.
Namun, ada sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan untuk memuluskan langkah Muhaimin maju di Pilpres 2024. Di antaranya meningkatkan elektabilitas dan popularitas, menunjukkan kerja nyata yang berpihak kepada kepentingan rakyat melalui parpol yang dipimpinnya, dan tidak kalah penting adalah mempererat hubungan dengan parpol lain. Sebab jika syarat presidential threshold (PT) tidak berubah dan tetap 20% seperti Pilpres 2019 lalu, artinya PKB harus berkoalisi dengan parpol lain untuk bisa mewujudkan mimpi mengusung Abdul Muhaimin Iskandar sebagai capres 2024, dan mimpi mengukir sejarah baru untuk menjadikan kader NU untuk kedua kalinya sebagai Presiden RI setelah Gus Dur.
Hal yang tidak kalah penting dan membuat langkah Muhaimin Iskandar maju capres sebagai sebuah ”keharusan” adalah karena posisinya sebagai ketum parpol. Salah satu nilai jual parpol dalam pemilu yang cukup ”cospleng” adalah jika mengusung kader terbaik parpol sebagai capres untuk jualan politik. Sebab, jika hanya jualan program partai, semua partai pasti menawarkan janji-janji manis.
Namun jika ketum parpol maju sebagai capres maka akan ada dampak atau efek ekor jas atau coat-tail effect yang akan mendongkrak perolehan suara partai. Kader parpol di bawah pun akan jauh lebih semangat berjuang merebut hati rakyat dibandingkan parpol yang hanya menjadi pendukung capres tertentu, bukan capres dari kader terbaik parpol itu sendiri.
Praktisi Media
PEMILIHAN Umum Presiden dan Legislatif (Pilpres-Pileg) masih tiga tahunan lagi. Namun, sejumlah nama sudah muncul sebagai kandidat potensial calon presiden (capres) pada Pemilu 2024 mendatang.
Sebut saja nama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang meski sudah tiga kali kalah di Pilpres, sekali sebagai cawapres dan dua kali sebagai capres, kini namanya justru sering menduduki posisi teratas capres berdasarkan sejumlah hasil survei nasional. Ada pula nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang juga tidak kalah mentereng jika mengamati hasil survei belakangan ini. Nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun demikian, selalu berada di deretan atas survei kandidat potensial.
Selain ketiga tokoh tersebut, ada sejumlah nama lain kandidat capres atau cawapres potensial seperti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indarparawansa, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Meneg BUMN Erick Thohir, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua MPR Bambang Soesatyo, politikus senior Golkar yang juga mantan wapres Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), termasuk juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar.
Nama terakhir cukup menarik untuk diulas sebagai kandidat potensial capres pada Pilpres 2024 mendatang. Memang, PKB sebagai kendaraan politik Gus AMI atau Cak Imin–sapaan akrab Abdul Muhaimin Iskandar–masih di bawah PDIP, Golkar, maupun Gerindra jika merujuk pada hasil Pemilu 2019 lalu. Namun, hasil survei sejumlah lembaga survei belakangan ini menempatkan PKB di posisi papan atas. Hasil survei terbaru Puspoll Indonesia juga menempatkan PKB di posisi tiga besar, mengungguli Partai Golkar.
PKB juga merupakan parpol yang punya basis massa cukup kuat dan mengakar. Basis pemilih PKB juga tergolong cukup loyal. Buktinya, meski sempat surut akibat konflik internal, PKB berhasil reborn dan menunjukkan kesolidannya pada Pemilu Legislatif 2019 lalu. Partai besutan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itupun berhasil meraih 13.570.097 suara nasional dan mengantarkan 58 kadernya duduk di Senayan sebagai anggota kursi DPR RI periode 2019-2024.
Perolehan suara PKB pada Pemilu 2019 merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah partai berlambang bintang sembilan ini berdiri, walaupun dalam hal persentase nasional masih kebih kecil dibanding 1999. Pada Pemilu 1999, suara PKB mencapai 13.336.982 atau 12,61% dan diakumulasi menjadi 51 kursi DPR. Sementara pada Pemilu 2004, PKB meraih 12.002.885 suara atau 10,61% dengan akumulasi 52 kursi di DPR RI. Pada Pemilu 2009, suara PKB hanya 5.146.122 suara (4,94%) dengan jumlah kursi hanya 28. Sedangkan pada 2014, PKB meraih 11.298.957 atau 9,04% suara nasional.
Sosok Muhaimin Iskandar sendiri dikenal sebagai tokoh politik yang mempunyai track record cukup panjang dalam percaturan politik nasional. Ikut menggaungi berdirinya PKB sejak awal bersama Gus Dur dan sejumlah tokoh NU lainnya pada 2018 silam, cucu dari salah satu pendiri NU KH Birsi Syansuri ini langsung lolos ke Senayan pada pemilu perdananya Tahun 1999. Keponakan Gus Dur inipun langsung dipercaya sebagai Wakil Ketua DPR di usianya yang masih cukup muda saat itu, 32 tahun. Sementara sang paman, Gus Dur berhasil duduk sebagai Presiden RI.
Karir tokoh kelahiran Jombang, Jawa Timur pada 24 September 1966 ini kian moncer setelah pada periode pertama kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2004-2009, dipercaya sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Kabinet Indonesia Bersatu I. Selanjutnya pada Kabinet Indonesia Bersatu II di bawah Presiden SBY periode 2009-2014, mantan ketua umum PB PMII ini kembali dipercaya sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Era SBY berakhir dan berganti era Presiden Joko Widodo (Jokowi), PKB merapat ke koalisi Jokowi dan Muhaimin Iskandar mendapatkan posisi sebagai Wakil Ketua MPR. Di periode kedua Jokowi, menjelang penentuan cawapres Jokowi, Muhaimin melakukan manuver politik bersama sejumlah ketua umum parpol koalisi lain, dan berhasil meyakinkan Jokowi untuk bergandengan dengan Rais Aam PBNU saat itu, KH Ma’ruf Amin. Jokowi pun kembali duduk di Istana, dan Muhaimin Iskandar untuk kali kedua menduduki posisi sebagai Wakil Ketua DPR RI. Negarawan yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Ma’arif bahkan menyebut suami dari Rustini Murtadho itu sebagai the real politician.
Sementara PKB selama ini dikenal sangat identik dengan kelompok pemilih massa NU. Meskipun di beberapa wilayah seperti Papua dan NTT, PKB justru dikenal sebagai parpol nasionalis dan plural layaknya Golkar, PDIP maupun Gerindra atau Nasdem dan memiliki pemilih cukup besar dari kelompok nonmuslim. Sementara Muhaimin juga merupakan politikus yang sangat dekat dan identik dengan NU.
Dalam beberapa kali pilpres sejak era Reformasi, kader NU pun selalu andil dalam Pilpres. Diawali pada 1999, Gus Dur sukses melanggeng ke Istana, pada Pilpres 2004, dua kader terbaik NU KH Hasyim Muzadi yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU maju sebagai cawapres berdampingan dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Satu lagi adik Gus Dur, KH Salahuddin Wahid yang maju sebagai cawapres berdampingan dengan Wiranto. Pada Pilpres 2009 dan 2014, kader NU absen. Baru pada 2019, lagi-lagi kader terbaik NU yakni Rais Aam PBNU saat itu, KH Ma’ruf Amin dipinang Jokowi sebagai cawapres dan sukses sebagai wakil presiden saat ini.
NU sebagai ormas Islam dengan jumlah massa terbesar di Indonesia bahkan dunia, selalu jadi magnet dalam setiap kontestasi Pilpres. Karena itu, sudah sepatutnya kader NU ikut berperan bahkan berkontestasi dalam perebutan kepemimpinan nasional.
Mengacu pada hasil survei nasional Alvara Research Center bertajuk ”Potret Keberagamaan Muslim Indonesia” pada 2016 lalu, penduduk muslim Indonesia sekitar 50,3% mengaku berafiliasi dengan NU. Sementara dari sisi keanggotaan, 36,1% mengaku menjadi anggota NU.
Estimasi Alvara berdasarkan data BPS dari jumlah populasi penduduk muslim dan berusia 17 tahun keatas, serta berafiliasi dan menjadi anggota ormas Islam, dihasilkan jumlah penduduk muslim yang berafiliasi dengan NU berjumlah 79,04 juta jiwa. Dari sisi keanggotaan, 57,33 juta penduduk muslim Indonesia mengaku menjadi anggota NU.
Sementara berdasarkan hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 18-25 Februari 2019, NU didaulat sebagai ormas terbesar di Indonesia dengan jumlah pesentase 49,5%. Bahkan, survei LSI menunjukkan NU bukan hanya sebagai pemilik ormas terbesar dalam skala nasional saja, namun juga membuktikan bahwa NU adalah ormas terbesar di dunia. Jika saat ini total seluruh penduduk Indonesia berjumlah kurang lebih 250 juta penduduk dengan jumlah penduduk muslim yang berkisar 87%, maka NU dengan persentase 49,5% yang dimiliki, memiliki basis massa yang berjumlah kurang lebih 108 juta orang.
Kembali ke sosok Muhaimin Iskandar, dalam deretan elite politik nasional yang memiliki kedekatan dengan NU baik secara silsilah maupun kendaraan politiknya maka Muhaimin punya kans untuk ikut bertarung dalam memperebutkan kursi kepemimpinan nasional pada 2024 mendatang.
Namun, ada sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan untuk memuluskan langkah Muhaimin maju di Pilpres 2024. Di antaranya meningkatkan elektabilitas dan popularitas, menunjukkan kerja nyata yang berpihak kepada kepentingan rakyat melalui parpol yang dipimpinnya, dan tidak kalah penting adalah mempererat hubungan dengan parpol lain. Sebab jika syarat presidential threshold (PT) tidak berubah dan tetap 20% seperti Pilpres 2019 lalu, artinya PKB harus berkoalisi dengan parpol lain untuk bisa mewujudkan mimpi mengusung Abdul Muhaimin Iskandar sebagai capres 2024, dan mimpi mengukir sejarah baru untuk menjadikan kader NU untuk kedua kalinya sebagai Presiden RI setelah Gus Dur.
Hal yang tidak kalah penting dan membuat langkah Muhaimin Iskandar maju capres sebagai sebuah ”keharusan” adalah karena posisinya sebagai ketum parpol. Salah satu nilai jual parpol dalam pemilu yang cukup ”cospleng” adalah jika mengusung kader terbaik parpol sebagai capres untuk jualan politik. Sebab, jika hanya jualan program partai, semua partai pasti menawarkan janji-janji manis.
Namun jika ketum parpol maju sebagai capres maka akan ada dampak atau efek ekor jas atau coat-tail effect yang akan mendongkrak perolehan suara partai. Kader parpol di bawah pun akan jauh lebih semangat berjuang merebut hati rakyat dibandingkan parpol yang hanya menjadi pendukung capres tertentu, bukan capres dari kader terbaik parpol itu sendiri.
(cip)