Polemik BPJS Kesehatan karena Pemerintah Tak Berani Naikkan Iuran Sebelum Pemilu 2019
loading...

SINDO/Wawan Bastian
A
A
A
JAKARTA - Sengkarut keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah berlangsung sejak tahun 2016. Sebenarnya, defisit anggaran bisa diminimalisir jika pemerintah menaikkan iuran bertahap.
BPJS Watch menduga ada alasan politis sehingga pemerintah tidak berani menaikkan iuran sebelum tahun 2019. Padahal Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) memperbolehkan kenaikan. Pasal 27 ayat (2) UU tersebut menyebutkan besaran iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.
Ini diperkuat pada aturan turun, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pasal 38 ayat (2) menyebutkan besaran iuran ditinjau paling lama dua tahun sekali. "Jadi kenaikan iuran adalah hal biasa dan memang harus dilakukan pemerintah. Sejak beroperasi tahun 2014, pemerintah sudah menaikkan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) pada 2016," ujar Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Sabtu (16/5/2020).
Dia mengungkapkan, kenaikan itu sebenarnya tidak sesuai dengan rekomendasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Rekomendasinya, tarif penerima bantuan iuran (PBI) itu Rp36.000 per bulan, tapi ditetapkan Rp23.000. "Keputusan ini berkontribusi pada terciptanya defisit tiap tahun hingga 2019," katanya
Payung hukum kenaikan itu adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan saat itu pun tak luput dari gelombang protes. Pemerintah akhirnya menurunkan iuran Kelas III mandiri dari Rp30.000 ke Rp25.500. Revisi itu menggunakan Perpres Nomor 28 Tahun 2016.
BPJS Watch menduga ada alasan politis sehingga pemerintah tidak berani menaikkan iuran sebelum tahun 2019. Padahal Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) memperbolehkan kenaikan. Pasal 27 ayat (2) UU tersebut menyebutkan besaran iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.
Ini diperkuat pada aturan turun, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pasal 38 ayat (2) menyebutkan besaran iuran ditinjau paling lama dua tahun sekali. "Jadi kenaikan iuran adalah hal biasa dan memang harus dilakukan pemerintah. Sejak beroperasi tahun 2014, pemerintah sudah menaikkan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) pada 2016," ujar Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Sabtu (16/5/2020).
Dia mengungkapkan, kenaikan itu sebenarnya tidak sesuai dengan rekomendasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Rekomendasinya, tarif penerima bantuan iuran (PBI) itu Rp36.000 per bulan, tapi ditetapkan Rp23.000. "Keputusan ini berkontribusi pada terciptanya defisit tiap tahun hingga 2019," katanya
Payung hukum kenaikan itu adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan saat itu pun tak luput dari gelombang protes. Pemerintah akhirnya menurunkan iuran Kelas III mandiri dari Rp30.000 ke Rp25.500. Revisi itu menggunakan Perpres Nomor 28 Tahun 2016.
Lihat Juga :