Skema PPPK Hanya untuk Bayar Utang Budi kepada Guru Honorer
loading...
A
A
A
JAKARTA – Program satu juta guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dinilai hanya sebagai cara pemerintah membayar utang budi kepada para guru honorer. Skema PPPK diharapkan tidak menutup peluang bagi calon guru untuk bisa menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dari jalur Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Guru honorer memberikan sumbangsih pada dunia pendidikan cukup besar. Pasalnya, sebanyak 40% guru yang mengajar di sekolah negeri adalah berstatus guru honorer. Sayangnya, kesejahteraan guru honorer hingga kini belum diperhatikan dengan baik. Untuk guru honorer yang diangkat oleh pemerintah daerah tidak memiliki keseragaman gaji. Karena penggajian mereka bergantung pada kemampuan anggaran belanja daerah masing-masing. Jika APBD kecil, otomatis gaji mereka pun kecil. “Guru honorer daerah yang diangkat daerah, mereka punya gaji dari daerah. Besarannya tergantung pada kemampuan pemda. Ada yang Rp1 juta per bulan di Blitar, ada yang Rp750.000. Ada juga yang sampai Rp4,4 juta, itu di DKI Jakarta,” kata Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim .
Kedua, guru honorer yang diangkat sekolah atau komite sekolah. Penggajian mereka berdasarkan dana biaya operasional sekolah (BOS). Nominalnya pun tidak besar kisaran Rp750.000 dan ironinya banyak dari mereka yang gajinya tertunda berbulan-bulan. “P2G meminta Kemdikbud, Kemdagri, dan Kementrian Agama membuat surat kesepakatan bersama (SKB) tentang upah minimum guru yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup di seluruh Indonesia. Dengan demikian, ada kelayakan upah nantinya,” ucapnya.
Aspirasi dari P2G disikapi pemerintah melalui mekanisme perekrutan 1 juta guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Menurut P2G, ini bukanlah solusi jangka panjang. Ditegaskan bahwa dunia pendidikan memerlukan tenaga pendidik untuk jangka panjang, bukan sekadar mereka yang dipekerjakan berdasarkan sistem kerja dengan perjanjian (kontrak). “Merekrut satu juta guru P3K bukan solusi jangka panjang, karena dia (guru honorer) dikontrak (sistem kerjanya), sedangkan kita butuh guru yang bertahun-tahun. Sudah ada kejadian di Bone, Sulawesi Selatan, ada guru sekolah dasar honorer sudah belasan tahun (mengajar) ternyata kontrak cuma setahun. Tapi, guru yang lain ada yang dikontrak lima tahun. Jadi, pertimbangannya ya suka-suka daerah. Inilah yang kami khawatirkan akan terjadi politisasi. Kedudukan P3K ini lemah jadi rentan dipolitisasi,” paparnya.
Satriwan berpendapat bahwa sistem P3K ini hanya untuk memenuhi “utang” pemerintah kepada guru honorer. Karena mereka yang berusia di atas 35 tahun tidak bisa diangkat jadi PNS lantaran terbentur UU Nomor 5 tahun 2014 yang menyebutkan tidak lagi mengenal istilah “diangkat”, melainkan berbasis tes. Perihal rekrutmen satu juta guru P3K pun tidak direspons semua wilayah dengan baik. Buktinya banyak daerah yang tidak mengajukan formasi tersebut. Mengapa? Karena, daerah mempertimbangkan penggajian guru honorer tersebut. “Alasannya karena daerah tidak punya pendanaan yang baik untuk tunjangan dan gaji guru. Karena, menurut Perpres Nomor 98 tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan P3K yang direkrut oleh pemda maka mereka digaji dan tunjangan oleh pemda (melalui APBD),” katanya.
Ini yang menjadikan daerah tidak berlomba-lomba mengajukan formasi satu juta guru P3K tersebut. Dari kuota satu juta guru yang dibuka, yang diajukan hanya 513.000 formasi saja. Masih ada 58 kota/kabupaten termasuk dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat yang tidak mengajukan. “Kami sangat sayangkan buruknya koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Dilihat dari sedikitnya daerah yang mengusulkan formasi guru P3K. Alasannya karena daerah tidak punya pendanaan yang baik untuk tunjangan dan gaji guru. Alasan klasik muncul bahwa APBD kecil dan tidak sanggup membiayai,” ucapnya.
Hal lain adalah yang diharapkan banyak daerah menginginkan dibuka kembali keran perekrutan guru CPNS. Hal itu juga sudah disuarakan pihaknya sejak Desember lalu ketika pemerintah menghentikan seleksi guru CPNS menjadi sistem P3K. “Kami dari awal meminta agar tetap buka seleksi guru CPNS. Kalau ini dibuka, pasti daerah ramai mengusulkan karena jelas kalkulasi secara APBD, guru PNS itu sampai pensiun. Kalau P3K kan kontrak dan ribet secara manajemen. Perhitungan manajemen kepegawaian dan keuangan relatif lebih complicated ketimbang PNS yang sudah jelas masa pensiunnya. Makanya, dua faktor ini yang membuat daerah ragu menyusulkan formasi P3K,” tuturnya.
Padahal, kata Satriwan, saat ini Indonesia memerlukan tenaga guru sebanyak 1,3 juta orang sampai tahun 2024. P2G juga mendorong agar Kemenpan RB dan Kemendikbud memberlakukan poin afirmasi. Aspirasi itu sudah direspons oleh kementrian, walaupun hanya sebagian kecil. “Yang kita minta kemarin sudah dikabulkan sebagian kecil oleh Mas Menteri dan disampaikan ke Komisi X yaitu guru honorer yang sudah memiliki sertifikat pendidik maka diberikan langsung nilai 100 untuk aspek penilaian kompetensi teknis. Tapi, tetap harus ikut ujian. Kepemilikan sertifikat pendidik diberikan nilai kompetensi teknis yang maksimal 300 nilainya dari nilai 500. Sisanya dicari dari nilai aspek kompetensi manajerial. Ketiga nilai aspek kompetensi sosiokultural dan wawancara. Ada empat penilaian P3K. Minta poin afirmasi,” tandasnya.
Sementara itu, pengamat Pendidikan Indra Charismiadji menilai harus ada kualifikasi untuk menjaga kualitas dari guru honorer. Dia mengungkapkan dari sekitar 1.498.344 orang guru honorer yang terdata di Kemendikbud hanya 47% dari mereka yang memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK). Ini artinya ada 789.381 guru honorer tidak memiliki NUPTK. "Kok ada guru honorer bisa tanpa NUPTK, tidak tahu di lapangan pada seenaknya saja. Jumlah mereka banyak banget dan mereka memang tidak layak," katanya, kepada KORAN SINDO.
Karenanya, para guru honorer tanpa NUPTK tersebut tidak layak dipertahankan. Mereka ini tidak bermanfaat untuk pembangunan SDM unggul. "Guru honorer memang tidak bisa menopang SDM unggul jadi layak diberhentikan. Kalau untuk masa depan bangsa, tolong pindahkan guru honorer ini ke bidang lain yang lebih layak. Pendidikan bukan tempat penyerapan tenaga kerja yang tidak punya keahlian mendidik,” ucapnya.
Dia pun mengatakan, untuk itu dia sepakat kalau guru-guru di Indonesia dijadikan PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja). Dengan menjadi PPPK, mereka lebih terpacu meningkatkan kinerja dan kompetensinya karena berlaku sistem kontrak yang kinerjanya baik akan dilanjutkan kontraknya.
Sebaliknya yang kinerjanya buruk tidak dilanjutkan kontraknya. Pejabat pembina kepegawaian (PPK) pun bisa merekrut guru PPPK baru yang lebih baik kinerjanya. Berbeda bila menyandang status PNS, guru cenderung malas dan mengalihkan beban kerjanya kepada honorer seperti yang selama ini terjadi. “Saya tidak asal bicara. Data Bank Dunia melaporkan bahwa 23,5% guru Indonesia selalu mangkir dari jadwal mengajar. Ini karena mereka tahu ada guru honorer, akhirnya guru PNS mangkir alias bolos,” tandasnya.
Dia menuturkan, dengan status honorer, mereka dengan berbagai alasan bisa mangkir mengajar sehingga masalahnya ini bukan pada status kepegawaian seorang guru, melainkan pada kedisiplinan. Guru yang berstatus PNS dan sudah terjamin masih mangkir dari tugasnya karena tidak disiplin itu.
Terkait rekrutmen satu juta guru PPPK, menurut pengamat dari Vox Point Indonesia ini, yang harus dibuat sebelum perekrutan besar-besaran adalah human capital grand design oleh Kemendikbud. Di situ menjelaskan jumlah guru yang dibutuhkan, dengan kualifikasi keterampilan seperti apa dan di mana akan ditempatkan. “Saya sangat setuju dengan rekrutmen guru PPPK dibandingkan merekrut guru CPNS, tetapi kualifikasinya harus jelas. Bukan semata karena kasihan kepada guru honorer kemudian memasukkan semuanya,” ujarnya.
Dia pun mengatakan, langkah yang diambil harus terbaik untuk bangsa, bukan kelompok (termasuk guru). Jadi, tidak perlu berdebat dulu masalah status kepegawaian, penghasilan, lama mengabdi, ketidakadilan, dan sebagainya. “Kita harus memilih yang terbaik. Apa pun pilihan terbaik tersebut pasti akan merugikan sebagian pihak, harapannya akan legawa,” tandasnya.(rr ratna/helmi syarif)
Guru honorer memberikan sumbangsih pada dunia pendidikan cukup besar. Pasalnya, sebanyak 40% guru yang mengajar di sekolah negeri adalah berstatus guru honorer. Sayangnya, kesejahteraan guru honorer hingga kini belum diperhatikan dengan baik. Untuk guru honorer yang diangkat oleh pemerintah daerah tidak memiliki keseragaman gaji. Karena penggajian mereka bergantung pada kemampuan anggaran belanja daerah masing-masing. Jika APBD kecil, otomatis gaji mereka pun kecil. “Guru honorer daerah yang diangkat daerah, mereka punya gaji dari daerah. Besarannya tergantung pada kemampuan pemda. Ada yang Rp1 juta per bulan di Blitar, ada yang Rp750.000. Ada juga yang sampai Rp4,4 juta, itu di DKI Jakarta,” kata Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim .
Kedua, guru honorer yang diangkat sekolah atau komite sekolah. Penggajian mereka berdasarkan dana biaya operasional sekolah (BOS). Nominalnya pun tidak besar kisaran Rp750.000 dan ironinya banyak dari mereka yang gajinya tertunda berbulan-bulan. “P2G meminta Kemdikbud, Kemdagri, dan Kementrian Agama membuat surat kesepakatan bersama (SKB) tentang upah minimum guru yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup di seluruh Indonesia. Dengan demikian, ada kelayakan upah nantinya,” ucapnya.
Aspirasi dari P2G disikapi pemerintah melalui mekanisme perekrutan 1 juta guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Menurut P2G, ini bukanlah solusi jangka panjang. Ditegaskan bahwa dunia pendidikan memerlukan tenaga pendidik untuk jangka panjang, bukan sekadar mereka yang dipekerjakan berdasarkan sistem kerja dengan perjanjian (kontrak). “Merekrut satu juta guru P3K bukan solusi jangka panjang, karena dia (guru honorer) dikontrak (sistem kerjanya), sedangkan kita butuh guru yang bertahun-tahun. Sudah ada kejadian di Bone, Sulawesi Selatan, ada guru sekolah dasar honorer sudah belasan tahun (mengajar) ternyata kontrak cuma setahun. Tapi, guru yang lain ada yang dikontrak lima tahun. Jadi, pertimbangannya ya suka-suka daerah. Inilah yang kami khawatirkan akan terjadi politisasi. Kedudukan P3K ini lemah jadi rentan dipolitisasi,” paparnya.
Satriwan berpendapat bahwa sistem P3K ini hanya untuk memenuhi “utang” pemerintah kepada guru honorer. Karena mereka yang berusia di atas 35 tahun tidak bisa diangkat jadi PNS lantaran terbentur UU Nomor 5 tahun 2014 yang menyebutkan tidak lagi mengenal istilah “diangkat”, melainkan berbasis tes. Perihal rekrutmen satu juta guru P3K pun tidak direspons semua wilayah dengan baik. Buktinya banyak daerah yang tidak mengajukan formasi tersebut. Mengapa? Karena, daerah mempertimbangkan penggajian guru honorer tersebut. “Alasannya karena daerah tidak punya pendanaan yang baik untuk tunjangan dan gaji guru. Karena, menurut Perpres Nomor 98 tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan P3K yang direkrut oleh pemda maka mereka digaji dan tunjangan oleh pemda (melalui APBD),” katanya.
Ini yang menjadikan daerah tidak berlomba-lomba mengajukan formasi satu juta guru P3K tersebut. Dari kuota satu juta guru yang dibuka, yang diajukan hanya 513.000 formasi saja. Masih ada 58 kota/kabupaten termasuk dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat yang tidak mengajukan. “Kami sangat sayangkan buruknya koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Dilihat dari sedikitnya daerah yang mengusulkan formasi guru P3K. Alasannya karena daerah tidak punya pendanaan yang baik untuk tunjangan dan gaji guru. Alasan klasik muncul bahwa APBD kecil dan tidak sanggup membiayai,” ucapnya.
Hal lain adalah yang diharapkan banyak daerah menginginkan dibuka kembali keran perekrutan guru CPNS. Hal itu juga sudah disuarakan pihaknya sejak Desember lalu ketika pemerintah menghentikan seleksi guru CPNS menjadi sistem P3K. “Kami dari awal meminta agar tetap buka seleksi guru CPNS. Kalau ini dibuka, pasti daerah ramai mengusulkan karena jelas kalkulasi secara APBD, guru PNS itu sampai pensiun. Kalau P3K kan kontrak dan ribet secara manajemen. Perhitungan manajemen kepegawaian dan keuangan relatif lebih complicated ketimbang PNS yang sudah jelas masa pensiunnya. Makanya, dua faktor ini yang membuat daerah ragu menyusulkan formasi P3K,” tuturnya.
Padahal, kata Satriwan, saat ini Indonesia memerlukan tenaga guru sebanyak 1,3 juta orang sampai tahun 2024. P2G juga mendorong agar Kemenpan RB dan Kemendikbud memberlakukan poin afirmasi. Aspirasi itu sudah direspons oleh kementrian, walaupun hanya sebagian kecil. “Yang kita minta kemarin sudah dikabulkan sebagian kecil oleh Mas Menteri dan disampaikan ke Komisi X yaitu guru honorer yang sudah memiliki sertifikat pendidik maka diberikan langsung nilai 100 untuk aspek penilaian kompetensi teknis. Tapi, tetap harus ikut ujian. Kepemilikan sertifikat pendidik diberikan nilai kompetensi teknis yang maksimal 300 nilainya dari nilai 500. Sisanya dicari dari nilai aspek kompetensi manajerial. Ketiga nilai aspek kompetensi sosiokultural dan wawancara. Ada empat penilaian P3K. Minta poin afirmasi,” tandasnya.
Sementara itu, pengamat Pendidikan Indra Charismiadji menilai harus ada kualifikasi untuk menjaga kualitas dari guru honorer. Dia mengungkapkan dari sekitar 1.498.344 orang guru honorer yang terdata di Kemendikbud hanya 47% dari mereka yang memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK). Ini artinya ada 789.381 guru honorer tidak memiliki NUPTK. "Kok ada guru honorer bisa tanpa NUPTK, tidak tahu di lapangan pada seenaknya saja. Jumlah mereka banyak banget dan mereka memang tidak layak," katanya, kepada KORAN SINDO.
Karenanya, para guru honorer tanpa NUPTK tersebut tidak layak dipertahankan. Mereka ini tidak bermanfaat untuk pembangunan SDM unggul. "Guru honorer memang tidak bisa menopang SDM unggul jadi layak diberhentikan. Kalau untuk masa depan bangsa, tolong pindahkan guru honorer ini ke bidang lain yang lebih layak. Pendidikan bukan tempat penyerapan tenaga kerja yang tidak punya keahlian mendidik,” ucapnya.
Dia pun mengatakan, untuk itu dia sepakat kalau guru-guru di Indonesia dijadikan PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja). Dengan menjadi PPPK, mereka lebih terpacu meningkatkan kinerja dan kompetensinya karena berlaku sistem kontrak yang kinerjanya baik akan dilanjutkan kontraknya.
Sebaliknya yang kinerjanya buruk tidak dilanjutkan kontraknya. Pejabat pembina kepegawaian (PPK) pun bisa merekrut guru PPPK baru yang lebih baik kinerjanya. Berbeda bila menyandang status PNS, guru cenderung malas dan mengalihkan beban kerjanya kepada honorer seperti yang selama ini terjadi. “Saya tidak asal bicara. Data Bank Dunia melaporkan bahwa 23,5% guru Indonesia selalu mangkir dari jadwal mengajar. Ini karena mereka tahu ada guru honorer, akhirnya guru PNS mangkir alias bolos,” tandasnya.
Dia menuturkan, dengan status honorer, mereka dengan berbagai alasan bisa mangkir mengajar sehingga masalahnya ini bukan pada status kepegawaian seorang guru, melainkan pada kedisiplinan. Guru yang berstatus PNS dan sudah terjamin masih mangkir dari tugasnya karena tidak disiplin itu.
Terkait rekrutmen satu juta guru PPPK, menurut pengamat dari Vox Point Indonesia ini, yang harus dibuat sebelum perekrutan besar-besaran adalah human capital grand design oleh Kemendikbud. Di situ menjelaskan jumlah guru yang dibutuhkan, dengan kualifikasi keterampilan seperti apa dan di mana akan ditempatkan. “Saya sangat setuju dengan rekrutmen guru PPPK dibandingkan merekrut guru CPNS, tetapi kualifikasinya harus jelas. Bukan semata karena kasihan kepada guru honorer kemudian memasukkan semuanya,” ujarnya.
Dia pun mengatakan, langkah yang diambil harus terbaik untuk bangsa, bukan kelompok (termasuk guru). Jadi, tidak perlu berdebat dulu masalah status kepegawaian, penghasilan, lama mengabdi, ketidakadilan, dan sebagainya. “Kita harus memilih yang terbaik. Apa pun pilihan terbaik tersebut pasti akan merugikan sebagian pihak, harapannya akan legawa,” tandasnya.(rr ratna/helmi syarif)
(war)