Perpres Ekstremisme Dinilai Berpotensi Picu Konflik Horizontal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, dikritik.
Kebijakan yang berisi lebih dari 125 rencana aksi dan yang akan dijalankan lebih dari 20 kementerian atau lembaga ini ditandatangani Presiden Joko (Widodo) pada 6 Januari 2021 setelah sebelumnya mengalami proses selama lebih dari tiga tahun sejak 2017.
"Perpres ini dapat memicu konflik horizontal antar kelompok masyarakat karena akan memberi kewenangan kepada kelompok masyarakat tertentu untuk melakukan penegakkan hukum," kata Ketua Majelis Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM), Iwan Sumule kepada SINDOnews, Kamis (21/1/2021).
Apalagi, kata dia, tidak ada ukuran yang jelas tentang kelompok-kelompok yang nantinya dituduh sebagai kelompok ekstrimis dan teroris. "Kita kan sudah punya BNPT, Densus 88, dan Detasemen Anti Teror yang dimiliki TNI," kata Iwan yang juga sebagai Ketua Bidang Hubungan Organisasi Masyarakat dan LSM DPP Partai Gerindra ini.
Menurut dia, persoalan-persoalan penegakkan hukum dan pemberantasan kelompok-kelompok ektremis dan terorisme harusnya diserahkan saja kepada institusi yang sudah ada. "Tak perlu lagi buat sejenis PAM Swakarsa," katanya.
Iwan mengatakan, sudah ada ukuran juga terhadap tindakan-tindakan yang dikategorikan ekstrim dan teror. "Sudah ada pula aturan hukum yang mengaturnya," tuturnya.
Kebijakan yang berisi lebih dari 125 rencana aksi dan yang akan dijalankan lebih dari 20 kementerian atau lembaga ini ditandatangani Presiden Joko (Widodo) pada 6 Januari 2021 setelah sebelumnya mengalami proses selama lebih dari tiga tahun sejak 2017.
"Perpres ini dapat memicu konflik horizontal antar kelompok masyarakat karena akan memberi kewenangan kepada kelompok masyarakat tertentu untuk melakukan penegakkan hukum," kata Ketua Majelis Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM), Iwan Sumule kepada SINDOnews, Kamis (21/1/2021).
Apalagi, kata dia, tidak ada ukuran yang jelas tentang kelompok-kelompok yang nantinya dituduh sebagai kelompok ekstrimis dan teroris. "Kita kan sudah punya BNPT, Densus 88, dan Detasemen Anti Teror yang dimiliki TNI," kata Iwan yang juga sebagai Ketua Bidang Hubungan Organisasi Masyarakat dan LSM DPP Partai Gerindra ini.
Menurut dia, persoalan-persoalan penegakkan hukum dan pemberantasan kelompok-kelompok ektremis dan terorisme harusnya diserahkan saja kepada institusi yang sudah ada. "Tak perlu lagi buat sejenis PAM Swakarsa," katanya.
Iwan mengatakan, sudah ada ukuran juga terhadap tindakan-tindakan yang dikategorikan ekstrim dan teror. "Sudah ada pula aturan hukum yang mengaturnya," tuturnya.
(dam)