Solusi Damai Palestina
loading...
A
A
A
Andi Purwono
Dosen Hubungan Internasional FISIP, Wakil Rektor III Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SALING serang tentara Israel dengan kelompok Hamas Palestina di Gaza menciptakan nestapa panjang. Ribuan korban berjatuhan dan memicu keprihatinan. PBB telah menyerukan penghentian pertempuran serta beralih ke penyelesaian politik-diplomatik.
Konflik Palestina- Israel memang kompleks dan rumit. Kini ia telah menjadi pertikaian tertua pasca-Perang Dunia II meski banyak upaya perdamaian telah diupayakan. Bermula dari perebutan wilayah oleh bangsa Arab Palestina dan bangsa Yahudi Israel, konflik menjadi laten dan bermetamorfosa dengan bumbu historis, ideologis, serta campur tangan dan kepentingan pihak luar. Kombinasi faktor- faktor itu telah mengeraskan permusuhan, sekaligus memupus banyak upaya perdamaian.
Pihak Palestina berupaya memperjuangkan kemerdekaannya. Di sisi lain Israel juga berupaya menjaga keamanan wilayah dan warga negaranya. Kebijakan tidak populer Israel terkait perluasan wilayah permukiman Yahudi sering memicu konflik. Sebaliknya pejuang Palestina sering mengganggu keamanan Israel dengan serangan sporadisnya. Sayangnya Israel sering membalas dengan agresi yang melebihi proporsi. Lingkaran setan ini yang terus mempersulit solusi.
Meminjam pemikiran realisme politik internasional, kekuatan harus diimbangi dengan kekuatan (Burchill and Linklater: 1996). Agresi Israel hanya bisa dicegah dengan kekuatan lawan yang seimbang. Tanpa kekuatan yang mengimbangi, hanya tragedi yang akan terus terjadi.
Artinya, pihak Palestina harus memiliki kekuatan yang sama agar Israel tidak berani semena-mena. Hal itu bisa dilakukan dengan peningkatan kemampuan militer atau merangkul sekutu aliansi. Ini sejalan dengan adagium realisme politik internasional tentang keseimbangan kekuatan dan tentang persiapan berperang jika ingin aman.
Sayangnya, secara relasional dan struktural Palestina jauh tertinggal. Secara militer, Israel terlanjur menjadi kekuatan utama di Timur Tengah. Bahkan, diyakini ia menjadi satu- satunya negara kawasan yang memiliki senjata nuklir.
Palestina juga kesulitan menemukan kawan sejati aliansi. Negara- negara Arab yang turut terlibat dalam Perang Arab-Israel 1948, 1956, 1967, 1973, 1982 telah menanggalkan dukungan militernya. Praktis, posisi Palestina lemah.
Secara politik, Palestina juga lemah dan sendirian. Banyak negara Arab yang semula berperang melawan Israel kini bahkan memiliki hubungan diplomatik erat dengan Tel Aviv. Dimulai pengakuan Mesir atas Israel pada 1969 Pascaperang 1967, kepentingan nasional masing-masing membuat konstelasi politik berubah dinamis. Kini yang tersisa hanya solidaritas berwujud pernyataan diplomatik baik melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) maupun Liga Arab yang sering kali tidak efektif dan bergigi dalam implementasi.
Di sisi sebaliknya, Israel justru terus menikmati perlindungan Amerika, salah satu pemilik hak veto di Dewan Keamanan PBB. Belum lagi jika Inggris dan Prancis yang dalam Perang Arab-Israel dimasukkan dalam kalkulasi. Realitas ini membuat jomplang keseimbangan kekuatan militer dan diplomasi Palestina- Israel.
Koeksistensi Damai
Dalam konteks seperti itu, Palestina harus bertindak kalkulatif. Karenanya, koeksistensi damai menjadi pilihan paling rasional. Fakta yang dihadapi kini adalah bahwa kedua bangsa bertikai telah lama hidup di wilayah yang berdekatan tersebut.
Israel telah berdiri sebagai negara sejak 1948 dan mendapat pengakuan banyak negara. Sebaliknya Palestina masih berjuang keras meraih pengakuan internasional. Perjuangan pengakuannya di PBB pun masih tertahan.
Oleh karenanya, perjuangan senjata oleh Palestina harus ditinggalkan. Solusi politik dan diplomatik harus diyakini sebagai strategi realistik demi masa depan Palestina. Sebaliknya, Israel juga harus sensitif dan menahan kebijakan agresifnya.
Seluruh komponen kekuatan Palestina baik Fatah dan Hamas harus berani mengakui hak hidup bangsa Yahudi di Israel. Dengan demikian, Israel merasa terjamin keamanan nasionalnya. Ini bukan kekalahan namun strategi perjuangan. Pada gilirannya, dunia termasuk Israel akan mendukung hak bernegara rakyat Palestina.
Strategi seperti itu juga sejalan dengan upaya lama masyarakat internasional yang menekankan solusi dua negara (two state solution) sebagai yang paling realistis untuk mengakhiri konflik. Ini bahkan sudah diusulkan melalui Rencana Pembagian wilayah 1947. Artinya, bangsa Arab Palestina harus bisa mengakui hak hidup bangsa Yahudi Israel dan demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, bagian penting dari solusi perdamaian kedua bangsa sejatinya terletak pada penerimaan atas ide solusi dua negara ini. Di kedua pihak pasti ada kelompok rasional yang bisa membaca situasi ini dengan logis dan berwawasan masa depan. Sejauh mana kelompok ini terus menyebarkan ide gagasan kemanusiaan dan perdamaian serta memegang kendali kekuasaan akan sangat menentukan masa depan perdamaian.
Memang hal itu tidak mudah karena di masing- masing pihak ada kelompok garis keras yang masih berusaha saling menegasikan. Diplomasi dua tingkat (two level game) sangat dibutuhkan karenanya. Ke dalam pihak masing-masing harus diyakinkan bahwa jalan perdamaian adalah satu-satunya solusi. Ke luar, harus komitmen dan langkah nyatanya harus dibuktikan
Jika tekad hidup berdampingan damai ini bisa ditegaskan, dunia pasti akan lebih mudah membantu merealisasikan. Solidaritas dunia atas perjuangan Palestina yang ada selama ini bukanlah obat sejati bagi konflik Palestina-Israel. Keberanian kedua pihak beranjak memulai kehidupan baru untuk bisa berdampingan menjadi kata kunci perdamaian.
Kebesaran hati bangsa Arab Palestina dan Yahudi Israel untuk bisa hidup berdampingan secara damai menentukan masa depan keduanya. Tanpa itu, bara permusuhan akan terus menyala dan masa depan perdamaian tetap akan semu semata.
Dosen Hubungan Internasional FISIP, Wakil Rektor III Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SALING serang tentara Israel dengan kelompok Hamas Palestina di Gaza menciptakan nestapa panjang. Ribuan korban berjatuhan dan memicu keprihatinan. PBB telah menyerukan penghentian pertempuran serta beralih ke penyelesaian politik-diplomatik.
Konflik Palestina- Israel memang kompleks dan rumit. Kini ia telah menjadi pertikaian tertua pasca-Perang Dunia II meski banyak upaya perdamaian telah diupayakan. Bermula dari perebutan wilayah oleh bangsa Arab Palestina dan bangsa Yahudi Israel, konflik menjadi laten dan bermetamorfosa dengan bumbu historis, ideologis, serta campur tangan dan kepentingan pihak luar. Kombinasi faktor- faktor itu telah mengeraskan permusuhan, sekaligus memupus banyak upaya perdamaian.
Pihak Palestina berupaya memperjuangkan kemerdekaannya. Di sisi lain Israel juga berupaya menjaga keamanan wilayah dan warga negaranya. Kebijakan tidak populer Israel terkait perluasan wilayah permukiman Yahudi sering memicu konflik. Sebaliknya pejuang Palestina sering mengganggu keamanan Israel dengan serangan sporadisnya. Sayangnya Israel sering membalas dengan agresi yang melebihi proporsi. Lingkaran setan ini yang terus mempersulit solusi.
Meminjam pemikiran realisme politik internasional, kekuatan harus diimbangi dengan kekuatan (Burchill and Linklater: 1996). Agresi Israel hanya bisa dicegah dengan kekuatan lawan yang seimbang. Tanpa kekuatan yang mengimbangi, hanya tragedi yang akan terus terjadi.
Artinya, pihak Palestina harus memiliki kekuatan yang sama agar Israel tidak berani semena-mena. Hal itu bisa dilakukan dengan peningkatan kemampuan militer atau merangkul sekutu aliansi. Ini sejalan dengan adagium realisme politik internasional tentang keseimbangan kekuatan dan tentang persiapan berperang jika ingin aman.
Sayangnya, secara relasional dan struktural Palestina jauh tertinggal. Secara militer, Israel terlanjur menjadi kekuatan utama di Timur Tengah. Bahkan, diyakini ia menjadi satu- satunya negara kawasan yang memiliki senjata nuklir.
Palestina juga kesulitan menemukan kawan sejati aliansi. Negara- negara Arab yang turut terlibat dalam Perang Arab-Israel 1948, 1956, 1967, 1973, 1982 telah menanggalkan dukungan militernya. Praktis, posisi Palestina lemah.
Secara politik, Palestina juga lemah dan sendirian. Banyak negara Arab yang semula berperang melawan Israel kini bahkan memiliki hubungan diplomatik erat dengan Tel Aviv. Dimulai pengakuan Mesir atas Israel pada 1969 Pascaperang 1967, kepentingan nasional masing-masing membuat konstelasi politik berubah dinamis. Kini yang tersisa hanya solidaritas berwujud pernyataan diplomatik baik melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) maupun Liga Arab yang sering kali tidak efektif dan bergigi dalam implementasi.
Di sisi sebaliknya, Israel justru terus menikmati perlindungan Amerika, salah satu pemilik hak veto di Dewan Keamanan PBB. Belum lagi jika Inggris dan Prancis yang dalam Perang Arab-Israel dimasukkan dalam kalkulasi. Realitas ini membuat jomplang keseimbangan kekuatan militer dan diplomasi Palestina- Israel.
Koeksistensi Damai
Dalam konteks seperti itu, Palestina harus bertindak kalkulatif. Karenanya, koeksistensi damai menjadi pilihan paling rasional. Fakta yang dihadapi kini adalah bahwa kedua bangsa bertikai telah lama hidup di wilayah yang berdekatan tersebut.
Israel telah berdiri sebagai negara sejak 1948 dan mendapat pengakuan banyak negara. Sebaliknya Palestina masih berjuang keras meraih pengakuan internasional. Perjuangan pengakuannya di PBB pun masih tertahan.
Oleh karenanya, perjuangan senjata oleh Palestina harus ditinggalkan. Solusi politik dan diplomatik harus diyakini sebagai strategi realistik demi masa depan Palestina. Sebaliknya, Israel juga harus sensitif dan menahan kebijakan agresifnya.
Seluruh komponen kekuatan Palestina baik Fatah dan Hamas harus berani mengakui hak hidup bangsa Yahudi di Israel. Dengan demikian, Israel merasa terjamin keamanan nasionalnya. Ini bukan kekalahan namun strategi perjuangan. Pada gilirannya, dunia termasuk Israel akan mendukung hak bernegara rakyat Palestina.
Strategi seperti itu juga sejalan dengan upaya lama masyarakat internasional yang menekankan solusi dua negara (two state solution) sebagai yang paling realistis untuk mengakhiri konflik. Ini bahkan sudah diusulkan melalui Rencana Pembagian wilayah 1947. Artinya, bangsa Arab Palestina harus bisa mengakui hak hidup bangsa Yahudi Israel dan demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, bagian penting dari solusi perdamaian kedua bangsa sejatinya terletak pada penerimaan atas ide solusi dua negara ini. Di kedua pihak pasti ada kelompok rasional yang bisa membaca situasi ini dengan logis dan berwawasan masa depan. Sejauh mana kelompok ini terus menyebarkan ide gagasan kemanusiaan dan perdamaian serta memegang kendali kekuasaan akan sangat menentukan masa depan perdamaian.
Memang hal itu tidak mudah karena di masing- masing pihak ada kelompok garis keras yang masih berusaha saling menegasikan. Diplomasi dua tingkat (two level game) sangat dibutuhkan karenanya. Ke dalam pihak masing-masing harus diyakinkan bahwa jalan perdamaian adalah satu-satunya solusi. Ke luar, harus komitmen dan langkah nyatanya harus dibuktikan
Jika tekad hidup berdampingan damai ini bisa ditegaskan, dunia pasti akan lebih mudah membantu merealisasikan. Solidaritas dunia atas perjuangan Palestina yang ada selama ini bukanlah obat sejati bagi konflik Palestina-Israel. Keberanian kedua pihak beranjak memulai kehidupan baru untuk bisa berdampingan menjadi kata kunci perdamaian.
Kebesaran hati bangsa Arab Palestina dan Yahudi Israel untuk bisa hidup berdampingan secara damai menentukan masa depan keduanya. Tanpa itu, bara permusuhan akan terus menyala dan masa depan perdamaian tetap akan semu semata.
(bmm)