Hak Politik Dihapus, Ismail Yusanto: Pernahkah HTI Berontak dan Korupsi?
loading...
A
A
A
JAKARTA - DPR sedang menggodok draf Rancangan Undang-undang tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada (RUU Pemilu).
Dalam draf itu, ada ketentuan mengenai tentang peserta pemilu, baik pemilu legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah.
Baca Juga: Kisah Idham Azis yang Ngefans Berat Iwan Fals dan Ebit G Ade
Pada Pasal 182 diatur tentang larangan mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) ikut pemilu atau tidak boleh berpartisipasi dalam pileg, pilpres dan pilkada. Singkatnya mereka tidak boleh menduduki jabatan publik, baik di eksekutif maupun legislatif.
Belakangan muncul isu hal yang sama diberlakukan terhadap mantan anggota Front Pembela Islam (FPI). Berbeda dengan pelarangan mantan anggota PKI dan HTI yang sudah jelas diatur dalam draf UU tersebut, mengenai hak politik FPI baru akan dibahas.
Baca Juga: Lawan Terberat Anies Baswedan Bukan Haji Lulung dan Ahmad Sahroni
Lalu, bagaimana tanggapan para mantan anggota HTI dan FPI?
"Atas dasar apa ketentuan itu dibuat? Berdasar putusan Menkumham tahun 2017, status BHP (Badan Hukum Perkumpulan) HTI memang telah dicabut. Menurut Undang-undang Ormas yang sudah diper-Perppu-kan, Ormas yang dicabut BHP-nya dinyatakan bubar. Tapi tidak lantas berarti menjadi Ormas terlarang," ujar Eks Juru Bicara HTI Ismail Yusanto kepada SINDOnews, Kamis 28 Januari 2021.
Ismail mengatakan, tidak ada juga diktum yang menyatakan HTI sebagai Ormas terlarang. Maka itu, Ismail menilai ketentuan dalam draf RUU Pemilu itu jelas telah melampaui batas.
"Bahkan boleh disebut melanggar ketentuan terkait hak politik warga negara. Juga, bila ketentuan itu dibuat berdasar atas kesalahan yang dibuat oleh HTI, coba tunjukkan kesalahan apa yang telah dibuat oleh HTI sedemikian sehingga harus dibuat ketentuan seperti itu. Pernahkan HTI berontak, melakukan separatisme, terlibat dalam kriminalitas atau korupsi? Tidak sama sekali," katanya.
Sementara, kata Ismail, di depan mata jelas-jelas sekali ada partai politik yang kadernya banyak terlibat korupsi. "Malah dibiarkan saja? Mestinya partai semacam inilah yang harus dicabut hak politiknya, bahkan bila perlu dibubarkan," tuturnya.
Ismail pun membeberkan rumusan pasal Undang-undang Nomor 12/2003, yang memicu permohonan judicial review menyatakan bahwa calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi syarat pada huruf g, yakni bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya.
Ismail pun kemudian menjelaskan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 011-017/ PUU-I/2003, yaitu mengabulkan permohonan pengujian undang-undang yang diajukan, menyatakan Pasal 60 huruf g bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta menyatakan Pasal 60 huruf g tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Apakah DPR akan mengabaikan Putusan MK ini, sehingga hendak mencabut juga hak politik HTI? Anda mungkin masih ingat bagaimana MK mengabulkan permohonan agar hak dipilih dan dipilih para mantan anggota, keluarga anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) diberikan kembali berdasarkan putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 sebagaimana tersebut di muka," tuturnya.
Baca Juga: Mesra, PDIP-Gerindra Diprediksi Bikin Paket Koalisi di Pilkada dan Pilpres 2024
Ismail mengatakan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Dia menambahkan, Mahkamah Konstitusi dalam putusan akhirnya yang disampaikan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa 24 Februari 2003 petang menyatakan pasal tersebut tak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia juga berhak dipilih dalam pemilu.
"Lah mantan PKI saja boleh, masak organisasi dakwah diperlakukan lebih buruk dari pada organisasi komunis?" kata Ismail.
Kritikan lainnya disampaikan oleh Ketua Bantuan Hukum Front Pembela Islam (FPI) Sugito Atmo Prawiro. "Menurut saya ini sangat berlebihan dan tidak pada tempatnya, khususnya untuk FPI, apa yang menjadi dasar? Menumbuhkan ekstremisme?" ujar Sugito kepada SINDOnews secara terpisah.
Sugito mengatakan, FPI adalah organisasi yang sangat terbuka, baik misi dan visinya. "Tapi yang paling penting, kekuasaan tidak selamanya. FPI juga aktif di kegiatan kemanusiaan dalam penanganan bencana alam, biarlah rakyat yang menilai dan menjadi hakim untuk anggota DPR RI sekarang ini," pungkas Sugito.
Hal senada juga diungkapkan oleh Sekretaris Bantuan Hukum DPP FPI Aziz Yanuar. "Terserah, suka-suka mereka saja," kata Aziz kepada SINDOnews secara terpisah.
Dalam draf itu, ada ketentuan mengenai tentang peserta pemilu, baik pemilu legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah.
Baca Juga: Kisah Idham Azis yang Ngefans Berat Iwan Fals dan Ebit G Ade
Pada Pasal 182 diatur tentang larangan mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) ikut pemilu atau tidak boleh berpartisipasi dalam pileg, pilpres dan pilkada. Singkatnya mereka tidak boleh menduduki jabatan publik, baik di eksekutif maupun legislatif.
Belakangan muncul isu hal yang sama diberlakukan terhadap mantan anggota Front Pembela Islam (FPI). Berbeda dengan pelarangan mantan anggota PKI dan HTI yang sudah jelas diatur dalam draf UU tersebut, mengenai hak politik FPI baru akan dibahas.
Baca Juga: Lawan Terberat Anies Baswedan Bukan Haji Lulung dan Ahmad Sahroni
Lalu, bagaimana tanggapan para mantan anggota HTI dan FPI?
"Atas dasar apa ketentuan itu dibuat? Berdasar putusan Menkumham tahun 2017, status BHP (Badan Hukum Perkumpulan) HTI memang telah dicabut. Menurut Undang-undang Ormas yang sudah diper-Perppu-kan, Ormas yang dicabut BHP-nya dinyatakan bubar. Tapi tidak lantas berarti menjadi Ormas terlarang," ujar Eks Juru Bicara HTI Ismail Yusanto kepada SINDOnews, Kamis 28 Januari 2021.
Ismail mengatakan, tidak ada juga diktum yang menyatakan HTI sebagai Ormas terlarang. Maka itu, Ismail menilai ketentuan dalam draf RUU Pemilu itu jelas telah melampaui batas.
"Bahkan boleh disebut melanggar ketentuan terkait hak politik warga negara. Juga, bila ketentuan itu dibuat berdasar atas kesalahan yang dibuat oleh HTI, coba tunjukkan kesalahan apa yang telah dibuat oleh HTI sedemikian sehingga harus dibuat ketentuan seperti itu. Pernahkan HTI berontak, melakukan separatisme, terlibat dalam kriminalitas atau korupsi? Tidak sama sekali," katanya.
Sementara, kata Ismail, di depan mata jelas-jelas sekali ada partai politik yang kadernya banyak terlibat korupsi. "Malah dibiarkan saja? Mestinya partai semacam inilah yang harus dicabut hak politiknya, bahkan bila perlu dibubarkan," tuturnya.
Ismail pun membeberkan rumusan pasal Undang-undang Nomor 12/2003, yang memicu permohonan judicial review menyatakan bahwa calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi syarat pada huruf g, yakni bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya.
Ismail pun kemudian menjelaskan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 011-017/ PUU-I/2003, yaitu mengabulkan permohonan pengujian undang-undang yang diajukan, menyatakan Pasal 60 huruf g bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta menyatakan Pasal 60 huruf g tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Apakah DPR akan mengabaikan Putusan MK ini, sehingga hendak mencabut juga hak politik HTI? Anda mungkin masih ingat bagaimana MK mengabulkan permohonan agar hak dipilih dan dipilih para mantan anggota, keluarga anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) diberikan kembali berdasarkan putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 sebagaimana tersebut di muka," tuturnya.
Baca Juga: Mesra, PDIP-Gerindra Diprediksi Bikin Paket Koalisi di Pilkada dan Pilpres 2024
Ismail mengatakan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Dia menambahkan, Mahkamah Konstitusi dalam putusan akhirnya yang disampaikan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa 24 Februari 2003 petang menyatakan pasal tersebut tak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia juga berhak dipilih dalam pemilu.
"Lah mantan PKI saja boleh, masak organisasi dakwah diperlakukan lebih buruk dari pada organisasi komunis?" kata Ismail.
Kritikan lainnya disampaikan oleh Ketua Bantuan Hukum Front Pembela Islam (FPI) Sugito Atmo Prawiro. "Menurut saya ini sangat berlebihan dan tidak pada tempatnya, khususnya untuk FPI, apa yang menjadi dasar? Menumbuhkan ekstremisme?" ujar Sugito kepada SINDOnews secara terpisah.
Sugito mengatakan, FPI adalah organisasi yang sangat terbuka, baik misi dan visinya. "Tapi yang paling penting, kekuasaan tidak selamanya. FPI juga aktif di kegiatan kemanusiaan dalam penanganan bencana alam, biarlah rakyat yang menilai dan menjadi hakim untuk anggota DPR RI sekarang ini," pungkas Sugito.
Hal senada juga diungkapkan oleh Sekretaris Bantuan Hukum DPP FPI Aziz Yanuar. "Terserah, suka-suka mereka saja," kata Aziz kepada SINDOnews secara terpisah.
(dam)