Beradaptasi Dengan Bencana
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kehidupan manusia selalu beriringan dengan bencana , tak terkecuali di Tanah Air. Peradaban yang ditunjukkan di negeri ini juga menunjukkan masyarakat sudah melakukan berbagai cara untuk mengadaptasi tempat tinggalnya, termasuk sebagai bentuk mitigasi, agar bisa terhindar dari bencana.
Adaptasi dan mitigasi bencana memang menjadi variabel tak terelakkan dalam kehidupan bangsai ini. Dengan fakta 61% kabupaten di Indonesia berisiko mengalami banjir , terletak di Ring of Fire dengan 127 gunung aktif yang bisa memicu gempa bumi dan gunung meletus, mau tidak mau Indonesia adalah negeri bencana.
Sepanjang Januari 2021 saja, misalnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sudah ada 263 bencana. Sepanjang 2020 lalu, sebanyak 2.929 bencana alam terjadi di Indonesia, di mana mayoritas adalah banjir (1.067), puting beliung (875), tanah longsor (573), kebakaran hutan dan lahan (326), abrasi (36), kekeringan (29), gempa bumi (16), dan erupsi gunung api (7).
Dengan takdir sebagai negara yang rawan bencana, dan sangat beragam jenis dan karakteristiknya, bangsa Indonesia sudah pasti harus paham sifat, sebaran dan risiko yang mungkin terjadi akibat bencana-bencana tersebut.
BNPB menyadari betul tingginya ancaman bencana di Indonesia, apalagi ada tren peningkatan frekuensi. Kondisi tersebut harus diantisipasi secara holistik.
Kepala BNPB Doni Monardo menegaskan, ancaman permanen harus diselesaikan dengan solusi permanen.
Melihat kondisi tersebut, maka mitigasi bencana merupakan tantangan utama yang perlu dilakukan. Mitigasi seperti apa? Dia memaparkan, di daerah yang pernah terjadi gempa, pemerintah daerah harus menerapkan standar bangunan tahan gempa.
‘’Artinya, langkah mitigasinya antara lain penguatan struktur bangunan. Perizinan bangunan harus memperhatikan resiko bencana. Bukan gempa nya yang membunuh/mematikan, namun karena akibat tertimpa atap/bangunan yang rubuh,’’ ujar Doni, kepada KORANSINDO, tadi malam.
Dia menambahkan, untuk tsunami dan gunung api, penataan ruang kawasan pesisir dan zona rawan gunung berapi menjadi hal utama, di samping intervensi berbasis ekosistem seperti hutan pantai untuk mengurangi dampak tsunami. Demikian juga halnya dengan bencana hidrometeorologi, pengendalian alih fungsi lahan menjadi komponen utama di samping penguatan infrastruktur dan daya dukung lingkungan.
Dalam mitigasi tersebut, pemerintah daerah sebagai ujung tombak memperkuat penanganan bencana di fase-fase awal melalui regulasi, perlengkapan, infrastruktur hingga sumber daya manusia.
‘’Dan yang tak boleh dilupakan adalah keberpihakan politik anggaran. Daerah-daerah berpotensi bencana, harus mengalokasikan anggaran yang cukup untuk program mitigasi,’’ katanya.
Ancaman banjir juga begitu. Menurut Doni, jika BMKG sudah mengeluarkan peringatan tentang tingginya curah hujan yang bisa berakibat banjir, ya jangan parkir di basement. Jauhi bantaran sungai. Siapkan langkah-langkah antisipasi.
"Itu contoh kecil. Ancaman ke depan tidak hanya pada bencana alam tetapi juga nonalam, seperti wabah dan pandemi. Secara dini kita harus siapkan penguatannya. Ketangguhan di bidang kesehatan, ekonomi, infrastruktur harus terintegrasi,’’ katanya.
Dari sisi regulasi, Indonesia melalui Perpres 87/2020 telah memiliki Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB). Menurut dia, ini mungkin dokumen resmi pertama di tingkat negara di dunia tentang penanggulangan bencana yang rentang waktunya hingga 25 tahun.
Rencana jangka panjang ini kemudian diterjemahkan ke dalam rencana jangka menengah berupa Rencana Nasional Penanggulangan Bencana dengan periode lima tahunan. Dua regulasi ini menjadi acuan bagi Kementerian/Lembaga dalam perencanaan dan pelaksanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Di tingkat masyarakat, pendekatan yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini BNPB, adalah penguatan kapasitas dari lingkup terkecil yakni keluarga. Desember 2019 kita sudah meluncurkan program Katan (Keluarga Tangguh Bencana). Program ini lalu berkembang ke administrasi terkecil melalui program Desa Tangguh Bencana (Destana).
Pakar manajemen bencana Sugeng Triutomo berpendapat, pentingnya pemerintah terutama di daerah untuk mengenal dan memahami setiap jenis bencana yang ada di wilayahnya, dengan membuat kajian risiko bencana.
"Hasil dari kajian ini berupa Peta Risiko Bencana dan pilihan tindakan mitigasinya untuk setiap jenis ancaman bencana,” ujar Sugeng kepada KORAN SINDO.
Sebenarnya, penentuan prioritas jenis ancaman bencana dituangkan dalam Rencana Penanggulangan Bencana. Dari rencana itulah, pemerintah dan para pihak yang terkait menuangkan setiap program kegiatan mitigasi bencana. Penentuan prioritas dan sumber pembiayaan mitigasinya dilakukan secara terbuka dan bersama.
Namun, kata dia, hingga saat ini baru sebagian kecil pemerintah daerah yang telah membuat kajian risiko dan rencana penanggulangan atau mitigasi bencana. Kendala yang dihadapi adalah keterbatasan dana atau anggaran, untuk pengkajian, perencanaan dan implementasi upaya mitigasinya.
Sesuai dengan UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah, penanggulangan bencana adalah urusan wajib daerah oleh karena itu sudah selayaknya pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan dana anggaran yang memadai untuk setiap daerah sesuai dengan tingkat risiko bencananya.
Arah kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana sudah dituangkan dalam RPJMN 2020-2024 yakni prioritas nasional (PN 6) dan juga pada periode sebelumnya. Kebijakan ini kemudian dijabarkan dalam bentuk Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB), yang memuat prioritas program kegiatan yang dilakukan oleh kementerian dan lembaga di tingkat pusat.
Sayangnya, langkah tersebut belum banyak diikuti oleh pemerintah daerah. Daerah belum menempatkan penanggulangan bencana sebagai prioritas di RPJMD-nya, mungkin karena masih banyak prioritas penting lainnya yang harus diutamakan.
“Seperti diketahui bahwa bencana itu adanya di daerah, maka pemerintah daerah mempunyai tanggungjawab terdepan dalam penanggulangan bencana. Tapi pada kenyataannya kesiapan dan juga kemampuan daerah untuk mengatasi bencana sangat terbatas, sehingga mungkin inilah penyebab kegagalan kita dalam menangani bencana selama ini,” ujar Sugeng.
Memperkuat Komunitas Lokal
Hal paling penting adalah menyiapkan kesiapan komunitas atau masyarakat dalam menghadapi skenario terburuk. Kesiapan bencana tidak efektif tanpa partisipasi masyarakat yang rentan terhadap bencana. Reseliensi masyarakat adalah keterlibatan publik dalam upaya mitigasi, aktif dalam organisasi, dukungan psikososial, dan kepemimpinan sipil yang kuat untuk menghadapi perubahan.
Masyarakat yang resilien juga memiliki beragam komptensi seperti pembangunan ekonomi, kapital sosial, komunikasi dan informasi yang bisa dimaksimalkan selama bencana. Mereka saling peduli dan memperkuat harapan serta bertindak dengan tujuan dalam persiapan atau pun kondisi bencana. Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah memilikinya yakni budaya gotong royong yang sangat kuat hingga sikap tolerasi serta tepa selira.
Pengamat sosial Vokasi Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan bencana bukan sebuah peristiwa yang dapat dikelola sepenuhnya oleh manusia.
“Sebagai individu, kita hanya dapat melakukan 5P. Yaitu, penelitian, proyeksi, persiapan, penyelamatan dan pembangunan kembali,” ungkapnya.
Devie juga menjelaskan, satu hal yang juga perlu dilakukan ialah memperkuat komunitas lokal. Masyarakat lokal yang menguasai wilayah tersebut, dan mereka berpeluang membangun kohesifitas yang kuat.
“Mereka memiliki kesamaan sejarah, wilayah, dan kedekatan rasa dan perasaan, akan menjadi modalitas sosial yang dapat bermanfaat dikala bencana menghadang,” paparnya.
Tidak hanya itu, komunitas lokal Juga harus didorong mempersiapkan pusat bencana dan penampungan. Seluruh masyarakat lokal akan memiliki pengetahuan, pengalaman langsung tentang kebencanaan. “Sehingga, ketika bencana datang di saat tak terduga, masyarakat sudah terprogram untuk menguasai mental dan Lingkungan, sehingga korban Jiwa dan kerugian-kerugian lainnya dapat diminimalisir,” pungkasnya.
Adaptasi dan mitigasi bencana memang menjadi variabel tak terelakkan dalam kehidupan bangsai ini. Dengan fakta 61% kabupaten di Indonesia berisiko mengalami banjir , terletak di Ring of Fire dengan 127 gunung aktif yang bisa memicu gempa bumi dan gunung meletus, mau tidak mau Indonesia adalah negeri bencana.
Sepanjang Januari 2021 saja, misalnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sudah ada 263 bencana. Sepanjang 2020 lalu, sebanyak 2.929 bencana alam terjadi di Indonesia, di mana mayoritas adalah banjir (1.067), puting beliung (875), tanah longsor (573), kebakaran hutan dan lahan (326), abrasi (36), kekeringan (29), gempa bumi (16), dan erupsi gunung api (7).
Dengan takdir sebagai negara yang rawan bencana, dan sangat beragam jenis dan karakteristiknya, bangsa Indonesia sudah pasti harus paham sifat, sebaran dan risiko yang mungkin terjadi akibat bencana-bencana tersebut.
BNPB menyadari betul tingginya ancaman bencana di Indonesia, apalagi ada tren peningkatan frekuensi. Kondisi tersebut harus diantisipasi secara holistik.
Kepala BNPB Doni Monardo menegaskan, ancaman permanen harus diselesaikan dengan solusi permanen.
Melihat kondisi tersebut, maka mitigasi bencana merupakan tantangan utama yang perlu dilakukan. Mitigasi seperti apa? Dia memaparkan, di daerah yang pernah terjadi gempa, pemerintah daerah harus menerapkan standar bangunan tahan gempa.
Baca Juga
‘’Artinya, langkah mitigasinya antara lain penguatan struktur bangunan. Perizinan bangunan harus memperhatikan resiko bencana. Bukan gempa nya yang membunuh/mematikan, namun karena akibat tertimpa atap/bangunan yang rubuh,’’ ujar Doni, kepada KORANSINDO, tadi malam.
Dia menambahkan, untuk tsunami dan gunung api, penataan ruang kawasan pesisir dan zona rawan gunung berapi menjadi hal utama, di samping intervensi berbasis ekosistem seperti hutan pantai untuk mengurangi dampak tsunami. Demikian juga halnya dengan bencana hidrometeorologi, pengendalian alih fungsi lahan menjadi komponen utama di samping penguatan infrastruktur dan daya dukung lingkungan.
Dalam mitigasi tersebut, pemerintah daerah sebagai ujung tombak memperkuat penanganan bencana di fase-fase awal melalui regulasi, perlengkapan, infrastruktur hingga sumber daya manusia.
‘’Dan yang tak boleh dilupakan adalah keberpihakan politik anggaran. Daerah-daerah berpotensi bencana, harus mengalokasikan anggaran yang cukup untuk program mitigasi,’’ katanya.
Ancaman banjir juga begitu. Menurut Doni, jika BMKG sudah mengeluarkan peringatan tentang tingginya curah hujan yang bisa berakibat banjir, ya jangan parkir di basement. Jauhi bantaran sungai. Siapkan langkah-langkah antisipasi.
"Itu contoh kecil. Ancaman ke depan tidak hanya pada bencana alam tetapi juga nonalam, seperti wabah dan pandemi. Secara dini kita harus siapkan penguatannya. Ketangguhan di bidang kesehatan, ekonomi, infrastruktur harus terintegrasi,’’ katanya.
Dari sisi regulasi, Indonesia melalui Perpres 87/2020 telah memiliki Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB). Menurut dia, ini mungkin dokumen resmi pertama di tingkat negara di dunia tentang penanggulangan bencana yang rentang waktunya hingga 25 tahun.
Rencana jangka panjang ini kemudian diterjemahkan ke dalam rencana jangka menengah berupa Rencana Nasional Penanggulangan Bencana dengan periode lima tahunan. Dua regulasi ini menjadi acuan bagi Kementerian/Lembaga dalam perencanaan dan pelaksanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Di tingkat masyarakat, pendekatan yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini BNPB, adalah penguatan kapasitas dari lingkup terkecil yakni keluarga. Desember 2019 kita sudah meluncurkan program Katan (Keluarga Tangguh Bencana). Program ini lalu berkembang ke administrasi terkecil melalui program Desa Tangguh Bencana (Destana).
Pakar manajemen bencana Sugeng Triutomo berpendapat, pentingnya pemerintah terutama di daerah untuk mengenal dan memahami setiap jenis bencana yang ada di wilayahnya, dengan membuat kajian risiko bencana.
"Hasil dari kajian ini berupa Peta Risiko Bencana dan pilihan tindakan mitigasinya untuk setiap jenis ancaman bencana,” ujar Sugeng kepada KORAN SINDO.
Sebenarnya, penentuan prioritas jenis ancaman bencana dituangkan dalam Rencana Penanggulangan Bencana. Dari rencana itulah, pemerintah dan para pihak yang terkait menuangkan setiap program kegiatan mitigasi bencana. Penentuan prioritas dan sumber pembiayaan mitigasinya dilakukan secara terbuka dan bersama.
Namun, kata dia, hingga saat ini baru sebagian kecil pemerintah daerah yang telah membuat kajian risiko dan rencana penanggulangan atau mitigasi bencana. Kendala yang dihadapi adalah keterbatasan dana atau anggaran, untuk pengkajian, perencanaan dan implementasi upaya mitigasinya.
Sesuai dengan UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah, penanggulangan bencana adalah urusan wajib daerah oleh karena itu sudah selayaknya pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan dana anggaran yang memadai untuk setiap daerah sesuai dengan tingkat risiko bencananya.
Arah kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana sudah dituangkan dalam RPJMN 2020-2024 yakni prioritas nasional (PN 6) dan juga pada periode sebelumnya. Kebijakan ini kemudian dijabarkan dalam bentuk Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB), yang memuat prioritas program kegiatan yang dilakukan oleh kementerian dan lembaga di tingkat pusat.
Sayangnya, langkah tersebut belum banyak diikuti oleh pemerintah daerah. Daerah belum menempatkan penanggulangan bencana sebagai prioritas di RPJMD-nya, mungkin karena masih banyak prioritas penting lainnya yang harus diutamakan.
“Seperti diketahui bahwa bencana itu adanya di daerah, maka pemerintah daerah mempunyai tanggungjawab terdepan dalam penanggulangan bencana. Tapi pada kenyataannya kesiapan dan juga kemampuan daerah untuk mengatasi bencana sangat terbatas, sehingga mungkin inilah penyebab kegagalan kita dalam menangani bencana selama ini,” ujar Sugeng.
Memperkuat Komunitas Lokal
Hal paling penting adalah menyiapkan kesiapan komunitas atau masyarakat dalam menghadapi skenario terburuk. Kesiapan bencana tidak efektif tanpa partisipasi masyarakat yang rentan terhadap bencana. Reseliensi masyarakat adalah keterlibatan publik dalam upaya mitigasi, aktif dalam organisasi, dukungan psikososial, dan kepemimpinan sipil yang kuat untuk menghadapi perubahan.
Masyarakat yang resilien juga memiliki beragam komptensi seperti pembangunan ekonomi, kapital sosial, komunikasi dan informasi yang bisa dimaksimalkan selama bencana. Mereka saling peduli dan memperkuat harapan serta bertindak dengan tujuan dalam persiapan atau pun kondisi bencana. Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah memilikinya yakni budaya gotong royong yang sangat kuat hingga sikap tolerasi serta tepa selira.
Pengamat sosial Vokasi Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan bencana bukan sebuah peristiwa yang dapat dikelola sepenuhnya oleh manusia.
“Sebagai individu, kita hanya dapat melakukan 5P. Yaitu, penelitian, proyeksi, persiapan, penyelamatan dan pembangunan kembali,” ungkapnya.
Devie juga menjelaskan, satu hal yang juga perlu dilakukan ialah memperkuat komunitas lokal. Masyarakat lokal yang menguasai wilayah tersebut, dan mereka berpeluang membangun kohesifitas yang kuat.
“Mereka memiliki kesamaan sejarah, wilayah, dan kedekatan rasa dan perasaan, akan menjadi modalitas sosial yang dapat bermanfaat dikala bencana menghadang,” paparnya.
Tidak hanya itu, komunitas lokal Juga harus didorong mempersiapkan pusat bencana dan penampungan. Seluruh masyarakat lokal akan memiliki pengetahuan, pengalaman langsung tentang kebencanaan. “Sehingga, ketika bencana datang di saat tak terduga, masyarakat sudah terprogram untuk menguasai mental dan Lingkungan, sehingga korban Jiwa dan kerugian-kerugian lainnya dapat diminimalisir,” pungkasnya.
(ynt)