Plus Minus Prabowo-Anies Berduet di Pilpres 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wacana duet Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Pilpres 2024 mendatang berembus.
Wacana itu mencuat dari ucapan Ketua DPP Partai Gerindra Desmond Junaidi Mahesa beberapa waktu lalu.
"Pasangan Prabowo Subianto -Anies Baswedan adalah salah satu skenario yang mungkin terjadi di 2024," ujar pengamat politik dari Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara kepada SINDOnews, Selasa (23/3/2021).
Igor mengatakan, data sejumlah survei membuktikan Menteri Pertahanan dan Gubernur DKI itu selalu berada di lima besar tokoh yang punya elektabilitas dan popularitas untuk maju di Pemilu 2024. "Ini artinya, Anies Baswedan jauh lebih baik menjadi cawapres ketimbang capres," kata Igor yang juga sebagai Director Survey dan Polling Indonesia (SPIN) ini.
Pertama, kata Igor, tahun depan Anies Baswedan tidak punya lagi panggung politik, karena masa jabatannya sebagai Gubernur DKI akan berakhir. Kedua, lanjut Igor, Anies Baswedan tidak punya kendaraan politik atau bukan kader partai politik. "Modal Anies cuma elektabilitas, bukan eligibilitas," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa syarat seseorang bisa maju sebagai capres masih mengacu pada syarat ambang batas calon presiden atau presidential threshold 20%. "Lain halnya kalau menjadi nol persen. Beda dengan Prabowo Subianto yang punya elektabilitas, panggung politik dan Gerindra," katanya.
Bahkan, menurut Igor, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto lebih berpeluang jadi Capres 2024 karena faktor Golkar, walaupun secara elektoral masih minim. Airlangga, kata dia, tinggal meningkatkan elektabilitas dan mencari pasangan dari partai lain (koalisi), maka menjadi Capres sesuai kelayakan Undang-undang.
"Ketiga, jika Prabowo maju lagi sebagai capres di 2024, kecil kemungkinan Anies Baswedan mau head to head dengan Prabowo. Bisa dibayangkan, jika Gerindra DKI tidak banyak mendukung kebijakan Anies di Jakarta sampai sekarang," ungkapnya.
Igor mengatakan, keinginan Anies Baswedan untuk bertemu Prabowo Subianto beberapa waktu lalu bisa dilihat dalam konteks perlindungan atas leadership-nya di Jakarta sampai akhir masa jabatan tahun depan. "Sekalipun politik itu dinamis, posisi Anies sebagai cawapres Prabowo lebih masuk akal," kata Igor.
Keempat, kata Igor, Anies Baswedan bisa menutupi celah kekurangan Prabowo Subianto, yaitu dari pemilih muslim yang kecewa karena bergabungnya mantan Danjen Kopasus itu ke dalam Pemerintahan Jokowi. Anies juga dianggap punya daya tarik bagi pemilih milenial yang merupakan segmen potensial dalam demografi pemilih di 2024.
"Kekurangannya dari pasangan Prabowo-Anies adalah tantangan dari pemilih ideologis yang kecewa terhadap Prabowo-Sandi di Pemilu 2019 lalu," katanya.
Menurut dia, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa jadi lantang menolak duet Prabowo Subianto - Anies Baswedan, begitu juga PDIP atau Nasdem. Sebaliknya, dia melihat Anies Baswedan walaupun elektabilitasnya cukup bagus, tapi tingkat ketidaksukaan terhadap Gubernur DKI ini juga tinggi, terutama bagi mayoritas pemilih Jokowi
"Oleh karena itu, selain skenario Prabowo-Anies, maka skenario Prabowo-Ganjar, Prabowo-Puan, atau Prabowo-Airlangga Hartarto juga bisa saja terjadi di injury time. Membaca hasil berbagai survei hari ini itu mudah. Jika Prabowo Subianto terus menerus juara, itu artinya cuma Jokowi yang bisa mengalahkan Prabowo, bukan tokoh yang lain. Atau belum ada tokoh yang lain. Oleh karena itu, figur cawapres itu sangat menentukan di 2024 nanti," pungkasnya.
Wacana itu mencuat dari ucapan Ketua DPP Partai Gerindra Desmond Junaidi Mahesa beberapa waktu lalu.
"Pasangan Prabowo Subianto -Anies Baswedan adalah salah satu skenario yang mungkin terjadi di 2024," ujar pengamat politik dari Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara kepada SINDOnews, Selasa (23/3/2021).
Igor mengatakan, data sejumlah survei membuktikan Menteri Pertahanan dan Gubernur DKI itu selalu berada di lima besar tokoh yang punya elektabilitas dan popularitas untuk maju di Pemilu 2024. "Ini artinya, Anies Baswedan jauh lebih baik menjadi cawapres ketimbang capres," kata Igor yang juga sebagai Director Survey dan Polling Indonesia (SPIN) ini.
Pertama, kata Igor, tahun depan Anies Baswedan tidak punya lagi panggung politik, karena masa jabatannya sebagai Gubernur DKI akan berakhir. Kedua, lanjut Igor, Anies Baswedan tidak punya kendaraan politik atau bukan kader partai politik. "Modal Anies cuma elektabilitas, bukan eligibilitas," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa syarat seseorang bisa maju sebagai capres masih mengacu pada syarat ambang batas calon presiden atau presidential threshold 20%. "Lain halnya kalau menjadi nol persen. Beda dengan Prabowo Subianto yang punya elektabilitas, panggung politik dan Gerindra," katanya.
Bahkan, menurut Igor, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto lebih berpeluang jadi Capres 2024 karena faktor Golkar, walaupun secara elektoral masih minim. Airlangga, kata dia, tinggal meningkatkan elektabilitas dan mencari pasangan dari partai lain (koalisi), maka menjadi Capres sesuai kelayakan Undang-undang.
"Ketiga, jika Prabowo maju lagi sebagai capres di 2024, kecil kemungkinan Anies Baswedan mau head to head dengan Prabowo. Bisa dibayangkan, jika Gerindra DKI tidak banyak mendukung kebijakan Anies di Jakarta sampai sekarang," ungkapnya.
Igor mengatakan, keinginan Anies Baswedan untuk bertemu Prabowo Subianto beberapa waktu lalu bisa dilihat dalam konteks perlindungan atas leadership-nya di Jakarta sampai akhir masa jabatan tahun depan. "Sekalipun politik itu dinamis, posisi Anies sebagai cawapres Prabowo lebih masuk akal," kata Igor.
Keempat, kata Igor, Anies Baswedan bisa menutupi celah kekurangan Prabowo Subianto, yaitu dari pemilih muslim yang kecewa karena bergabungnya mantan Danjen Kopasus itu ke dalam Pemerintahan Jokowi. Anies juga dianggap punya daya tarik bagi pemilih milenial yang merupakan segmen potensial dalam demografi pemilih di 2024.
"Kekurangannya dari pasangan Prabowo-Anies adalah tantangan dari pemilih ideologis yang kecewa terhadap Prabowo-Sandi di Pemilu 2019 lalu," katanya.
Menurut dia, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa jadi lantang menolak duet Prabowo Subianto - Anies Baswedan, begitu juga PDIP atau Nasdem. Sebaliknya, dia melihat Anies Baswedan walaupun elektabilitasnya cukup bagus, tapi tingkat ketidaksukaan terhadap Gubernur DKI ini juga tinggi, terutama bagi mayoritas pemilih Jokowi
"Oleh karena itu, selain skenario Prabowo-Anies, maka skenario Prabowo-Ganjar, Prabowo-Puan, atau Prabowo-Airlangga Hartarto juga bisa saja terjadi di injury time. Membaca hasil berbagai survei hari ini itu mudah. Jika Prabowo Subianto terus menerus juara, itu artinya cuma Jokowi yang bisa mengalahkan Prabowo, bukan tokoh yang lain. Atau belum ada tokoh yang lain. Oleh karena itu, figur cawapres itu sangat menentukan di 2024 nanti," pungkasnya.
(dam)