Setara Institute Minta Kapolri Moratorium Pasal Penodaan Agama
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jerat hukum terhadap empat tenaga kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar akhirnya dilepaskan Kejaksaan Negeri Pematangsiantar. Kajari Agustinus Wijono Dososeputro SH menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2), Rabu (24/02/2021).
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengapresiasi langkah Kajari Agustinus. Sebab dia menilai penetapan tersangka terhadap empat tenaga kesehatan karena memandikan jenazah Covid-19 perempuan di tengah kedaruratan pandemi Covid-19 hanya mengada-ada.
(Baca: Gubernur Sulsel Terjaring OTT, KPK Sita Uang Rp1 Miliar)
Secara hukum, lanjut Halili, penggunaan pasal penodaan agama atas empat Nakes tersebut nyata-nyata merupakan kriminalisasi dengan unsur-unsur pidana yang kabur (obscuur) dan tidak memberikan kepastian hukum (lex certa). Kriminalisasi terhadap empat tenaga kesehatan tersebut lebih tampak sebagai ‘peradilan’ karena tekanan massa (trial by mob).
Kedua, Halili melihat kasus empat tenaga kesehatan di Pematangsiantar ini menegaskan hukum penodaan agama, khususnya Pasal 156a KUHP, UU Penodaan Agama, dan UU ITE, bermasalah secara substantif karena tidak memberikan kepastian hukum.
”Dalam penerapannya, menurut catatan SETARA Institute, hukum penodaan agama digunakan untuk mengkriminalisasi pihak-pihak secara sewenang-wenang pada banyak spektrum kasus; dari soal asmara, penanganan jenazah, sampai kriminalisasi kelompok agama minoritas,” terang Halili melalui pernyataan pers yang diterima, Sabtu (27/2/2021).
(Baca: Komjen Sigit Calon Tunggal Kapolri, Setara Institute Beri Sejumlah Pesan)
Secara khusus, Setara melihat kepolisian merupakan salah satu pihak yang mesti dipersoalkan. Polresta Pematangsiantar mestinya bisa menegakkan hukum secara objektif, profesional, dan adil. Proses penegakan hukum pihak kepolisian tidak boleh tunduk pada tekanan massa dan kelompok tertentu.
”Setara Institute mendesak kepolisian untuk melakukan moratorium penggunaan pasal-pasal penodaan agama hingga adanya pedoman tertulis tentang penanganan kasus penodaan agama yang memberikan kepastian hukum dan keadilan. Dalam konteks ini, Setara Institute mendesak Kapolri untuk segera mengeluarkan Perkap mengenai hal tersebut, untuk mencegah jatuhnya korban kriminalisasi secara sewenang-wenang menggunakan pasal-pasal penodaan agama,” katanya.
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengapresiasi langkah Kajari Agustinus. Sebab dia menilai penetapan tersangka terhadap empat tenaga kesehatan karena memandikan jenazah Covid-19 perempuan di tengah kedaruratan pandemi Covid-19 hanya mengada-ada.
(Baca: Gubernur Sulsel Terjaring OTT, KPK Sita Uang Rp1 Miliar)
Secara hukum, lanjut Halili, penggunaan pasal penodaan agama atas empat Nakes tersebut nyata-nyata merupakan kriminalisasi dengan unsur-unsur pidana yang kabur (obscuur) dan tidak memberikan kepastian hukum (lex certa). Kriminalisasi terhadap empat tenaga kesehatan tersebut lebih tampak sebagai ‘peradilan’ karena tekanan massa (trial by mob).
Kedua, Halili melihat kasus empat tenaga kesehatan di Pematangsiantar ini menegaskan hukum penodaan agama, khususnya Pasal 156a KUHP, UU Penodaan Agama, dan UU ITE, bermasalah secara substantif karena tidak memberikan kepastian hukum.
”Dalam penerapannya, menurut catatan SETARA Institute, hukum penodaan agama digunakan untuk mengkriminalisasi pihak-pihak secara sewenang-wenang pada banyak spektrum kasus; dari soal asmara, penanganan jenazah, sampai kriminalisasi kelompok agama minoritas,” terang Halili melalui pernyataan pers yang diterima, Sabtu (27/2/2021).
(Baca: Komjen Sigit Calon Tunggal Kapolri, Setara Institute Beri Sejumlah Pesan)
Secara khusus, Setara melihat kepolisian merupakan salah satu pihak yang mesti dipersoalkan. Polresta Pematangsiantar mestinya bisa menegakkan hukum secara objektif, profesional, dan adil. Proses penegakan hukum pihak kepolisian tidak boleh tunduk pada tekanan massa dan kelompok tertentu.
”Setara Institute mendesak kepolisian untuk melakukan moratorium penggunaan pasal-pasal penodaan agama hingga adanya pedoman tertulis tentang penanganan kasus penodaan agama yang memberikan kepastian hukum dan keadilan. Dalam konteks ini, Setara Institute mendesak Kapolri untuk segera mengeluarkan Perkap mengenai hal tersebut, untuk mencegah jatuhnya korban kriminalisasi secara sewenang-wenang menggunakan pasal-pasal penodaan agama,” katanya.
(muh)