Ketua DPD: Tekanan Global Memaksa Indonesia Ratifikasi dan Terikat Perjanjian Internasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan tekanan global membuat Indonesia terintegrasi ke dalam perjanjian internasional. Hal ini merupakann konsekuensi pergaulan internasional. Namun, harus diakui, tidak jarang hal itu menguji kedaulatan Indonesia sebagai bangsa.
LaNyalla menyampaikan hal tersebut secara virtual, saat menjadi keynote speaker di Seminar Hukum Nasional Himpunan Muda Sarjana Hukum Indonesia (HIMSHI) mengenai Konsep dan Aktualisasi Negara Hukum Indonesia, Sabtu (10/4/2021).
Kegiatan ini juga diikuti sejumlah tokoh, yaitu Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Senator DPD RI Jimly Asshiddiqie, Menkopolhukam Mahfud MD, praktisi dan akademisi hukum, para Sarjana Hukum yang tergabung dalam HIMSHI, juga Aktivis Organisasi Hukum dan LSM, serta Perwakilan BEM Fakultas Hukum.
Menurut LaNyalla kondisi yang dialami Indonesia saat ini berbeda dengan era Orde Baru. Menurutnya, di masa itu, tekanan globalisasi bertujuan agar Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya bagi masuknya kekuatan ekonomi dan politik asing. "Sedangkan di era Reformasi, tekanan globalisasi bertujuan agar Indonesia semakin terintegrasi ke dalam sistem politik, ekonomi, dan budaya global yang berada dalam kendali kekuatan multinasional yang berwatak kapitalis dan neoliberalisme," tuturnya.
Senator asal Jawa Timur itu menambahkan, integrasi ini ditandai dengan sejumlah perjanjian internasional sebagai konsekuensi pergaulan internasional. "Persoalannya adalah, perjanjian-perjanjian atau ratifikasi hukum internasional tersebut berlatar kebutuhan kita atau kebutuhan mereka?" ujarnya.
Dijelaskan LaNyalla, secara teori, the greatest happiness is a greatest number. Artinya, yang terpenting dari perjanjian internasional atau ratifikasi tersebut adalah siapa yang diuntungkan. Kita atau mereka. "Semua yang kita tandatangani dan ratifikasi dari perjanjian internasional, mengandung konsekuensi untuk memproduksi hukum. Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dimana ratifikasi adalah salah satu bentuk pengesahan, yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional," jelasnya.
Ketua Dewan Kehormatan Kadin Jawa Timur itu menjelaskan, pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional dilakukan melalui Undang-Undang apabila berkenaan dengan sejumlah hal, yaitu masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, dan pinjaman dan atau hibah luar negeri.
"Sedangkan pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional melalui Keppres, dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat, tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional," katanya.
Menurutnya, jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini di antaranya perjanjian induk yang menyangkut kerja sama bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerja sama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis. "Jadi dimana letak kedaulatan hukum negara Indonesia yang sudah menandatangani banyak perjanjian internasional yang patut diduga berlatar kebutuhan masyarakat internasional? Seperi WTO, GATT, Free Trade ASEAN, IJEPA dengan Jepang dan masih banyak lainnya," tanyanya.
Padahal di satu sisi, kewajiban negara dalam proses ratifikasi perjanjian internasional adalah untuk memastikan keselarasan dengan konstitusi dan mentransformasikan ke hukum nasional. "Di sinilah tantangan kepada para sarjana hukum dan politisi di Parlemen sebagai law maker. Kita dituntut untuk berfikir dan bekerja guna menyempurnaan saat dua konsep itu dipertemukan, yaitu muatan perjanjian internasional dengan norma konstitusi Indonesia yang seharusnya berpihak kepada rakyat. Sehingga aktualisasi hukum Indonesia benar-benar berpihak kepada marwah Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat," ujar alumnus Universitas Brawijaya Malang itu.
LaNyalla menyampaikan hal tersebut secara virtual, saat menjadi keynote speaker di Seminar Hukum Nasional Himpunan Muda Sarjana Hukum Indonesia (HIMSHI) mengenai Konsep dan Aktualisasi Negara Hukum Indonesia, Sabtu (10/4/2021).
Kegiatan ini juga diikuti sejumlah tokoh, yaitu Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Senator DPD RI Jimly Asshiddiqie, Menkopolhukam Mahfud MD, praktisi dan akademisi hukum, para Sarjana Hukum yang tergabung dalam HIMSHI, juga Aktivis Organisasi Hukum dan LSM, serta Perwakilan BEM Fakultas Hukum.
Menurut LaNyalla kondisi yang dialami Indonesia saat ini berbeda dengan era Orde Baru. Menurutnya, di masa itu, tekanan globalisasi bertujuan agar Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya bagi masuknya kekuatan ekonomi dan politik asing. "Sedangkan di era Reformasi, tekanan globalisasi bertujuan agar Indonesia semakin terintegrasi ke dalam sistem politik, ekonomi, dan budaya global yang berada dalam kendali kekuatan multinasional yang berwatak kapitalis dan neoliberalisme," tuturnya.
Senator asal Jawa Timur itu menambahkan, integrasi ini ditandai dengan sejumlah perjanjian internasional sebagai konsekuensi pergaulan internasional. "Persoalannya adalah, perjanjian-perjanjian atau ratifikasi hukum internasional tersebut berlatar kebutuhan kita atau kebutuhan mereka?" ujarnya.
Dijelaskan LaNyalla, secara teori, the greatest happiness is a greatest number. Artinya, yang terpenting dari perjanjian internasional atau ratifikasi tersebut adalah siapa yang diuntungkan. Kita atau mereka. "Semua yang kita tandatangani dan ratifikasi dari perjanjian internasional, mengandung konsekuensi untuk memproduksi hukum. Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dimana ratifikasi adalah salah satu bentuk pengesahan, yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional," jelasnya.
Ketua Dewan Kehormatan Kadin Jawa Timur itu menjelaskan, pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional dilakukan melalui Undang-Undang apabila berkenaan dengan sejumlah hal, yaitu masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, dan pinjaman dan atau hibah luar negeri.
"Sedangkan pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional melalui Keppres, dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat, tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional," katanya.
Menurutnya, jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini di antaranya perjanjian induk yang menyangkut kerja sama bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerja sama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis. "Jadi dimana letak kedaulatan hukum negara Indonesia yang sudah menandatangani banyak perjanjian internasional yang patut diduga berlatar kebutuhan masyarakat internasional? Seperi WTO, GATT, Free Trade ASEAN, IJEPA dengan Jepang dan masih banyak lainnya," tanyanya.
Padahal di satu sisi, kewajiban negara dalam proses ratifikasi perjanjian internasional adalah untuk memastikan keselarasan dengan konstitusi dan mentransformasikan ke hukum nasional. "Di sinilah tantangan kepada para sarjana hukum dan politisi di Parlemen sebagai law maker. Kita dituntut untuk berfikir dan bekerja guna menyempurnaan saat dua konsep itu dipertemukan, yaitu muatan perjanjian internasional dengan norma konstitusi Indonesia yang seharusnya berpihak kepada rakyat. Sehingga aktualisasi hukum Indonesia benar-benar berpihak kepada marwah Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat," ujar alumnus Universitas Brawijaya Malang itu.
(cip)