Koalisi Masyarakat Sipil: Somasi Gubernur Kalsel Citra Buruk Respons Pejabat Publik

Kamis, 21 Januari 2021 - 04:33 WIB
loading...
Koalisi Masyarakat Sipil: Somasi Gubernur Kalsel Citra Buruk Respons Pejabat Publik
Koalisi Masyarakat Sipil menilai somasi Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Sahbirin Noor memberi contoh buruk respons pejabat publik terhadap kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil menilai somasi Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Sahbirin Noor memberi contoh buruk respons pejabat publik terhadap kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat.

Koalisi Masyarakat Sipil terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Greenpeace, LBH Pers, Imparsial, WALHI Eksekutif Daerah Kalimantan Selatan, Eksekutif Nasional WALHI, SAFEnet, PSHK, Institut Perempuan, LBHM, dan PUSKAPA.

Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhamad Isnur menuturkan beberapa hari ini ramai tersebar di media sosial terkait somasi yang dikeluarkan oleh tim kuasa hukum Gubernur Kalsel Sahbirin Noor atas unggahan foto atau video yang berhubungan dengan bencana banjir yang saat ini terjadi di Kalsel.

Dalam somasi tertanggal 17 Januari 2020 itu, kuasa hukum Sahbirin Noor mengancam akan melaporkan setiap perbuatan yang menyudutkan kliennya ke polisi dengan menggunakan pasal-pasal pidana dalam UU ITE.

"Koalisi menilai bahwa somasi ini merupakan bentuk nyata dari ancaman pada kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam negara demokrasi modern seperti Indonesia," tegas Isnur melalui rilis kepada MNC News Portal, di Jakarta, Rabu (20/1/2021).

Dia membeberkan, bagi Koalisi dalam kondisi bencana lingkungan yang saat ini terjadi di Kalsel, setiap tindakan yang merupakan bagian dari partisipasi publik dalam isu lingkungan tidak dapat dipidana. Termasuk pembuatan foto atau video bernuansa kritik secara tajam dan atau kreatif terhadap pejabat publik.

Terhadap hal tersebut, kata Isnur, Koalisi memiliki dua catatan. Pertama, tindakan kriminalisasi warga yang memberikan kritik terhadap pejabatnya adalah bentuk pembungkaman dan merupakan tujuan yang tidak sah dalam pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat.

"Sebagai pejabat publik, maka Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor seharusnya tidak memiliki privilese untuk dilindungi atas dasar jabatannya," jelasnya.

Isnur memaparkan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 013-022/PUU-IV/2006, ketika menghapuskan penghinaan terhadap Presiden, MK menekankan bahaya kriminalisasi berdasarkan jabatan publik. Penggunaan pidana demikan akan amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan, hasilnya hal ini akan menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi, yang dijamin Pasal 28F UUD 1945.

Selanjutnya, penggunaan pidana berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap tatkala pidana digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum menyatakan pendapat.

Apabila diperhatikan, tutur Isnur, maka kekhawatiran dari MK terbukti dalam peristiwa ini. Somasi yang dilakukan oleh tim kuasa hukum Gubernur Kalsel Sahbirin Noor telah menciptakan iklim ketakutan bagi warga negara ketika menyatakan pendapat. Tim kuasa hukum gubernur juga telah gagal melihat bentuk kritik yang diajukan kepada gubernur.

"Karena kritik tersebut jelas disampaikan oleh masyarakat berhubungan dengan benca banjir yang secara faktual memang terjadi, dan jelas merupakan tugas dari gubernur untuk memberikan informasi dan pertanggunjawaban kepada publik," kata Isnur.

Kedua, kritik terhadap Gubernur Kalsel harus dikaitkan dengan Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Isnur menggariskan kondisi lingkungan di Kalsel memang menjadi sorotan. Menurut catatan Walhi Kalimantan Selatan, 50% dari luas Kalimantan Selatan yang mencapai 3,7 juta Ha sudah dibebani oleh izin tambang. Dari angka itu, 33% dibebani oleh izin perkebunan sawit dan 17% untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Tanaman Industri (HTI).

"Dalam provinsi yang sama, Walhi Kalimantan Selatan juga mencatat terdapat 814 lubang milik 157 perusahaan tambang batu bara, sebagian lubang berstatus aktif, sebagian lain telah ditinggalkan tanpa reklamasi," imbuhnya.

Dia mengungkapkan dengan kondisi ini maka sulit memisahkan kritik terhadap Gubernur Kalsel dengan kondisi lingkungan yang sedikit banyak juga merupakan tanggung jawab dari beliau sebagai pejabat publik. Atas dasar itu, sulit juga untuk tidak melihat somasi dari tim kuasa hukum bukan sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan bereskpresi dan berpendapat dari warga negara.

Atas dasar itu, Isnur membeberkan, maka Koalisi meminta Gubernur Kalsel Sahbirin Noor melakukan tiga langkah. Satu, mencabut somasi yang dikeluarkan oleh tim kuasa hukum beliau dan menginformasikan hal tersebut kepada publik. Dua, memprioritaskan penanganan terhadap kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas manusia di provinsinya, terlebih dalam kondisi bencana banjir yang sedang dihadapi.

"Tiga, memprioritaskan langkah-langkah merespons bencana untuk memastikan pendataan penduduk, distribusi bantuan sosial dan upaya pemulihan untuk kesejahteraan warganya berjalan dengan baik," tutup Isnur.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2630 seconds (0.1#10.140)