Mentahnya RUU Pemilu
loading...
A
A
A
Merumuskan sistem pemilu yang dapat menghindari penyelenggara pemilu dari beban yang sangat berat merupakan satu aspek dari kebutuhan penataan kerangka hukum pemilu. Terdapat beberapa hal prinsip lainnya semisal penataan lembaga penyelenggara pemilu, penguatan sistem penegakan hukum pemilu, dan menyelesaikan tumpang tindih pengaturan antara UU Pemilu dan UU Pilkada yang mesti diselesaikan.
Adanya keinginan pemerintah dan DPR agar regulasi pemilu bisa memiliki daya laku yang panjang tentu saja tepat. Tetapi untuk mewujudkan keinginan tersebut, tidak sesederhana menyatakan regulasi yang ada sekarang tidak perlu direvisi. Sebuah kerangka hukum pemilu baru bisa berlaku panjang jika materi muatannya sudah dirumuskan secara jernih, dan menyelesaikan segala persoalan yang ada saat ini, serta potensi masalah yang sudah dapat dianalisis terjadi di masa mendatang. Namun sayangnya, UU Pemilu dan UU Pilkada yang ada saat ini, masih jauh dari tujuan itu.
Inkonsistensi
Salah satu alasan pemerintah enggan merevisi UU Pemilu adalah ketentuan pilkada serentak 2024 yang belum pernah dilaksanakan. Argumentasi ini sebetulnya tidak ada kaitannya dengan kebutuhan untuk memperbaiki kerangka hukum pemilu. Untuk mengetahui masalah yang akan terjadi dari sebuah kerangka hukum pemilu, tidak perlu menunggu masalah dari sebuah aturan hukum itu benar-benar terjadi terlebih dahulu. Justru idealnya, pembentuk undang-undang dituntut untuk jeli dan dapat menghindari persoalan yang dalam batas penalaran wajar akan terjadi sebagai implikasi dari sebuah aturan hukum.
Pilihan untuk membiarkan sebuah penyelenggaraan pemilu bertumpuk pada 2024 adalah persoalan yang akan membuat penyelenggara pemilu tunggang langgang melaksanakan tahapan pemilu dan pilkada yang saling berhimpitan. Proyeksi masalah itu yang mesti dihindari oleh pemerintah dan DPR secara jernih dan bijakasana.
Jika alasan tidak mau mengubah aturan karena belum dilaksanakan, pemerintah sebetulnya sedang menunjukkan inkonsistensinya. Pemerintah bersama DPR pernah menghapus pengaturan uji publik bagi calon kepala daerah pada 2015, di mana aturan yang dipandang baik oleh banyak kalangan itu belum sekalipun dilaksanakan. Revisi UU Pilkada melalui UU Nomor 8 Tahun 2015 menghapus kewajiban uji publik sebagai salah satu syarat calon kepala daerah sebelum mendaftar ke KPU. Padahal ketika revisi itu dilakukan, mekanisme uji publik ini belum sekalipun dilaksanakan di dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Namun saat ini, ketika banyak kalangan mengingatkan bahwa akan ada potensi masalah yang cukup sistematis jika pilkada serentak nasional dilaksanakan di tahun yang sama dengan pemilu, pemerintah berdalih tidak mau mengubah aturan yang belum dilaksanakan. Untuk kebutuhan agar penyelenggaraan Pemilu 2024 dapat berjalan dengan adil dan demokratis, pemerintah dan DPR masih punya waktu untuk menyiapkan kerangka hukumnya. Sekarang tinggal keinginan dari Pemerintah dan DPR.
Adanya keinginan pemerintah dan DPR agar regulasi pemilu bisa memiliki daya laku yang panjang tentu saja tepat. Tetapi untuk mewujudkan keinginan tersebut, tidak sesederhana menyatakan regulasi yang ada sekarang tidak perlu direvisi. Sebuah kerangka hukum pemilu baru bisa berlaku panjang jika materi muatannya sudah dirumuskan secara jernih, dan menyelesaikan segala persoalan yang ada saat ini, serta potensi masalah yang sudah dapat dianalisis terjadi di masa mendatang. Namun sayangnya, UU Pemilu dan UU Pilkada yang ada saat ini, masih jauh dari tujuan itu.
Inkonsistensi
Salah satu alasan pemerintah enggan merevisi UU Pemilu adalah ketentuan pilkada serentak 2024 yang belum pernah dilaksanakan. Argumentasi ini sebetulnya tidak ada kaitannya dengan kebutuhan untuk memperbaiki kerangka hukum pemilu. Untuk mengetahui masalah yang akan terjadi dari sebuah kerangka hukum pemilu, tidak perlu menunggu masalah dari sebuah aturan hukum itu benar-benar terjadi terlebih dahulu. Justru idealnya, pembentuk undang-undang dituntut untuk jeli dan dapat menghindari persoalan yang dalam batas penalaran wajar akan terjadi sebagai implikasi dari sebuah aturan hukum.
Pilihan untuk membiarkan sebuah penyelenggaraan pemilu bertumpuk pada 2024 adalah persoalan yang akan membuat penyelenggara pemilu tunggang langgang melaksanakan tahapan pemilu dan pilkada yang saling berhimpitan. Proyeksi masalah itu yang mesti dihindari oleh pemerintah dan DPR secara jernih dan bijakasana.
Jika alasan tidak mau mengubah aturan karena belum dilaksanakan, pemerintah sebetulnya sedang menunjukkan inkonsistensinya. Pemerintah bersama DPR pernah menghapus pengaturan uji publik bagi calon kepala daerah pada 2015, di mana aturan yang dipandang baik oleh banyak kalangan itu belum sekalipun dilaksanakan. Revisi UU Pilkada melalui UU Nomor 8 Tahun 2015 menghapus kewajiban uji publik sebagai salah satu syarat calon kepala daerah sebelum mendaftar ke KPU. Padahal ketika revisi itu dilakukan, mekanisme uji publik ini belum sekalipun dilaksanakan di dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Namun saat ini, ketika banyak kalangan mengingatkan bahwa akan ada potensi masalah yang cukup sistematis jika pilkada serentak nasional dilaksanakan di tahun yang sama dengan pemilu, pemerintah berdalih tidak mau mengubah aturan yang belum dilaksanakan. Untuk kebutuhan agar penyelenggaraan Pemilu 2024 dapat berjalan dengan adil dan demokratis, pemerintah dan DPR masih punya waktu untuk menyiapkan kerangka hukumnya. Sekarang tinggal keinginan dari Pemerintah dan DPR.
(bmm)