Banyak Warga Marah di Titik Penyekatan, Sosiolog: Mereka Frustasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penyekatan jalan selama masa larangan mudik Lebaran 2021 membuat banyak warga marah-marah. Sejumlah video warga marah-marah saat terjaring di titik penyekatan beredar luas dan viral di media sosial.
Sosiolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Nunung Nurwati mengatakan, munculnya reaksi masyarakat adalah akumulasi dari berbagai persoalan yang muncul. Sebab, pada dasarnya masyarakat sudah tahu adanya larangan mudik atau mobilitas.
"Sebenarnya mereka bukan tidak tahu. Mereka hanya coba-coba dan nekat, karena ada informasi warga lain bisa lolos. Ketika mereka diminta putar balik, mereka enggak terima, sehingga marah," kata Nunung kepada MPI, Minggu (16/5/2021).
Baca juga: Ini Dia Titik-Titik Penyekatan Arus Balik Lebaran
Menurut dia, kemarahan itu bentuk sikap frustasi masyarakat. Frustasi muncul karena ada harapan yang tidak terwujud. Harapan bisa lolos dan sampai kampung halaman, tetapi dicegat di jalan, sehingga mereka kecewa.
"Atau mungkin juga, kekecewaan masyarakat itu juga dipicu adanya informasi yang beredar bahwa ada WNA yang masuk ke Indonesia saat warga dilarang mobilitas. Jadi mereka bertanya-tanya, kenapa WNA bisa masuk, sementara warga sendiri mau ke saudara dilarang. Itu memperngaruhi timbulnya emosi," ujarnya.
Artinya, kata dia, kondisi itu menimbulkan akumulasi reaksi warga. Semestinya, pemerintah tegas dan adil, dalam menerapkan aturan kepada semua orang, baik WNA atau WNI atau siapa pun. Sehingga tidak ada kecemburuan sosial.
Baca juga: Cegah Covid-19, Polda Sulsel Lakukan Swab Antigen Acak di Pos Penyekatan
"Pemerintah, juga mestinya membuat kebijakan satu konsep, misalnya antara Menteri Perhubungan dengan lainnya. Kemudian aturan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali. Sehingga tidak memicu kecemburuan sosial," katanya.
Diakui Nunung, masyarakat saat ini agak abai, tidak seperti tahun lalu, mayarakat masih sangat takut atas pandemi COVID-19. Saat ini bukan berarti tidak takut, tapi sedikit mengabaikan.
"Bisa jadi masyarakat sudah jenuh. Segala hal dibatasi dengan kebiasaan baru. Sementara masyarakat kita sukanya berkumpul. Dan berkumpul itu kebutuhan mendasar bagi masyarakat kita. Ini yang mesti terus disosialisasikan oleh pemerintah agar warga paham," kata Nunung.
Sosiolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Nunung Nurwati mengatakan, munculnya reaksi masyarakat adalah akumulasi dari berbagai persoalan yang muncul. Sebab, pada dasarnya masyarakat sudah tahu adanya larangan mudik atau mobilitas.
"Sebenarnya mereka bukan tidak tahu. Mereka hanya coba-coba dan nekat, karena ada informasi warga lain bisa lolos. Ketika mereka diminta putar balik, mereka enggak terima, sehingga marah," kata Nunung kepada MPI, Minggu (16/5/2021).
Baca juga: Ini Dia Titik-Titik Penyekatan Arus Balik Lebaran
Menurut dia, kemarahan itu bentuk sikap frustasi masyarakat. Frustasi muncul karena ada harapan yang tidak terwujud. Harapan bisa lolos dan sampai kampung halaman, tetapi dicegat di jalan, sehingga mereka kecewa.
"Atau mungkin juga, kekecewaan masyarakat itu juga dipicu adanya informasi yang beredar bahwa ada WNA yang masuk ke Indonesia saat warga dilarang mobilitas. Jadi mereka bertanya-tanya, kenapa WNA bisa masuk, sementara warga sendiri mau ke saudara dilarang. Itu memperngaruhi timbulnya emosi," ujarnya.
Artinya, kata dia, kondisi itu menimbulkan akumulasi reaksi warga. Semestinya, pemerintah tegas dan adil, dalam menerapkan aturan kepada semua orang, baik WNA atau WNI atau siapa pun. Sehingga tidak ada kecemburuan sosial.
Baca juga: Cegah Covid-19, Polda Sulsel Lakukan Swab Antigen Acak di Pos Penyekatan
"Pemerintah, juga mestinya membuat kebijakan satu konsep, misalnya antara Menteri Perhubungan dengan lainnya. Kemudian aturan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali. Sehingga tidak memicu kecemburuan sosial," katanya.
Diakui Nunung, masyarakat saat ini agak abai, tidak seperti tahun lalu, mayarakat masih sangat takut atas pandemi COVID-19. Saat ini bukan berarti tidak takut, tapi sedikit mengabaikan.
"Bisa jadi masyarakat sudah jenuh. Segala hal dibatasi dengan kebiasaan baru. Sementara masyarakat kita sukanya berkumpul. Dan berkumpul itu kebutuhan mendasar bagi masyarakat kita. Ini yang mesti terus disosialisasikan oleh pemerintah agar warga paham," kata Nunung.
(abd)