Punya Anggaran Cukup Besar, Sektor Pertahanan Dinilai Rawan Dikorupsi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indeks Antikorupsi dan Transparansi Perusahaan Pertahanan 2020 dari Transparency International (TII) mengungkapkan, hampir tiga perempat perusahaan pertahanan terbesar di dunia menunjukkan sedikit atau bahkan tidak ada komitmen dalam berantas korupsi.
(Baca juga: Geger Korupsi di Garuda, Erick Minta 18 Pesawat Bombardier Dikembalikan)
Penelitian ini merupakan satu-satunya indeks global yang mengukur komitmen transparansi dan anti-korupsi dari perusahaan pertahanan terkemuka dunia.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, J Danang Widoyoko mengungkapkan, bahwa Industri pertahanan merupakan target utama dari korupsi karena banyaknya uang yang terlibat (pengeluaran militer global pada 2019 diperkirakan lebih dari $1,9 triliun).
"Nilai kontrak pertahanan yang sangat besar akan terbuang percuma jika tidak dilaksanakan secara akuntabel untuk layanan yang esensial," kata Danang dalam keterangannya, Rabu (10/2/2021).
(Baca juga: Dalami Kasus Korupsi Proyek Jalan di Bengkalis, KPK Panggil 5 Saksi)
Hubungan erat antara kontrak pertahanan dan politik, dan pendekatan kerahasiaan yang seringkali menjadi dalih dalam melakukan pengadaan persenjataan. Dampak korupsi dalam perdagangan senjata juga sangat serius.
"Korupsi dapat melanggengkan konflik dan memakan korban jiwa ketika pasukan militer dilengkapi dengan peralatan yang tidak memadai dan pejabat yang korup menggunakan keuntungan dari kesepakatan pertahanan untuk memperkuat posisi pribadi dan merusak demokrasi," kata Danang.
Pt Dirgantara Indonesia menjadi salah satu perusahaan yang dinilai dan mendapatkan peringkat F. Hal tersebut berarti komitmen terhadap antikorupsi dan transparansi sangat rendah.
"Dari kesepuluh area risiko korupsi yang dipantau, hampir seluruh informasi milik PT Dirgantara Indonesia tidak dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat," jelasnya.
Proses penyidikan kasus korupsi yang dihadapi oleh PT Dirgantara Indonesia saat ini memperkuat hasil indeks ini, yang mengindikasikan buruknya tata kelola internal dan integritas bisnis sektor perusahaan pertahanan di Indonesia.
Oleh karena itu, menurut Danang hasil dari DCI 2020 ini juga akan memberikan peta jalan untuk praktik yang lebih baik dalam industri pertahanan, termasuk bagi PT Dirgantara Indonesia.
"Indeks ini memberikan panduan tentang standar antikorupsi dan transparansi kepada perusahaan pertahanan yang sesuai dengan risiko yang dihadapi di sektor pertahanan. Mengadopsi nilai-nilai ini tidak hanya mengurangi risiko perusahaan, tetapi juga pada gilirannya membantu meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi risiko korupsi di sektor pertahanan secara lebih luas," tegas Danang.
Dari hasil Indeks Antikorupsi dan Transparansi Perusahaan Pertahanan 2020 dari Transparency International, ditemukan bahwa hanya 12% dari 134 perusahaan pertahanan global yang dinilai mendapatkan peringkat ‘A’ atau ‘B’, yang menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap anti-korupsi dan transparansi.
Sementara 73% perusahaan pertahanan lainnya mendapatkan peringkat ‘D’ atau lebih rendah, yang menunjukkan komitmen yang rendah terhadap antikorupsi dan transparansi. Sedangkan dari 36 perusahaan yang mendapat nilai ‘C’ atau lebih tinggi, 21 perusahaan diantaranya berbasis di Eropa dan 13 berkantor pusat di Amerika Utara.
Hasil dari indeks ini menegaskan bahwa sebagian besar perusahaan yang mendapat skor terendah tidak memiliki langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan mengurangi risiko korupsi. Selain itu hanya sedikit perusahaan yang mengambil tindakan untuk mencegah korupsi dan manajemen antisuap yang terkait dengan penggunaan agen dan perantara untuk melakukan transaksi persenjataan atas nama mereka.
Di sisi lain, banyak perusahaan mendapat skor tinggi dalam kualitas tindakan antikorupsi internal, seperti komitmen publik untuk memerangi korupsi dan proses untuk mencegah karyawan terlibat dalam penyuapan. Namun, karena sebagian besar perusahaan tidak mempublikasikan bukti tentang bagaimana kebijakan tersebut bekerja dalam praktiknya, sangat sulit mengetahui apakah kebijakan tersebut benar-benar efektif.
Natalie Hogg, Direktur Transparency International’s Defence & Security Programme menuturkan hasil DCI 2020 membuktikan, sektor pertahanan masih terperosok dalam kerahasiaan atas informasi mengenai kebijakan dan prosedur perusahaan yang tidak memadai untuk melindungi dari korupsi.
"Dengan hampir tiga perempat perusahaan gagal mencapai peringkat ‘C’, jelas lebih banyak yang harus dilakukan. Mengingat adanya hubungan yang kuat antara korupsi dan konflik, kegagalan untuk melakukan hal ini akan menelan korban jiwa," ujar Hogg.
Hogg menambahkan, meskipun hasil indeks secara keseluruhan nampak suram, namun terdapat beberapa tanda kemajuan yang ditemukan.
"Transparansi yang lebih besar dapat berkontribusi untuk mengurangi korupsi di sektor pertahanan. Perusahaan-perusahaan yang meningkatkan kualitas dan transparansi upaya antikorupsinya, akan menyadari bahwa mereka tidak hanya membantu mengurangi penderitaan manusia, tetapi juga akan membantu mempromosikan supremasi hukum yang akan menguntungkan perusahaan yang ingin menjalankan bisnisnya dengan cara yang bersih," ungkap Hogg.
(Baca juga: Geger Korupsi di Garuda, Erick Minta 18 Pesawat Bombardier Dikembalikan)
Penelitian ini merupakan satu-satunya indeks global yang mengukur komitmen transparansi dan anti-korupsi dari perusahaan pertahanan terkemuka dunia.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, J Danang Widoyoko mengungkapkan, bahwa Industri pertahanan merupakan target utama dari korupsi karena banyaknya uang yang terlibat (pengeluaran militer global pada 2019 diperkirakan lebih dari $1,9 triliun).
"Nilai kontrak pertahanan yang sangat besar akan terbuang percuma jika tidak dilaksanakan secara akuntabel untuk layanan yang esensial," kata Danang dalam keterangannya, Rabu (10/2/2021).
(Baca juga: Dalami Kasus Korupsi Proyek Jalan di Bengkalis, KPK Panggil 5 Saksi)
Hubungan erat antara kontrak pertahanan dan politik, dan pendekatan kerahasiaan yang seringkali menjadi dalih dalam melakukan pengadaan persenjataan. Dampak korupsi dalam perdagangan senjata juga sangat serius.
"Korupsi dapat melanggengkan konflik dan memakan korban jiwa ketika pasukan militer dilengkapi dengan peralatan yang tidak memadai dan pejabat yang korup menggunakan keuntungan dari kesepakatan pertahanan untuk memperkuat posisi pribadi dan merusak demokrasi," kata Danang.
Pt Dirgantara Indonesia menjadi salah satu perusahaan yang dinilai dan mendapatkan peringkat F. Hal tersebut berarti komitmen terhadap antikorupsi dan transparansi sangat rendah.
"Dari kesepuluh area risiko korupsi yang dipantau, hampir seluruh informasi milik PT Dirgantara Indonesia tidak dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat," jelasnya.
Proses penyidikan kasus korupsi yang dihadapi oleh PT Dirgantara Indonesia saat ini memperkuat hasil indeks ini, yang mengindikasikan buruknya tata kelola internal dan integritas bisnis sektor perusahaan pertahanan di Indonesia.
Oleh karena itu, menurut Danang hasil dari DCI 2020 ini juga akan memberikan peta jalan untuk praktik yang lebih baik dalam industri pertahanan, termasuk bagi PT Dirgantara Indonesia.
"Indeks ini memberikan panduan tentang standar antikorupsi dan transparansi kepada perusahaan pertahanan yang sesuai dengan risiko yang dihadapi di sektor pertahanan. Mengadopsi nilai-nilai ini tidak hanya mengurangi risiko perusahaan, tetapi juga pada gilirannya membantu meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi risiko korupsi di sektor pertahanan secara lebih luas," tegas Danang.
Dari hasil Indeks Antikorupsi dan Transparansi Perusahaan Pertahanan 2020 dari Transparency International, ditemukan bahwa hanya 12% dari 134 perusahaan pertahanan global yang dinilai mendapatkan peringkat ‘A’ atau ‘B’, yang menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap anti-korupsi dan transparansi.
Sementara 73% perusahaan pertahanan lainnya mendapatkan peringkat ‘D’ atau lebih rendah, yang menunjukkan komitmen yang rendah terhadap antikorupsi dan transparansi. Sedangkan dari 36 perusahaan yang mendapat nilai ‘C’ atau lebih tinggi, 21 perusahaan diantaranya berbasis di Eropa dan 13 berkantor pusat di Amerika Utara.
Hasil dari indeks ini menegaskan bahwa sebagian besar perusahaan yang mendapat skor terendah tidak memiliki langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan mengurangi risiko korupsi. Selain itu hanya sedikit perusahaan yang mengambil tindakan untuk mencegah korupsi dan manajemen antisuap yang terkait dengan penggunaan agen dan perantara untuk melakukan transaksi persenjataan atas nama mereka.
Di sisi lain, banyak perusahaan mendapat skor tinggi dalam kualitas tindakan antikorupsi internal, seperti komitmen publik untuk memerangi korupsi dan proses untuk mencegah karyawan terlibat dalam penyuapan. Namun, karena sebagian besar perusahaan tidak mempublikasikan bukti tentang bagaimana kebijakan tersebut bekerja dalam praktiknya, sangat sulit mengetahui apakah kebijakan tersebut benar-benar efektif.
Natalie Hogg, Direktur Transparency International’s Defence & Security Programme menuturkan hasil DCI 2020 membuktikan, sektor pertahanan masih terperosok dalam kerahasiaan atas informasi mengenai kebijakan dan prosedur perusahaan yang tidak memadai untuk melindungi dari korupsi.
"Dengan hampir tiga perempat perusahaan gagal mencapai peringkat ‘C’, jelas lebih banyak yang harus dilakukan. Mengingat adanya hubungan yang kuat antara korupsi dan konflik, kegagalan untuk melakukan hal ini akan menelan korban jiwa," ujar Hogg.
Hogg menambahkan, meskipun hasil indeks secara keseluruhan nampak suram, namun terdapat beberapa tanda kemajuan yang ditemukan.
"Transparansi yang lebih besar dapat berkontribusi untuk mengurangi korupsi di sektor pertahanan. Perusahaan-perusahaan yang meningkatkan kualitas dan transparansi upaya antikorupsinya, akan menyadari bahwa mereka tidak hanya membantu mengurangi penderitaan manusia, tetapi juga akan membantu mempromosikan supremasi hukum yang akan menguntungkan perusahaan yang ingin menjalankan bisnisnya dengan cara yang bersih," ungkap Hogg.
(maf)