Riset Indonesia- Jerman, 86 Persen Masyarakat Dukung Larangan Mudik

Kamis, 21 Mei 2020 - 14:19 WIB
loading...
Riset Indonesia- Jerman, 86 Persen Masyarakat Dukung Larangan Mudik
Kebijakan larangan mudik didukung mayoritas masyarakat
A A A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 telah menyebar di 210 negara termasuk Indonesia. Hal ini menjadi tantangan multidimensi bagi pemerintah dan juga masyarakat. Di Indonesia, perhatian pemerintah melalui kebijakan work from home (WFH) dan pembelajaran melalui daring telah dilakukan sejak bulan Maret 2020.

Setelah tiga bulan berjalan pemerintah dan masyarakat dihadapkan pada peningkatan masalah berbagai sektor yang muncul pada satu waktu, sektor kesehatan, ekonomi, sektor politik maupun sektor sosial.

Ketika bulan Mei tiba, bersamaan dengan datangnya bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri, pemerintah dan masyarakat kembali dihadapkan pada situasi untuk mengambil keputusan yang sulit.

Kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) pemerintah berhadapan dengan aktivitas salat taraweh dan mudik yang biasa dilakukan pada bulan puasa dan lebaran. Kebijakan dan himbauan untuk taraweh di rumah dan jangan mudik telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Bagaimana respon dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah terkait hal tersebut pada khususnya dan penanganan pandemic Covid-19 umumnya?

Hasil riset, yang dilakukan kerjasama dari peneliti dari Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Pancasila Jakarta, FIKOM UNPAD Bandung, dan Department of Empirical Media Research and Political Communication Technische, Universtät Ilmenau di Jerman, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk membatasi penyebaran virus Corona dengan pelarangan mudik ternyata mendapatkan dukungan mayoritas. Sebanyak 86% responden di seluruh Indonesia mendukung kebijakan pelarangan mudik.

Ini menjadi hal menarik mengingat mudik telah menjadi ritual sosial masyarakat Indonesia yang selalu dinanti seluruh keluarga diakhir bulan puasa. Selebihnya masyarakat merespon bahwa kebijakan PSBB membuat mereka marah karena tidak bisa melakukan hal-hal yang biasanya mereka lakukan.

Peneliti dari FIKOM Universitas Pancasila, Anna Agustina, Ph.D ketika dihubungi SINDOnews memberikan konfirmasi bahwa hasil riset memang menunjukkan adanya sebagian kecil masyarakat yang marah pada kebijakan PSBB dan tidak mudik ini karena mereka tidak bisa melakukan berbagai kegiatan di luar rumah kurang lebih selama 3 bulan hingga bulan Mei ini.

Menurut Mira Rochyadi-Reetz dari Technische Universiteit Ilmenau Jerman, meski di Jerman angka yang positif terjangkit sudah lebih dari 170.000, ia merasa tidak genting krisisnya sementara di Indonesia yang angkanya jauh lebih rendah terasa krisisnya lebih besar. Tentu ini banyak dipengaruhi oleh beberapa hal lain. Dari krisis ini kita belajar bahwa developing countries seperti Indonesia akan selalu lebih rentan terhadap krisis dibanding negara maju. Selain krisis korona kita tentu akan berhadapan dengan krisis lainnya seperti perubahan iklim, maka Indonesia harus belajar lebih banyak dan lebih siap

Perasaan bosan di rumah, dan penumpukan peran setiap individu dalam rumah yang harus dijalankan, padahal setiap peran memiliki tugas dan kewajiban beda-beda, membuat komunikasi dalam rumah terganggu. Sebagai karyawan, sebagai ibu rumah tangga, sebagai ayah dari anak-anak, sebagai direktur perusahaan, semua dilakukan dalam rumah yang pembagian waktu, peran, dan pekerjaannya belum tentu bisa disiplin seperti ketika kita keluar rumah.

Tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan, bersamaan dengan adanya interaksi dengan anak dan keluarga di rumah yang masing-masing memiliki kewajiban, membuat pesan dalam komunikasi yang dilakukan kacau sehingga intensitas emosional meningkat.

Belum lagi ditambah dengan penurunan kegiatan ekonomi yang berimbas pada penurunan pendapatan dan ekonomi keluarga, dan informasi yang didapat masyarakat dari media. "Semua hal ini diterima individu dalam satu waktu dalam konteks yang sama. Sangat dimaklumi jika ada yang akhirnya marah," ujar Anna.

Beberapa hal menarik dari penelitian ini menjelaskan dukungan terhadap kebijakan pemerintah adalah 87% responden merasa bahwa virus Corona membahayakan kesehatan mereka. Fakta lain dari survei adalah 65% responden merasa takut tertular virus yang sampai tanggal 19 Mei 2020 kemarin menyebabkan kematian 1.191 orang di Indonesia, dan lebih dari 300.000 orang di seluruh dunia.

Perasaan responden yang ditangkap dalam hasil riset ini terkait dengan banyaknya masyarakat yang mengandalkan informasi dari media dengan nara sumber tenaga kesehatan seperti dokter atau website asosiasi kesehatan. Dukungan yang diberikan kepada pemerintah tidak serta merta setelah mendapatkan informasi dari pemerintah, tetapi dari informasi di berbagai media dengan nara sumber dari bidang kesehatan.

Namun, meski hasil riset menunjukkan masyarakat mendukung kebijakan pemerintah, riset ini juga menunjukkan sisi lain kekhawatiran masyarakat yaitu 90% responden mengakui bahwa kebijakan tersebut mengganggu kondisi perekonomian mereka. Bahkan teridentifikasi juga bahwa ada 46% responden yang merasa tidak memiliki pengaruh atas keputusan pemerintah dalam penanganan Covid-19.

Instrumen survei yang digunakan oleh tim peneliti di Indonesia dan Jerman menggunakan konsep yang serupa, namun indikatornya disesuaikan dengan konteks di masing-masing negara.

Penelitian ini menggunakan metode survei representatif nasional dan pengumpulan data dilakukan melalui aplikasi digital yang dilaksanakan oleh Jakpat Mobile Online Survey Indonesia. Periode pengumpulan data dilakukan pada tanggal 27 April -18 Mei 2020 dan menjangkau 1100 responden dari seluruh provinsi di Indonesia.
(eko)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0810 seconds (0.1#10.140)