Positif COVID-19 Diprediksi Tembus 1 Juta Kasus, Pakar Epidemiologi: Kondisinya Sangat Serius
loading...
A
A
A
JAKARTA - Angka penderita positif COVID-19 di Indonesia terus mengalami peningkatan kasus. Angka tersebut diprediksi terus meningkat dan menembus angka 1 juta kasus dalam waktu dekat ini. Setidaknya per 22 Januari 2021 kemarin, jumlah pasien yang dinyatakan positif terinfeksi virus Corona sudah mencapai 965.283 orang.
Menanggapi hal ini, Pakar Epidemiologi Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyatakan kasus harian yang terjadi di Indonesia tidak bisa dijadikan cerminan keadaan sesungguhnya. Bahkan melihatnya belum setengah dari keadaan yang sesungguhnya.
"Karena apa, testing, tracing kita sekali lagi yang masih menjadi PR kita ya, yang membuat masalah ini semakin besar, yang membuat pandemi kita cenderung tidak terkendali karena semakin banyak kasus infeksi yang tidak bisa kita dekteksi," ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (23/1/2021).
Dicky menegaskan bahwa angka kematian yang trennya begitu meningkat akhir-akhir ini menjadi pembenaran atas angka positif ini. Selain itu, angka kematian itu juga merefleksikan keparahan dari satu pengendalian pandemi.
Baca juga: WHO Minta Pemakaian Masker Disiplin di Situasi seperti Ini
"Jadi jangan tiga digit, satu digit saja udah sangat serius kematian itu karena kita ini berarti ada pengabaian ada kebobolan," katanya.
Dia menuturkan kondisi peningkatan jumlah kasus positif COVID-19 yang berdampak pada kematian setidaknya merujuk pada tiga faktor. Pertama, dari sisi tempat atau posisi suatu daerah. Ia melihat, dari sisi ini terjadi kelemahan terhadap upaya testing dan tracing. Akibatnya, satu daerah tidak dapat mendeteksi secara pasti orang yang dicurigai terinfeksi.
Kemudian yang kedua, Dicky menyebutkan faktor waktu. Di sini, ia menjelaskan bahwa waktu adalah kemampuan kita dalam mendeteksi kasus mulai dari hasil tes warga sampai rencana karantina terjadi gap yang jauh.
"Begitu banyak waktu yang tercecer sehingga tertinggal jauh dri virus ini menyebar. Dari sisi waktu juga kita tau adanya kematian di satu daerah satu saja, maka satu daerah itu jeda waktunya selama sebulan, itu terjadi secara eksponensial saja dari satu daerah suatu negara jedanya seperti itu. Artinya kondisinya sangat serius," tegasnya.
Adapun faktor yang ketiga, Dicky melihat dari sisi manusianya. Menurut dia, faktor ini bisa dideteksi ketika ada kasus kematian, dan peningkatan kasus positif maka cara pelaporanya tidak bisa dianggap remeh. Ia menilai, ini situasi pandemi, penyakit baru, sehingga dibutuhkan faktor (perilaku) manusia yang harus digali lebih jauh.
"Untul apa, untuk mengetahui strategi kita, kelemahan kita. Ini harus jelas, kematian, kasus infeksi, data demografinya seperti apa. Dari link klaster karena dari klaster itu bisa ketahuan apakah ada titik-titik potensi-potensi yang khusus yang bernuansa dengan indonesia yang biasanya berkaitan dengan perilaku manusianya," pungkas dia.
Menanggapi hal ini, Pakar Epidemiologi Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyatakan kasus harian yang terjadi di Indonesia tidak bisa dijadikan cerminan keadaan sesungguhnya. Bahkan melihatnya belum setengah dari keadaan yang sesungguhnya.
"Karena apa, testing, tracing kita sekali lagi yang masih menjadi PR kita ya, yang membuat masalah ini semakin besar, yang membuat pandemi kita cenderung tidak terkendali karena semakin banyak kasus infeksi yang tidak bisa kita dekteksi," ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (23/1/2021).
Dicky menegaskan bahwa angka kematian yang trennya begitu meningkat akhir-akhir ini menjadi pembenaran atas angka positif ini. Selain itu, angka kematian itu juga merefleksikan keparahan dari satu pengendalian pandemi.
Baca juga: WHO Minta Pemakaian Masker Disiplin di Situasi seperti Ini
"Jadi jangan tiga digit, satu digit saja udah sangat serius kematian itu karena kita ini berarti ada pengabaian ada kebobolan," katanya.
Dia menuturkan kondisi peningkatan jumlah kasus positif COVID-19 yang berdampak pada kematian setidaknya merujuk pada tiga faktor. Pertama, dari sisi tempat atau posisi suatu daerah. Ia melihat, dari sisi ini terjadi kelemahan terhadap upaya testing dan tracing. Akibatnya, satu daerah tidak dapat mendeteksi secara pasti orang yang dicurigai terinfeksi.
Kemudian yang kedua, Dicky menyebutkan faktor waktu. Di sini, ia menjelaskan bahwa waktu adalah kemampuan kita dalam mendeteksi kasus mulai dari hasil tes warga sampai rencana karantina terjadi gap yang jauh.
"Begitu banyak waktu yang tercecer sehingga tertinggal jauh dri virus ini menyebar. Dari sisi waktu juga kita tau adanya kematian di satu daerah satu saja, maka satu daerah itu jeda waktunya selama sebulan, itu terjadi secara eksponensial saja dari satu daerah suatu negara jedanya seperti itu. Artinya kondisinya sangat serius," tegasnya.
Adapun faktor yang ketiga, Dicky melihat dari sisi manusianya. Menurut dia, faktor ini bisa dideteksi ketika ada kasus kematian, dan peningkatan kasus positif maka cara pelaporanya tidak bisa dianggap remeh. Ia menilai, ini situasi pandemi, penyakit baru, sehingga dibutuhkan faktor (perilaku) manusia yang harus digali lebih jauh.
"Untul apa, untuk mengetahui strategi kita, kelemahan kita. Ini harus jelas, kematian, kasus infeksi, data demografinya seperti apa. Dari link klaster karena dari klaster itu bisa ketahuan apakah ada titik-titik potensi-potensi yang khusus yang bernuansa dengan indonesia yang biasanya berkaitan dengan perilaku manusianya," pungkas dia.
(kri)