Pengalaman Ika Dewi, Sedih Jika Bunyi Sirene Tak Dihiraukan Pengguna Jalan
loading...
![Pengalaman Ika Dewi,...](https://pict.sindonews.net/dyn/732/pena/news/2020/04/19/15/4305/pengalaman-ika-dewi-sedih-jika-bunyi-sirene-tak-dihiraukan-pengguna-jalan-fzb.jpg)
Ika Dewi mengaku menjadi sopir ambulans merupakan tantangan dan pengalaman pertama dalam hidupnya. Foto/Istimewa
A
A
A
JAKARTA - Gesit, berani, dan cekatan. Itulah kesan awal yang terlihat pada sosok Ika Dewi Maharani, perempuan asal Maluku Utara. Ika Dewi pun bukan sembarang perempuan. Di tengah bencana nasional pandemi virus corona (Covid-19) yang kian menimbulkan banyak korban jiwa ini, Ika Dewi mantap meninggalkan kampung halaman untuk menjadi relawan di Jakarta.
Tak tanggung-tanggung, Ika tercatat menjadi satu-satunya sukarelawan medis perempuan di bawah naungan Relawan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang bertugas sebagai sopir ambulans. Ika bertugas di Rumah Sakit Universitas Indonesia (UI). Setelah menjadi relawan, Ika kini menjalani hidup di mes yang disediakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Keberanian dan kebulatan tekad Ika Dewi inilah yang membuat kagum dan menginspirasi banyak orang. Belum lama ini Ika Dewi pun dikenalkan ke publik melalui konferensi pers di Graha BNPB Jakarta. “Keahlian yang saya miliki, saya bisa menyetir. Saya basic-nya perawat, jadi ini pas sesuai dengan panggilan hati. Dengan kemampuan yang saya punya, saya harus melayani," ujar Ika.
Perempuan berlesung pipi ini mengaku menjadi sopir ambulans merupakan tantangan dan pengalaman pertama dalam hidupnya. "Untuk ambulans baru pertama kali di dalam hidup saya, tapi ya gitu, ternyata di ambulans tidak semudah yang kita bayangin," katanya.
Saat bertugas mengantar pasien misalnya, Ika terkadang agak sedih jika perjalanannya tidak lancar. Kerap kali mobil ambulans tidak mendapat prioritas. "Sudah bunyikan sirene, tapi kadang orang-orang di sekitar kita tidak peka untuk memberikan jalan buat kita," ujar perawat yang bergabung dalam Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia (Hipgabi) ini.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai relawan Covid-19, Ika mengatakan safety adalah kunci utama. Menggunakan alat perlindungan diri (APD) menjadi wajib bagi Ika sebelum berangkat bertugas. Tidak hanya agar dirinya aman, langkah ini juga dilakukan agar para pasien tetap aman.
Meski telah mengenakan APD, sebagai manusia biasa Ika mengaku bahwa perasaan takut tetap ada dalam dirinya. Namun semangat kemanusiaan yang dia rasakan jauh lebih tinggi. "Rasa takut ada pasti, cuma ini harus kita lihat lagi, ini adalah tugas bagi kita sebagai relawan medis. Kita harus menangani pasien dari awal sampai akhir pasien itu kita harus tangani," ujar Ika.
Untuk menjaga imunitas tubuh agar tak terpapar virus corona, dia selalu menjaga pola makan teratur dan istirahat yang cukup. "Shift pagi dari jam 7 sampai jam 7 malam, itu pertama harus makan dulu. Selesai absen kita makan, ada panggilan untuk kita rujuk, setelah itu selesai, baru kita makan. Yang penting makan harus sehari tiga kali, multivitamin, dan susu," ungkap Ika.
Dia pun berharap pandemi Covid-19 dapat segera berakhir. "Dengan kita mengabdikan diri sebagai relawan, kita harap penanggulangannya ini semakin cepat, jadi bencana ini cepat akan berakhir," ujar perempuan yang kuliah perawat di Surabaya ini.
Stigma Negatif dan Diusir dari Kontrakan
Tak tanggung-tanggung, Ika tercatat menjadi satu-satunya sukarelawan medis perempuan di bawah naungan Relawan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang bertugas sebagai sopir ambulans. Ika bertugas di Rumah Sakit Universitas Indonesia (UI). Setelah menjadi relawan, Ika kini menjalani hidup di mes yang disediakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Keberanian dan kebulatan tekad Ika Dewi inilah yang membuat kagum dan menginspirasi banyak orang. Belum lama ini Ika Dewi pun dikenalkan ke publik melalui konferensi pers di Graha BNPB Jakarta. “Keahlian yang saya miliki, saya bisa menyetir. Saya basic-nya perawat, jadi ini pas sesuai dengan panggilan hati. Dengan kemampuan yang saya punya, saya harus melayani," ujar Ika.
Perempuan berlesung pipi ini mengaku menjadi sopir ambulans merupakan tantangan dan pengalaman pertama dalam hidupnya. "Untuk ambulans baru pertama kali di dalam hidup saya, tapi ya gitu, ternyata di ambulans tidak semudah yang kita bayangin," katanya.
Saat bertugas mengantar pasien misalnya, Ika terkadang agak sedih jika perjalanannya tidak lancar. Kerap kali mobil ambulans tidak mendapat prioritas. "Sudah bunyikan sirene, tapi kadang orang-orang di sekitar kita tidak peka untuk memberikan jalan buat kita," ujar perawat yang bergabung dalam Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia (Hipgabi) ini.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai relawan Covid-19, Ika mengatakan safety adalah kunci utama. Menggunakan alat perlindungan diri (APD) menjadi wajib bagi Ika sebelum berangkat bertugas. Tidak hanya agar dirinya aman, langkah ini juga dilakukan agar para pasien tetap aman.
Meski telah mengenakan APD, sebagai manusia biasa Ika mengaku bahwa perasaan takut tetap ada dalam dirinya. Namun semangat kemanusiaan yang dia rasakan jauh lebih tinggi. "Rasa takut ada pasti, cuma ini harus kita lihat lagi, ini adalah tugas bagi kita sebagai relawan medis. Kita harus menangani pasien dari awal sampai akhir pasien itu kita harus tangani," ujar Ika.
Untuk menjaga imunitas tubuh agar tak terpapar virus corona, dia selalu menjaga pola makan teratur dan istirahat yang cukup. "Shift pagi dari jam 7 sampai jam 7 malam, itu pertama harus makan dulu. Selesai absen kita makan, ada panggilan untuk kita rujuk, setelah itu selesai, baru kita makan. Yang penting makan harus sehari tiga kali, multivitamin, dan susu," ungkap Ika.
Dia pun berharap pandemi Covid-19 dapat segera berakhir. "Dengan kita mengabdikan diri sebagai relawan, kita harap penanggulangannya ini semakin cepat, jadi bencana ini cepat akan berakhir," ujar perempuan yang kuliah perawat di Surabaya ini.
Stigma Negatif dan Diusir dari Kontrakan