Degradasi Lingkungan Terus Mengancam

Kamis, 22 April 2021 - 06:09 WIB
loading...
Degradasi Lingkungan Terus Mengancam
Hari Bumi harus menjadi momentum untuk menunjukkan keseriusan dalam memperbaiki kualitas lingkungan. FOTO/BOBBY F
A A A
JAKARTA - Kualitas lingkungan Indonesia membutuhkan perhatian serius karena tak henti mengalami degradasi. Kini, saatnya pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan bergandengan tangan menjaga alam agar kian membaik.

Komitmen besar inilah yang diharapkan menjadi modal bagi Indonesia untuk meminimalisasi munculnya berbagai kerusakan alam yang seringkali menimbulkan bencana besar dan banyak korban jiwa.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan, di antara pemicu degradasi lingkungan adalah maraknya ahli fungsi lahan untuk pembangunan sarana komersial, deforestisasi, dan juga penebangan liar di beberapa provinsi Indonesia. Pelanggaran-pelanggaran tersebut juga seringkali disebabkan rancunya eksekusi regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Korporasi menjadi penyokong utama kerusakan alam.



Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun mengakui, faktor manusia juga memiliki andil munculnya berbagai bencana yang melanda di Indonesia.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Raditya Jati menyebut, degradasi lingkungan oleh ulah manusia menyumbang frekuensi kejadian bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor. Pada kasus konteks banjir misalnya, diketahui banyak daerah aliran sungai (DAS) kritis. Melihat fakta ini masyarakat harus didorong dapat mengoptimalkan sungai dengan baik dan menata lingkungan yang mendukung sungai.

“Menghargai alam atau lingkungan tempat tinggal menjadi pilihan terbaik dalam mencegah atau menghindari bahaya. Hari Bumi (22 April) menjadi momentum untuk merefleksikan hal tersebut, dan bagaimana kontribusi keluarga, komunitas dan masyarakat dalam menghargai alam,” katanya.

Sedang dalam pandangan Koordinator Desk Politik Walhi Khalisa Khalid, maraknya ahli fungsi lahan di kawasan lindung dan di luar peruntukannya dapat menurunkan kualitas tanah dan mengurangi tutupan lahan hijau. Degradasi lingkungan masih diperparah kebijakan tata ruang yang masih cenderung mengedepankan fisik dibanding lingkungan hidup berbasis DAS.



Dari pemantauan Walhi, kerusakan lingkungan lebih banyak akibat dari implementasi amdal yang sangat buruk. Selain ini pemerintah daerah juga lemah dalam hal pengawasan. Menurut Khalisa, lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku penebangan liar dan tidak taat terhadap regulasi juga menyokong kerusakan lingkungan.

"Korporasi masih menjadi pelaku utama penyebab menurunnya kualitas lingkungan saat ini. Hal ini menjadi penting karena isu lingkungan masih belum dilihat sebagai isu prioritas," tegasnya.

Khalisa menilai, degradasi lingkungan ini juga dipengaruhi oleh sikap pemerintah daerah yang cenderung lengah terhadap korporasi pelaku pencemar dan pelanggar hukum. Akibatnya di kawasan Indonesia bagian timur atau kawasan hutan Indonesia masih banyak terjadi deforestasi.

Secara nasional, angka deforestasi Indonesia memang diklaim turun oleh pemerintah. Namun jika ditilik lebih dalam, ada sejumlah provinsi yang justru mengalami peningkatan, khususnya Papua dan Papua Barat.



Dalam pemetaan Walhi, ada kemungkinan deforestasi turun karena di provinsi yang sudah tidak kaya hutan tersebut memang sudah tidak ada lagi hutan yang bisa dideforestasi.

“Bisa saja di provinsi lain hutannya berada di kawasan konservasi, sisa hutan berada di kawasan lindung, yang memang secara aturan tidak bisa dikonversi," kata Khalisa.

Dalam catatanya, terdapat sepuluh provinsi kaya hutan di Indonesia, yaitu Papua, Papua Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Aceh, Maluku, dan Maluku Utara. Dari 88 juta hektare hutan di Indonesia, 80% ada di sepuluh provinsi itu.

Papua dan Papua Barat saat ini patut memperoleh perhatian lebih, karena laju deforestasi yang tidak terbendung. Kedua provinsi tersebut kehilangan 663.443 hektare hutan sepanjang 2001 sampai 2019. Rata-rata per tahun angkanya sekitar 34.000 hektare yang musnah, dengan angka tertinggi pada 2015 mencapai 89.000 hektare.

Jika dikelompokan, 29% dari luasan itu hilang pada 2001 sampai 2010, sedangkan 71% sisanya pada 2011 sampai 2019. Di satu sisi Indonesia dinilai berhasil menekan angka deforestasi, dari hampir 1 juta hektare per tahun pada 2012 dan 2016, menjadi 400.000 hektare per tahun pada 2017 sampai 2019.

Namun menurut peneliti Forest Watch Mufthi Fathul Barri angka dalam skala nasional itu tidak bermakna banyak, jika presentase terbesar hanya terjadi di satu atau dua wilayah saja.

"Tren yang melonjak saat ini, memang kita perhatikan ada di wilayah timur, seperti Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Konsentrasi untuk upaya mempertahankan hutan itu memang sekarang harus lebih banyak ke wilayah timur," ujarnya.

Artinya, deforestasi secara nasional memang menunjukkan adanya penurunan angka di setiap tahunnya, tetapi ada peningkatan di beberapa wilayah yang masih memiliki hutan alam terutama di provinsi Papua. Dia pun melihat kecenderungan yang sama, ketika muncul periode dimana laju deforestasi meningkat tajam. Ada kaitan politik dengan hilangnya hutan itu.

Meningginya laju deforestasi, kata Mufthi, terjadi di saat masa transisi pergantian rezim pemerintahan. Pada masa 1998 misalnya, terjadi kenaikan drastis tiga bulan sebelum Soeharto jatuh. Pergantian Presiden terjadi pada Juni 1998, tetapi tiga bulan sebelumnya ada lonjakan pelepasan kawasan hutan seluas 275.000 hektare di Indonesia. Periode transisi 2004 menjadi masa tidak ada aksi menghabisi hutan dalam skala besar.

Anggota Komisi IV DPR Johan Rosihan menilai langkah paling konkret untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup adalah dengan cara terpadu dari tingkat atas sampai kepada tingkat bawahnya. Artinya, harus ada koordinasi yang baik antara pusat dan daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No 32/2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut Johan, lingkungan hidup‎ yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. "Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan," ujarnya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengungkapkan bahwa perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa izin, merupakan kejahatan yang berdampak luar biasa. Sehingga, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum.

COP26 UNFCCC
Lingkungan masih menjadi persoalan tak ringan bagi Indonesia. Kendati demikian, melalui berbagai program terpadu, upaya penyelamatan alam juga tak henti dilakukan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menilai, upaya Indonesia dalam menjaga kualitas lingkungan hidup bahkan mendapat apresiasi dari dunia.

Pada the Twenty Sixth of the Conference of the Parties to the UNFCCC (COP26 UNFCCC), Indonesia bahkan berada pada posisi leading by example. Artinya Indonesia hadir pada forum tersebut dengan membawa capaian-capaian yang telah dilakukan Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim. "Dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim ke depan, dengan berbasis bukti ilmiah dan praktik di lapangan, saatnya kita menyampaikan apa yang sudah kita lakukan, dan mengajak dunia untuk melakukan hal yang sama," ujar Wamen LHK Alue Dohong dalam keterangan tertulisnya.

telah memperlihatkan hasil kinerja penurunan emisi gas rumah kaca. Pada tahun 2014-2016, Indonesia mampu mengurangi sekitar 20,3 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2eq) dari sektor pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Hasil kinerja tersebut telah mendapatkan apresiasi global melalui pendanaan Green Climate Fund sebesar USD103,8juta untuk periode 2021-2022. Sedangkan, atas penurunan emisi sebesar 11,2 juta ton CO2eq pada 2016-2017, Pemerintah Indonesia menerima pembayaran dari Norwegia, sebesar proyeksi USD56 juta.

“Indonesia tidak dapat hanya berhenti sampai di sini, dan masih banyak hal yang harus dikerjakan. Perjuangan masih panjang, untuk mencapai penurunan emisi GRK sebesar 29," katanya.

Disinilah pentingnya peran negosiator dalam menyampaikan prestasi-prestasi tersebut, juga memperkuat posisi Indonesia di mata internasional, khususnya dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim. Para negosiator perubahan iklim Indonesia dituntut untuk mampu melakukan setting the agenda, dan berkontribusi dalam menentukan arah perundingan perubahan iklim global.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2616 seconds (0.1#10.140)