Hak Politik Dihapus, Ismail Yusanto: Pernahkah HTI Berontak dan Korupsi?

Minggu, 31 Januari 2021 - 11:32 WIB
loading...
A A A
Sementara, kata Ismail, di depan mata jelas-jelas sekali ada partai politik yang kadernya banyak terlibat korupsi. "Malah dibiarkan saja? Mestinya partai semacam inilah yang harus dicabut hak politiknya, bahkan bila perlu dibubarkan," tuturnya.

Ismail pun membeberkan rumusan pasal Undang-undang Nomor 12/2003, yang memicu permohonan judicial review menyatakan bahwa calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi syarat pada huruf g, yakni bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya.

Ismail pun kemudian menjelaskan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 011-017/ PUU-I/2003, yaitu mengabulkan permohonan pengujian undang-undang yang diajukan, menyatakan Pasal 60 huruf g bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta menyatakan Pasal 60 huruf g tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Apakah DPR akan mengabaikan Putusan MK ini, sehingga hendak mencabut juga hak politik HTI? Anda mungkin masih ingat bagaimana MK mengabulkan permohonan agar hak dipilih dan dipilih para mantan anggota, keluarga anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) diberikan kembali berdasarkan putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 sebagaimana tersebut di muka," tuturnya.

Baca Juga: Mesra, PDIP-Gerindra Diprediksi Bikin Paket Koalisi di Pilkada dan Pilpres 2024

Ismail mengatakan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Dia menambahkan, Mahkamah Konstitusi dalam putusan akhirnya yang disampaikan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa 24 Februari 2003 petang menyatakan pasal tersebut tak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia juga berhak dipilih dalam pemilu.

"Lah mantan PKI saja boleh, masak organisasi dakwah diperlakukan lebih buruk dari pada organisasi komunis?" kata Ismail.

Kritikan lainnya disampaikan oleh Ketua Bantuan Hukum Front Pembela Islam (FPI) Sugito Atmo Prawiro. "Menurut saya ini sangat berlebihan dan tidak pada tempatnya, khususnya untuk FPI, apa yang menjadi dasar? Menumbuhkan ekstremisme?" ujar Sugito kepada SINDOnews secara terpisah.

Sugito mengatakan, FPI adalah organisasi yang sangat terbuka, baik misi dan visinya. "Tapi yang paling penting, kekuasaan tidak selamanya. FPI juga aktif di kegiatan kemanusiaan dalam penanganan bencana alam, biarlah rakyat yang menilai dan menjadi hakim untuk anggota DPR RI sekarang ini," pungkas Sugito.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1895 seconds (0.1#10.140)