Perubahan Pola Makan dan Urgensi Literasi Gizi

Kamis, 08 April 2021 - 06:08 WIB
loading...
Perubahan Pola Makan...
Ali Khomsan (Foto: Istimewa)
A A A
Ali Khomsan
Guru Besar Pangan dan Gizi IPB

Rendahnya asupan gizi dan masalah gizi kurang (underweight dan stunting) adalah ciri masalah kesehatan masyarakat di negara sedang berkembang. Transisi gizi mendorong terjadinya perubahan pola pangan masyarakat menuju asupan padat energi (terutama bersumber dari lemak) dan rendahnya aktivitas fisik yang memunculkan problem gizi lebih serta semakin merebaknya penyakit tidak menular (kronis). Transisi gizi dapat terjadi karena meningkatnya kemakmuran suatu bangsa.

Abad 20 ditandai dengan pencapaian umat manusia yang luar biasa, yaitu berkurangnya ancaman kelaparan di banyak negara maju dan sedang berkembang. Revolusi hijau di bidang pertanian menghasilkan produk pangan berlimpah dengan penggunaan bibit unggul, pupuk buatan, maupun pestisida untuk pemberantasan hama. Ancaman kelaparan juga semakin berkurang karena semakin responsifnya kebijakan di banyak negara untuk penanggulangan kelaparan dan semakin efisiennya pasar produk-produk pertanian sehingga akses terhadap pangan semakin mudah.

Menurut WHO, sejak 1980-an telah terjadi penurunan masalah gizi kurang di Asia dan Amerika Latin, namun prevalensinya masih tinggi di negara-negara Subsahara Afrika. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di banyak negara menyebabkan pangan lebih tersedia dan dapat dikonsumsi secara cukup.

UNICEF mengakui adanya kemajuan yang signifikan dalam pengentasan problem kekurangan vitamin A (KVA) dan gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI), namun anemia masih menjadi ancaman di banyak negara. Global Nutrition Report (2017) menyebutkan bahwa 2 miliar populasi dunia mengalami kekurangan gizi mikro penting, termasuk anemia yang diderita oleh 613 juta orang di dunia. Di Indonesia sejumlah 48,9% wanita hamil dan banyak remaja putri mengalami anemia.

Anemia karena kekurangan zat besi menjadi faktor risiko dominan munculnya defisiensi seng. Hasil penelitian Riyadi (2002) mengungkapkan bahwa anak-anak baduta yang anemia berpeluang 2,5 kali lipat untuk mengalami kekurangan seng. Interaksi kekurangan besi dan seng selanjutnya diketahui berdampak pada hambatan pertumbuhan tinggi badan sehingga lahirlah anak-anak yang pendek (stunting).

Kemajuan ekonomi suatu negara berbanding lurus dengan asupan lemak di masyarakatnya. Sebagai contoh di negara-negara industri konsumsi lemak menyumbangkan 36,4% terhadap asupan kalori, sementara di negara-negara Asia Selatan, Tenggara, dan Timur 16,1 – 17,1%, dan Amerika Latin 25,6%. Namun, kini seiring meningkatnya kesadaran kesehatan masyarakat, terjadilah pergeseran pola konsumsi pangan di negara maju yang mulai mengurangi konsumsi lemak dan meningkatkan konsumsi biji-bijian, sayur, dan buah. Ironisnya, di negara sedang berkembang justru masyarakatnya mengganti diet tinggi biji-bijian dan serat dengan minuman manis dan pangan tinggi lemak. Inilah paradoks transisi gizi yang harus diwaspadai.

Pada periode 2007-2018 di Indonesia terjadi penurunan masalah gizi yang bermakna terutama gizi kurang dan stunting (pendek) pada anak balita, meski untuk stunting angkanya masih tinggi (30,8%). Sebaliknya, kejadian obesitas pada umur >18 tahun merambat naik dan data terakhir pada 2018 menunjukkan prevalensi obesitas mencapai 21,8%. Ini artinya seperlima penduduk dewasa mengalami obesitas.

Problem gizi erat kaitannya dengan konsumsi pangan dan pendapatan. Beberapa jenis pangan dikenal sebagai pangan elastis yang konsumsinya meningkat seiring membaiknya pendapatan. Pangan-pangan tersebut antara lain gula dan pangan hewani. Kecenderungan asupan energi di Indonesia meningkat terutama pada kuintil 1 dan 2 menurut pendapatan. Capaian kuintil 1 dalam hal asupan energi adalah 82,2% dan kuintil 2 94,5%. Untuk kuintil 3-5 asupan energi rata-rata sudah mencapai 100% atau lebih. Ini bisa dimaknai bahwa masyarakat bawah masih berjuang keras untuk mencukupi asupan energinya yang bersumber pada pangan pokok, sementara masyarakat golongan atas sudah tidak mempunyai problem asupan energi dan bahkan sudah berlebihan. Asupan energi masyarakat golongan atas terdiri atas pangan pokok, ditambah gula dan lemak yang kontribusinya semakin tinggi sebagaimana tren di negara maju.

Konsumsi pangan olahan (termasuk pangan instan) meningkat baik di perkotaan maupun di perdesaan. Banyak faktor yang memengaruhi hal ini. Peningkatan ketersediaan pangan olahan terjadi karena semakin bertumbuhnya industri makanan dan minuman yang berlangsung dengan pesat. Perubahan gaya hidup karena kesibukan kerja mendorong naiknya konsumsi pangan olahan. Dengan harga terjangkau makanan olahan tampak lebih menarik dan lebih praktis dalam penyiapannya sehingga semakin disukai orang kota maupun desa.

Paparan Minarto yang mewakili Bappenas dalam rapat kerja terbatas di Dewan Ketahanan Nasional 12 Oktober 2020 menyebutkan perkembangan gerai makanan dan minuman siap saji yang meningkat dari 5.890 (2011) menjadi 9.100 (2017). Pernah ada yang mengatakan kemodernan suatu negara dicerminkan oleh banyaknya restoran makanan siap saji. Kalau tidak ada pandemi Covid-19, kita bisa melihat ramainya restoran siap saji setiap hari. Cita rasa makanan siap saji sudah dapat diterima oleh lidah masyarakat Indonesia. Pergeseran pola makan mungkin sedang terjadi, sebagaimana dulu negara-negara Barat mengalaminya. Pada 1990-an pernah ada gerakan Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI) agar masyarakat tetap menyukai makanan lokal khas Indonesia, bahkan muncul pula istilah slow food yang dikontraskan dengan fast food.

Saatini masyarakat semakin dimanjakan oleh kemudahan layanan pesan antar makanan melalui aplikasi daring. Ini berlaku untuk semua jenis makanan yang bisa ditawarkan secara daring, baik makanan modern maupun makanan tradisional. Pada dasarnya, berbagai kemudahan generasi saat ini untuk mengakses makanan harus disertai dengan literasi gizi yang baik sehingga gizi seimbang yang sudah digaungkan Kemenkes sejak 1996 benar-benar dapat diimplementasikan di tingkat masyarakat.

Transisi gizi adalah suatu keniscayaan yang dapat terjadi karena perubahan kesejahteraan masyarakat, kemudahan fasilitas, dan meningkatnya ketersediaan pangan. Apakah transisi gizi dapat berdampak buruk atau baik bagi kesehatan sangat tergantung pada masyarakat sendiri dalam menjatuhkan pilihan-pilihan pangan yang akan dikonsumsinya.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1823 seconds (0.1#10.140)