Permintaan Guru Besar Antikorupsi kepada Jokowi: Akhiri Kisruh Internal KPK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Polemik penonaktifan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih saja berlanjut kendati Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan soal tersebut. Jokowi menyatakan bahwa penonaktifan bukanlah solusi atas tidak lolosnya 75 pegawai KPK itu dalam tes wawasan kebangsaan (TKW) .
Situasi ini membuat Koalisi Guru Besar Antikorupsi merasa prihatin. Karena itu, koalisi guru besar yang terdiri atas Prof Sigit Riyanto (UGM), Prof Azyumardi Azra (UIN Syarif Hidayatullah), Prof Sulistyowati Irianto (UI), Prof Ningrum Natasya Sirait (USU), Prof Hibnu Nugroho (Unsoed), dan Prof Marwan Mas (Universitas Bosowa) mengirimkan surat kepada Jokowi.
Dalam surat tersebut, para guru besar ini menyampaikan bahwa penting untuk memastikan agar pidato Presiden Jokowi bisa ditindaklanjuti dengan baik. ”Kami beranggapan akan sangat baik dan penting jika dilakukan pengawasan sekaligus pengusutan atas permasalahan penyelenggaraan TKW ini,” demikian bunyi bagian akhir surat yang diterima SINDOnews, Senin (25/5/2021).
Menurut Prof Azyumardi dkk, sejak awal masyarakat sipil, organisasi keagamaan, maupun akademisi telah menganalisis keabsahan tes wawasan kebangsaan terhadap para pegawai KPK. Kesimpulannya setidaknya ada dua. Pertama, penyelenggaraan TWK tidak berdasarkan hukum, dan berpotensi melanggar etika publik.
Merujuk Undang-Undang Nomor 19/2019 tentang KPK dan Peraturan Pemerintah Nomor 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), tidak ditemukan kewajiban bagi pegawai KPK untuk mengikuti TWK. Hal ini juga diperkuat putusan MK yang menegaskan bahwa peralihan pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK. ”Maka dari itu, pelaksanaan TWK berdasarkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tidak dapat dibenarkan,” tutur Azyumardi.
Kedua, para guru besar memperoleh informasi bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam TKW terindikasi rasis (intoleran), melanggar hak asasi manusia, dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Hal ini menunjukkan kegagalan penyelenggara dalam memahami secara utuh konsep dan cara mengukur wawasan kebangsaan.
Selain itu, proses wawancara dilakukan secara tidak profesional dan cenderung tertutup. Isu ini menciptakan kecurigaan dan kritik tentang tujuan diadakannya TWK ,dari berbagai kalangan yang peduli pada upaya pemberantasan korupsi. ”Namun, kritik dari berbagai elemen masyarakat sepertinya tidak dihiraukan oleh pemegang kebijakan tertinggi di KPK. Sampai pada akhirnya tanggal 5 Mei 2021 Komisioner KPK menyebutkan ada 75 pegawai yang dikategorikan tidak memenuhi syarat,” kata Azyumardi.
Situasi ini membuat Koalisi Guru Besar Antikorupsi merasa prihatin. Karena itu, koalisi guru besar yang terdiri atas Prof Sigit Riyanto (UGM), Prof Azyumardi Azra (UIN Syarif Hidayatullah), Prof Sulistyowati Irianto (UI), Prof Ningrum Natasya Sirait (USU), Prof Hibnu Nugroho (Unsoed), dan Prof Marwan Mas (Universitas Bosowa) mengirimkan surat kepada Jokowi.
Dalam surat tersebut, para guru besar ini menyampaikan bahwa penting untuk memastikan agar pidato Presiden Jokowi bisa ditindaklanjuti dengan baik. ”Kami beranggapan akan sangat baik dan penting jika dilakukan pengawasan sekaligus pengusutan atas permasalahan penyelenggaraan TKW ini,” demikian bunyi bagian akhir surat yang diterima SINDOnews, Senin (25/5/2021).
Menurut Prof Azyumardi dkk, sejak awal masyarakat sipil, organisasi keagamaan, maupun akademisi telah menganalisis keabsahan tes wawasan kebangsaan terhadap para pegawai KPK. Kesimpulannya setidaknya ada dua. Pertama, penyelenggaraan TWK tidak berdasarkan hukum, dan berpotensi melanggar etika publik.
Merujuk Undang-Undang Nomor 19/2019 tentang KPK dan Peraturan Pemerintah Nomor 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), tidak ditemukan kewajiban bagi pegawai KPK untuk mengikuti TWK. Hal ini juga diperkuat putusan MK yang menegaskan bahwa peralihan pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK. ”Maka dari itu, pelaksanaan TWK berdasarkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tidak dapat dibenarkan,” tutur Azyumardi.
Kedua, para guru besar memperoleh informasi bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam TKW terindikasi rasis (intoleran), melanggar hak asasi manusia, dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Hal ini menunjukkan kegagalan penyelenggara dalam memahami secara utuh konsep dan cara mengukur wawasan kebangsaan.
Selain itu, proses wawancara dilakukan secara tidak profesional dan cenderung tertutup. Isu ini menciptakan kecurigaan dan kritik tentang tujuan diadakannya TWK ,dari berbagai kalangan yang peduli pada upaya pemberantasan korupsi. ”Namun, kritik dari berbagai elemen masyarakat sepertinya tidak dihiraukan oleh pemegang kebijakan tertinggi di KPK. Sampai pada akhirnya tanggal 5 Mei 2021 Komisioner KPK menyebutkan ada 75 pegawai yang dikategorikan tidak memenuhi syarat,” kata Azyumardi.
(muh)