Dari La Nina hingga Angin Monsun Asia, Fenomena Alam yang Perlu Diwaspadai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebutkan fenomena La Nina akan terus terjadi mulai bulan Februari hingga Maret. Kemudian, pada April hingga Mei diprediksi sudah mulai netral.
"Selain fenomena La Nina dan angin Monsun Asia, juga saat itu nantinya diprediksi ada fenomena Madden Julian Oscillation (MJO), yaitu gelombang atmosfer yang membawa kumpulan awan hujan yang bergerak dari Samudera Hindia di zona tropis dari sebelah timur afrika atau barat Indonesia," tutur Rita begitu biasa disapa Dwikorita Karnawati dalam keterangan pers tetulisnya, Sabtu (23/1/2021).
Fenomena MJO ini akan memasuki wilayah Indonesia menuju samudera Pasifik. Kemudian saat memasuki wilayah Indonesia, mulai dari bagian barat.
"Karena membawa kumpulan awan-awan hujan ini, maka karena topografi di Indonesia ini bergunung-gunung, maka akan terjadi hujan yang otomatis menambah pasokan hujan di wilayah Indonesia tadi," katanya.
Tetapi fenomena ini, kata Rita, memang sudah rutin terjadi, siklusnya antara 30 sampai dengan 60 hari. Jadi ada pengulangan. Selain fenomena MJO, ada juga fenomena yang terkait dengan, gelombang atmosfer yang terjadi di the equator, yaitu kelvin dan rossby, yang juga meningkatkan pasokan air hujan," ujarnya.Baca juga: Tahun 2020 Sesar Lembang Tak Timbulkan Gempa Bumi, Ini Kewaspadaan BMKG
Bahkan menurut dia, dari pengamatan BMKG walaupun curah hujan berada pada tingkat sedang, namun masih berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi. "Hal ini tergantung pada daya dukung lingkungan dalam merespon kondisi curah hujan," kata Guswanto.
Misalnya jika terjadi banjir bandang karena adanya sisa-sisa penebangan pohon dibagian hulu, yang dapat menahan air. Jika hujan terus berlangsung, kemudian akan hanyut dan mengakibatkan banjir bandang di bagian hilirnya.
"Demikian pula banjir dan genangan, selain akibat curah hujan tinggi juga dapat diakibatkan kondisi permukaan yang tidak mendukung air mengalir dengan cepat atau normal ke saluran-saluran yang semestinya," katanya.
Dia mengatakan, kondisi dinamika atmosfer yang tidak stabil dalam beberapa hari ke depan dapat berpotensi meningkatkan pertumbuhan awan hujan di beberapa wilayah Indonesia.
Ditambah Kombinasi antara MJO, gelombang Rossby Ekuator, gelombang Kelvin, dan gelombang Low Frequency di wilayah dan periode yang sama yakni di Laut China Selatan, Samudera Pasifik utara Papua, Samudera Hindia barat Lampung hingga selatan NTT, sebagian besar Jawa, Bali, NTT bagian barat, Laut Bali, Laut Sumbawa, mampu meningkatkan aktivitas konvektif dan pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut.
BMKG memantau adanya bibit siklon tropis 93S di Samudera Hindia sebelah Barat Daya Sumatera. Posisi sistem yang cukup jauh dari wilayah Indonesia dan arah gerak menjauhi wilayah Indonesia sehingga tidak memberikan dampak terhadap kondisi cuaca di wilayah Indonesia.
"Namun memberikan pengaruh berupa potensi hujan lebat, peningkatan kecepatan angin dan tinggi gelombang di Samudera Hindia Selatan Sumatera-Jawa Barat," tuturnya.
Selain itu juga terpantau sirkulasi siklonik di Teluk Carpentaria bagian barat yang membentuk daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin (konvergensi) yang memanjang dari Sulawesi Tengah bagian selatan, perairan barat Sulawesi Tenggara, Laut Banda hingga Laut Arafura bagian barat.
"Sirkulasi siklonik lainnya terpantau di Laut Cina Selatan sebelah barat Palawan. Kondisi tersebut mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konvergensi tersebut," jelasnya.
"Selain fenomena La Nina dan angin Monsun Asia, juga saat itu nantinya diprediksi ada fenomena Madden Julian Oscillation (MJO), yaitu gelombang atmosfer yang membawa kumpulan awan hujan yang bergerak dari Samudera Hindia di zona tropis dari sebelah timur afrika atau barat Indonesia," tutur Rita begitu biasa disapa Dwikorita Karnawati dalam keterangan pers tetulisnya, Sabtu (23/1/2021).
Fenomena MJO ini akan memasuki wilayah Indonesia menuju samudera Pasifik. Kemudian saat memasuki wilayah Indonesia, mulai dari bagian barat.
"Karena membawa kumpulan awan-awan hujan ini, maka karena topografi di Indonesia ini bergunung-gunung, maka akan terjadi hujan yang otomatis menambah pasokan hujan di wilayah Indonesia tadi," katanya.
Tetapi fenomena ini, kata Rita, memang sudah rutin terjadi, siklusnya antara 30 sampai dengan 60 hari. Jadi ada pengulangan. Selain fenomena MJO, ada juga fenomena yang terkait dengan, gelombang atmosfer yang terjadi di the equator, yaitu kelvin dan rossby, yang juga meningkatkan pasokan air hujan," ujarnya.Baca juga: Tahun 2020 Sesar Lembang Tak Timbulkan Gempa Bumi, Ini Kewaspadaan BMKG
Bahkan menurut dia, dari pengamatan BMKG walaupun curah hujan berada pada tingkat sedang, namun masih berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi. "Hal ini tergantung pada daya dukung lingkungan dalam merespon kondisi curah hujan," kata Guswanto.
Misalnya jika terjadi banjir bandang karena adanya sisa-sisa penebangan pohon dibagian hulu, yang dapat menahan air. Jika hujan terus berlangsung, kemudian akan hanyut dan mengakibatkan banjir bandang di bagian hilirnya.
"Demikian pula banjir dan genangan, selain akibat curah hujan tinggi juga dapat diakibatkan kondisi permukaan yang tidak mendukung air mengalir dengan cepat atau normal ke saluran-saluran yang semestinya," katanya.
Dia mengatakan, kondisi dinamika atmosfer yang tidak stabil dalam beberapa hari ke depan dapat berpotensi meningkatkan pertumbuhan awan hujan di beberapa wilayah Indonesia.
Ditambah Kombinasi antara MJO, gelombang Rossby Ekuator, gelombang Kelvin, dan gelombang Low Frequency di wilayah dan periode yang sama yakni di Laut China Selatan, Samudera Pasifik utara Papua, Samudera Hindia barat Lampung hingga selatan NTT, sebagian besar Jawa, Bali, NTT bagian barat, Laut Bali, Laut Sumbawa, mampu meningkatkan aktivitas konvektif dan pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut.
BMKG memantau adanya bibit siklon tropis 93S di Samudera Hindia sebelah Barat Daya Sumatera. Posisi sistem yang cukup jauh dari wilayah Indonesia dan arah gerak menjauhi wilayah Indonesia sehingga tidak memberikan dampak terhadap kondisi cuaca di wilayah Indonesia.
"Namun memberikan pengaruh berupa potensi hujan lebat, peningkatan kecepatan angin dan tinggi gelombang di Samudera Hindia Selatan Sumatera-Jawa Barat," tuturnya.
Selain itu juga terpantau sirkulasi siklonik di Teluk Carpentaria bagian barat yang membentuk daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin (konvergensi) yang memanjang dari Sulawesi Tengah bagian selatan, perairan barat Sulawesi Tenggara, Laut Banda hingga Laut Arafura bagian barat.
"Sirkulasi siklonik lainnya terpantau di Laut Cina Selatan sebelah barat Palawan. Kondisi tersebut mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konvergensi tersebut," jelasnya.
(dam)