Ahli Hukum Nilai Penetapan DPO Sjamsul Nursalim Pelanggaran HAM
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penetapan Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap orang yang telah dinyatakan bebas secara hukum dinilai tidak tepat. Hal itu bahkan dianggap melanggar hukum.
Pernyataan tersebut dilontarkan Advokat senior Maqdir Ismail. Menurutnya, KPK bisa saja membentuk satuan khusus pemburu tersangka yang masuk DPO sebagai upaya untuk penegakan hukum. Namun, tidak tepat jika menarget orang yang telah dinyatakan bebas secara hukum. “Adalah tidak tepat dan merupakan perbuatan melawan hukum, kalau Satgas KPK mencari orang dalam DPO terkait kasus yang pelaku utamanya telah dinyatakan bebas atau tidak melakukan perbuatan pidana, menurut putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” kata Maqdir Ismail kepada wartawan di Jakarta, Senin (25/1/2021).
Ahli hukum ini mencontohkan perkara Sjamsul Nursalim (SN) dan Itjih S. Nursalim (IN), dia menganggap penetapan status tersangka kepada keduanya sudah tidak valid sejak adanya putusan MA yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT). “Sudah tidak valid, karena perkara beliau berdua itu berasal dari penetapan SAT sebagai tersangka,” tandasnya.
SN dan IN terseret dalam perkara mantan Kepala BPPN SAT. Oleh Jaksa KPK, SAT diduga melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Dorojatun Kuntjoro-Jakti, SN serta IN. Hal itu juga disampaikan Jaksa KPK dalam tuntutannya. Namun Mahkamah Agung (MA) telah membebaskan SAT. Dalam putusannya, MA menilai SAT tidak melakukan tindak pidana. “Putusan ini secara hukum bermakna sangkaan atau dugaan terhadap Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim, adalah tidak benar dan tidak berdasar. Sehingga status tersangka yang terlanjur disematkan kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim otomatis gugur demi hukum,” jelas Maqdir Ismail.
Maka, dia menerangkan, sepatutnya pimpinan KPK berani melakukan koreksi dengan menghentikan penyidikan serta penghapusan status DPO terhadap SN dan IN. Hal itu diperlukan untuk menunjukkan bahwa negara hukum Republik Indonesia menghormati putusan pengadilan sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum.
“Pimpinan KPK tidak perlu merasa gamang apalagi merasa bersalah dalam menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jika penghentian penyidikan dan penghapusan status DPO tidak segera dilakukan, maka timbul potensi pelanggaran HAM oleh Negara terhadap Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim. Penghentian penyidikan juga akan menjadi bukti bahwa KPK menjunjung tinggi hukum dan menjalankan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap secara adil dan benar,” tutup Maqdir.
Pernyataan tersebut dilontarkan Advokat senior Maqdir Ismail. Menurutnya, KPK bisa saja membentuk satuan khusus pemburu tersangka yang masuk DPO sebagai upaya untuk penegakan hukum. Namun, tidak tepat jika menarget orang yang telah dinyatakan bebas secara hukum. “Adalah tidak tepat dan merupakan perbuatan melawan hukum, kalau Satgas KPK mencari orang dalam DPO terkait kasus yang pelaku utamanya telah dinyatakan bebas atau tidak melakukan perbuatan pidana, menurut putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” kata Maqdir Ismail kepada wartawan di Jakarta, Senin (25/1/2021).
Ahli hukum ini mencontohkan perkara Sjamsul Nursalim (SN) dan Itjih S. Nursalim (IN), dia menganggap penetapan status tersangka kepada keduanya sudah tidak valid sejak adanya putusan MA yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT). “Sudah tidak valid, karena perkara beliau berdua itu berasal dari penetapan SAT sebagai tersangka,” tandasnya.
SN dan IN terseret dalam perkara mantan Kepala BPPN SAT. Oleh Jaksa KPK, SAT diduga melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Dorojatun Kuntjoro-Jakti, SN serta IN. Hal itu juga disampaikan Jaksa KPK dalam tuntutannya. Namun Mahkamah Agung (MA) telah membebaskan SAT. Dalam putusannya, MA menilai SAT tidak melakukan tindak pidana. “Putusan ini secara hukum bermakna sangkaan atau dugaan terhadap Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim, adalah tidak benar dan tidak berdasar. Sehingga status tersangka yang terlanjur disematkan kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim otomatis gugur demi hukum,” jelas Maqdir Ismail.
Maka, dia menerangkan, sepatutnya pimpinan KPK berani melakukan koreksi dengan menghentikan penyidikan serta penghapusan status DPO terhadap SN dan IN. Hal itu diperlukan untuk menunjukkan bahwa negara hukum Republik Indonesia menghormati putusan pengadilan sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum.
“Pimpinan KPK tidak perlu merasa gamang apalagi merasa bersalah dalam menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jika penghentian penyidikan dan penghapusan status DPO tidak segera dilakukan, maka timbul potensi pelanggaran HAM oleh Negara terhadap Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim. Penghentian penyidikan juga akan menjadi bukti bahwa KPK menjunjung tinggi hukum dan menjalankan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap secara adil dan benar,” tutup Maqdir.
(cip)