Dukung Pimpinan KPK, Fahri Hamzah: Mereka Anak Bangsa yang Punya Nurani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Politisi Partai Gelora Fahri Hamzah memberikan dukungan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) . Mereka merupakan anak bangsa yang memiliki hari nurani untuk memperbaiki KPK dari dalam.
”Mereka juga anak bangsa yang punya hati nurani. Mereka pasti ingin memperbaiki keadaan dan menuntaskan segala persoalan penyelewengan penegakan hukum di institusi tersebut dari dalam,” kata Fahri dalam acara KAHMI baru-baru ini.
Fahri mengakui, ada sebagian dari penggiat hukum belum bisa menerima koreksi yang serius terhadap penegakkan hukum, khususnya di lembaga KPK. Mereka merasa jika sekian orang itu tidak ada maka KPK tidak ada gunanya lagi.
”Padahal di sana ada ribuan pegawai, jaringan dan anggaran besar. Babak akhir dari koreksi harus kita teruskan. Kita tidak boleh kembali ke belakang,” tandas mantan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan, keputusan pimpinan KPK yang mewajibkan pegawainya mengikuti TWK sudah sangat tepat dan sesuai arahan Presiden Jokowi.
Dengan demikian, bagi yang tidak lulus harus berjiwa besar segera keluar dari gedung KPK. “KPK bukanlah milik pribadi yang bisa dijadikannya sebagai kerajaan milik pribadi,” tutur Neta dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/5/2021).
Neta pun meminta publik bijak dan cermat menanggapi polemik ini. “Jangan sampai terjadi penilaian bahwa KPK adalah Novel, dan Novel adalah KPK,” katanya.
IPW meyakini, orang-orang di KPK memiliki integritas tinggi. Selain itu, masih banyak juga orang yang lebih hebat dibanding Novel Baswedan di internal lembaga antirasuah tersebut.
Namun framing terhadap Novel begitu dihebohkan sehingga semua prestasi yang dicapai KPK selama ini seolah hasil kerja pribadi Novel Baswedan. “Kesan ini yang harus dibersihkan. Seluruh anak bangsa harus menyadari KPK adalah milik bangsa Indonesia dan bukan milik Novel,” tegasnya.
Sementara, Ketua Lembaga Advokasi Kajian Strategis Indonesia (LAKSI) Azmi Hidzaqi mengatakan, sejak awal sejumlah pegawai selalu menginginkan agar KPK menjadi lembaga yang independen. Dalam arti independen di luar rumpun eksekutif.
“Inilah yang menjadi permasalahannya, maka yang terjadi selama ini adalah KPK semakin sulit dikontrol dan terkesan adidaya dalam melakukan pemberantasan korupsi walaupun harus berlawanan dengan NKRI,” tandasnya.
Mengenai 51 pegawai KPK yang dipecat, menurut Azmi, jika ada keberatan silakan menggunakan mekanisme hukum dan gugat ke PTUN. “Mereka kan paham hukum, jadi penyelesaiannya dengan cara hokum. Bukan malah melakukan propaganda di media sosial dan membuat kegaduhan,” ujarnya.
”Mereka juga anak bangsa yang punya hati nurani. Mereka pasti ingin memperbaiki keadaan dan menuntaskan segala persoalan penyelewengan penegakan hukum di institusi tersebut dari dalam,” kata Fahri dalam acara KAHMI baru-baru ini.
Fahri mengakui, ada sebagian dari penggiat hukum belum bisa menerima koreksi yang serius terhadap penegakkan hukum, khususnya di lembaga KPK. Mereka merasa jika sekian orang itu tidak ada maka KPK tidak ada gunanya lagi.
”Padahal di sana ada ribuan pegawai, jaringan dan anggaran besar. Babak akhir dari koreksi harus kita teruskan. Kita tidak boleh kembali ke belakang,” tandas mantan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan, keputusan pimpinan KPK yang mewajibkan pegawainya mengikuti TWK sudah sangat tepat dan sesuai arahan Presiden Jokowi.
Dengan demikian, bagi yang tidak lulus harus berjiwa besar segera keluar dari gedung KPK. “KPK bukanlah milik pribadi yang bisa dijadikannya sebagai kerajaan milik pribadi,” tutur Neta dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/5/2021).
Neta pun meminta publik bijak dan cermat menanggapi polemik ini. “Jangan sampai terjadi penilaian bahwa KPK adalah Novel, dan Novel adalah KPK,” katanya.
IPW meyakini, orang-orang di KPK memiliki integritas tinggi. Selain itu, masih banyak juga orang yang lebih hebat dibanding Novel Baswedan di internal lembaga antirasuah tersebut.
Namun framing terhadap Novel begitu dihebohkan sehingga semua prestasi yang dicapai KPK selama ini seolah hasil kerja pribadi Novel Baswedan. “Kesan ini yang harus dibersihkan. Seluruh anak bangsa harus menyadari KPK adalah milik bangsa Indonesia dan bukan milik Novel,” tegasnya.
Sementara, Ketua Lembaga Advokasi Kajian Strategis Indonesia (LAKSI) Azmi Hidzaqi mengatakan, sejak awal sejumlah pegawai selalu menginginkan agar KPK menjadi lembaga yang independen. Dalam arti independen di luar rumpun eksekutif.
“Inilah yang menjadi permasalahannya, maka yang terjadi selama ini adalah KPK semakin sulit dikontrol dan terkesan adidaya dalam melakukan pemberantasan korupsi walaupun harus berlawanan dengan NKRI,” tandasnya.
Mengenai 51 pegawai KPK yang dipecat, menurut Azmi, jika ada keberatan silakan menggunakan mekanisme hukum dan gugat ke PTUN. “Mereka kan paham hukum, jadi penyelesaiannya dengan cara hokum. Bukan malah melakukan propaganda di media sosial dan membuat kegaduhan,” ujarnya.
(poe)