Persaingan Internal PDIP Menuju Pilpres 2024

Kamis, 27 Mei 2021 - 05:20 WIB
loading...
Persaingan Internal...
Firman Noor. Foto/Istimewa
A A A
Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Tidak dipanggilnya Ganjar Pranowo pada acara pengarahan untuk soliditas partai PDIP di Jawa Tengah pada Sabtu (22/5) merupakan sebuah pesan yang sangat jelas sekali bagaimana Ganjar tidak lagi dianggap sebagai sosok kader ideal bagi PDIP.

Tuduhan utamanya adalah Ganjar lebih rajin ber-media sosial (medsos) ketimbang melakukan kerja-kerja nyata bagi partai. Orientasinya pun dipertanyakan, mengingat terkesan kuat bagi PDIP bahwa aktivitas yang dikedepankan Ganjar adalah cenderung dirinya sendiri ketimbang partai.

PDIP juga semakin gusar terkait soal etika politik Ganjar. Bagi PDIP, seorang kader yang akan terlibat dalam persoalan penting sekelas pemilihan presiden hendaknya bersikap rendah hati bukannya merasa paling super (baca: pintar).

Di sisi lain, bagi seorang Ganjar (dan para pendukungnya) apa yang menimpanya adalah sesuatu yang tidak pantas diterima. Seorang pengamat bahkan melihat hal ini sebagai sebuah penghinaan. Hal ini mengingat karena bagaimana mungkin kader PDIP nomor satu di Jawa Tengah itu justru tidak dipanggil oleh kegiatan partai di wilayahnya sendiri. Meski di permukaan

Ganjar tampak tidak terlihat merasa terhina, namun tentu saja menyisakan tanda tanya atau ganjalan dengan situasi yang muskil itu. Apalagi disertai ultimatum jika tidak berkenan dia dipersilakan keluar dari partai. Namun demikianlah hakikat kehidupan partai di Indonesia. Suatu yang muskil itu mungkin saja terjadi, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan posisi nomor satu di republik ini.

Jika ditelaah secara objektif, sebenarnya tidak ada masalah dengan pemanfaatan media sosial. Media sosial merupakan langgam baru dalam aktivitas politik saat ini yang lumrah.

Diintensifkan pertama kali oleh Barack Obama menjelang Pilpres Amerika Serikat 2008, saat ini berpolitik melalui media sosial bukan barang baru, bahkan menjadi sebuah kebutuhan untuk
menyampaikan pesan-pesan politik dengan jangkauan yang lebih luas dan biaya murah.

Apalagi Indonesia adalah salah satu dari 10 besar negara dengan tingkat “kecanduan” medsos yang tinggi, dengan pengguna sekitar 170 juta atau 61,8% dari total penduduk (Hootsuite-We Are
Social, 2021). Maka jelas medsos merupakan sarana yang tidak bisa diabaikan dalam kontestasi
politik.

Selain itu, dilihat dari prestasi untuk mengondisikan Jateng tetap sebagai basis utama PDIP, Ganjar memainkan peran dengan baik. Dalam konteks kepartaian, baik langsung ataupun tidak, dia merupakan kader yang turut berkontribusi dalam menjaga marwah partai di mata para pendukungnya.

Sementara sebagai pimpinan pemerintahan di provinsi tersebut, meski tentu tidak dapat dikatakan sempurna, namun hingga kini belum ada sebuah kesalahan yang demikian fatal dalam kacamata publik.

Dengan demikian, dilihat dari berbagai aspeknya, sebenarnya Ganjar layak-layak saja untuk diundang. Namun persoalannya memang bukan hal-hal tersebut di atas. Melainkan dirinya
dianggap berlebihan dalam menebar pesona dan akhirnya mengganggu posisi Puan Maharani
sebagai kandidat yang saat ini tengah dipersiapakan dan didukung oleh partainya. Dan memang
di situlah letak hulu dari cerita tidak diundangnya Ganjar.

Jadi tidak terlalu salah jika apa yang dialaminya memiliki korelasi yang kuat dengan pagelaran politik nomor wahid yang akan dilangsungkan sekitar tiga tahun ke depan itu. Lantas dengan adanya kritik berat dan sikap dari partainya itu karir politik Ganjar sudah habis? Belum tentu. Karena karir politik Ganjar sesungguhnya saat ini bergantung pada popularitasnya.

Popularitas dalam konteks demokrasi amat penting, bahkan dia bisa menerabas rancang bangun kandidasi. Hal itu dialami oleh PDIP sendiri, yang pernah akhirnya beralih arah mendukung Joko Widodo (Jokowi) setelah melihat popularitas gubernur DKI Jakarta itu demikian melesat dalam berbagai polling menjelang Pilpres 2014. Sosok yang tadinya cukup terasing di lingkungan elite partai jusru menjadi ikon politik yang demikian popular.

Popularitas itulah yang akhirnya diterima secara realistis oleh PDIP, dengan tidak lagi memajukan Megawati Soekarnoputri sebagai sosok paling penting dalam partai. Dengan adanya preseden itu, bukan tidak mungkin tren yang sama akan terulang. Sejarah adalah sesuatu yang terulang (l’histoire se repete) demikian pepatah lama Prancis. Dan dengan popularitasnya, bukan tidak mungkin beberapa partai justru menunggu peluang menjadi pengusung utama Ganjar untuk posisi RI-1. Dengan harapan agar berada dalam lingkar kekuasaan dan syukur-syukur juga mendapatkan
dampak ekor jas (coattail effect).

Namun demikian, saat ini tampaknya PDIP akan terus berupaya secara maksimal terlebih
dahulu untuk mengutamakan Puan atau trah Soekarno lainnya sebagai kandidat utama posisi
presiden, atau wakil presiden. Upaya itu bisa jadi akan terus dilakukan PDIP sampai batas
terakhir, yakni menjelang Pilpres 2024.

Namun manakala tidak ada pergerakan positif yang signifikan, bukan tidak mungkin PDIP akan beralih arah menjadi pendukung Ganjar, sebagaimana yang dulu dilakukan kepada Jokowi. Dan itulah memang hakikatnya politik sebagai sebuah seni membangun berbagai kemungkinan-kemungkinan untuk berkuasa atau berbagi kekuasaan.

Sementara Ganjar sendiri tampaknya tidak akan banyak berubah. Dia bisa jadi akan terus
dan makin larut dalam membangun kesempatan menjadi orang nomor satu di negara ini. Peluang itu bukan tidak ada. Beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga prestisius, menempatkannya pada posisi antara tiga sampai lima besar.

Survei terbaru LP3ES (5 Mei, 2021) misalnya dengan jelas memperlihatkan Ganjar sebagai kandidat yang menjanjikan selain Anies Baswedan dan Prabowo Subianto, berserta nama-nama populer lainnya sepeti AHY dan Sandiaga Uno.

Berbagai survei itu juga masih memperlihatkan bagaimana nama Ganjar jauh lebih eksis
ketimbang tokoh-tokoh PDIP lainnya. Eksistensinya itu bisa jadi makin baik, jika para
pendukungnya dapat mengolah stuasi saat ini sebagai pembuktian bagaimana dirinya adalah
sosok yang dizalimi oleh partainya sendiri.

Muncul sebagai sosok yang dizalimi itu juga pernah membawa dampak positif bagi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat pencalonannya di tahun 2004. Apakah Ganjar akan meniti sukses yang sama pada dua puluh tahun kemudian? Biarkan sejarah yang akan mencatatnya.

Berangkat dari berbagai peluang itu, mengharapkan Ganjar dan para pendukung-pendukungnya, termasuk pendukung dari kalangan internal PDIP sendiri, untuk berhenti adalah merupakan langkah yang tidak realistis.

Sebaliknya, situasi ini seharusnya menjadi sinyal peringatan bagi PDIP untuk merespons secara bijak, apalagi Pilpres 2024 masih cukup jauh, sehingga masih ada peluang untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang sifatnya kolaboratif ketimbang kompetitif. Ini penting agar langkah-langkah selanjutnya dalam menyongsong Pilpres 2024 tetap dalam koridor keutuhan partai dan bukan justru akan mengarah menjadi ajang ‘adu Banteng’ yang tidak perlu.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1347 seconds (0.1#10.140)