Diskusi Dialektika Demokrasi DPR yang bertajuk Lawan Geliat Radikal-Terorisme di Tanah Air di Media Center DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (1/4/2021). Foto/Kiswondari
AAA
JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PPP Syaifullah Tamliha mengatakan, semua pihak dikejutkan dengan aksi teror yang berlangsung di depan Gereja Katedral Makassar dan masuknya pelaku teror ke Mabes Polri.
"Revisi itu sudah DPR setujui, kurang lebih dua setengah tahun yang lalu, direvisi bahwa yang pertama TNI bisa terlibat dalam tindak pidana telorisme namun ada masalah. Memang TNI itu dia jaringannya lebih sampai ke desa, namanya Babinsa, sementara polisi hanya sampai di kecamatan atau Polsek, sementara TNI di kecamatan punya Koramil," kata Tamliha.
Namun Tamliha menyayangkan, keterlibatan TNI itu sendiri sampai sekarang Peraturan Presiden (Perpres) tentang Keterlibatan Operasi Militer selain perang bagi TNI belum kunjung diteken Presiden.
Komisi I juga menolak isinya karena di dalamnya mengatur bahwa anggaran itu untuk melakukan operasi militer selain perang yang menyangkut tindak pidana terorisme dibiayai APBD, APBN dan sumber lain yang tidak mengikat.
"Yang jadi masalah, itu bagian dari masalah, akhirnya Perpresnya ampai sekarang komisi I belum menerima finalnya seperti apa, kalau TNI digunakan untuk operasi militer selain perang, konsekuensinya anggaran kan mesti ditambah, sementara untuk tahun 2021 anggaran kemenhan dan TNI turun dari Rp137 triliun turun," paparnya.
Politikus PPP ini menjelaskan, pelaku terorisme sudah ada dengan beragam istilahnya. Namun, dia tidak selakat dengan pernyataan Ketua Umum (Ketum) PBNU Said Aqil Siradj bahwa bahaya laten di Indonesia adalah radikalisme dan salafi.
"Saya juga kurang sependapat jika bahaya laten yang lebih utama dinegeriini adalah radikalisme dan salafi. Seperti yang diungkapkan oleh ketua umum tanfiziah PBNU profesor Dr Said Aqil Siradj," ungkapnya.
Oleh karena itu kata Tamliha, sepanjang Perpres tentang keterlibatan TNI itu belum ada, maka selama itu pula TNI belum bisa terlibat sepenuhnya, untuk menjalankan UU yang direvisi beberapa tahun yang lalu.
Namun ia yakin, semua jajaran intelijen, baik BIN, BAIS milik TNI, Intelkam milik Polri , Jaksa Agung Muda Intelijen dan seluruh struktur yang ada di Intelejen itu termasuk BNPT sudah mengetahui jaringan itu, sudah mengerti bahwa jaringan itu sudah terpapar, oleh paham paham radikalisme dan terorisme.
"Oleh karena itu, kita berharap pencegahan terhadap tindak pidama terorime itu, itu bisa dilakukan sedini munkin, tanpa terlebih dahulu mereka melakukan teror, karena konstitusi sudah memberikan kewenangan kepada Polisi untuk melakukan penangkapan jika dia terindikasi melakukan perbuatan teror," ucap Tamliha.
"Saya kira yang saya harapkan adalah semua mereka itu mestidibina dengan baik, pemahamana agama tidak semua dimiliki secara kaffah, secara sempurna, munkin mereka ambil sepotong-sepotong ayat dlam alqur'an kemudian melakukan tindakan terorisme, itu adalah tugas ormas keagamaan dan negara untuk membimbing mereka agar tidak terpapar oleh ajaran-ajaran atau aliran terorisme mungkin itu yang bisa saya sampaikan," imbuhnya.