YLKI Minta Pemerintah Sisir Data Penerima Bantuan Iuran BPJS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyesalkan keputusan pemerintah kembali menaikkan iuran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan .
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 itu mengejutkan.
Perpres itu seolah menjawab pembatalan kenaikan iuran oleh Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan kenaikan lagi.
“Mengejutkan karena perpres tersebut dibuat dan disahkan tanpa proses konsultasi publik yang memadai. Bahkan, terkesan sembunyi-sembunyi di saat masyarakat tengah terkurung pandemi Covid-19,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat (15/5/2020).
Menurut dia, keluarnya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 itu secara sosial dan ekonomi menujukkan pemerintah tidak mempunyai empati. Saat ini kondisi ekonomi masyarakat terpuruk akibat dihantam pandemi Covid-19.
Data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang dirumahkan dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 1,7 juta orang.
“Sekalipun untuk kelas II peserta mandiri diberikan subsidi. Membayar Rp25.000 per orang akan terasa sangat berat. Perpres ini berpotensi mengerek tunggakan iuran masyarakat. Akhirnya target untuk meningkatkan revenue BPJS Kesehatan sulit tercapai,” tutur Tulus. (Baca juga: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bebani Kelas Menengah, Ekonom Sebut Dilematis)
Menurut YLKI, pemerintah sebaiknya mengunakan cara lain untuk memenuhi biaya operasional BPJS Kesehatan. Cara itu tidak boleh membebani masyarakat dengan kenaikan tarif. YLKI mengusulkan pemerintah menaikkan cukai rokok. Pendapatan dari cukai itu langsung diberikan kepada BPJS Kesehatan.
Kenaikan cukai rokok diharapkan mengubah gaya hidup masyarakat ke arah yang lebih sehat. “Sehingga mampu menekan penyakit menular yang selama ini menjadi benalu finansial BPJS Kesehatan. Apalagi di saat pandemi ini, perilaku merokok sangat rawan menjadi trigger terinfeksi Covid-19,” terangnya.
YLKI juga mendesak pemerintah menyisir data penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan. “Melakukan cleansing data terlebih dahulu. Patut diduga di kelompok ini masih banyak inefisiensi atau banyak peserta yang tidak tepat sasaran,” tuturnya.
(Fahmi Bahtiar)
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 itu mengejutkan.
Perpres itu seolah menjawab pembatalan kenaikan iuran oleh Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan kenaikan lagi.
“Mengejutkan karena perpres tersebut dibuat dan disahkan tanpa proses konsultasi publik yang memadai. Bahkan, terkesan sembunyi-sembunyi di saat masyarakat tengah terkurung pandemi Covid-19,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat (15/5/2020).
Menurut dia, keluarnya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 itu secara sosial dan ekonomi menujukkan pemerintah tidak mempunyai empati. Saat ini kondisi ekonomi masyarakat terpuruk akibat dihantam pandemi Covid-19.
Data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang dirumahkan dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 1,7 juta orang.
“Sekalipun untuk kelas II peserta mandiri diberikan subsidi. Membayar Rp25.000 per orang akan terasa sangat berat. Perpres ini berpotensi mengerek tunggakan iuran masyarakat. Akhirnya target untuk meningkatkan revenue BPJS Kesehatan sulit tercapai,” tutur Tulus. (Baca juga: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bebani Kelas Menengah, Ekonom Sebut Dilematis)
Menurut YLKI, pemerintah sebaiknya mengunakan cara lain untuk memenuhi biaya operasional BPJS Kesehatan. Cara itu tidak boleh membebani masyarakat dengan kenaikan tarif. YLKI mengusulkan pemerintah menaikkan cukai rokok. Pendapatan dari cukai itu langsung diberikan kepada BPJS Kesehatan.
Kenaikan cukai rokok diharapkan mengubah gaya hidup masyarakat ke arah yang lebih sehat. “Sehingga mampu menekan penyakit menular yang selama ini menjadi benalu finansial BPJS Kesehatan. Apalagi di saat pandemi ini, perilaku merokok sangat rawan menjadi trigger terinfeksi Covid-19,” terangnya.
YLKI juga mendesak pemerintah menyisir data penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan. “Melakukan cleansing data terlebih dahulu. Patut diduga di kelompok ini masih banyak inefisiensi atau banyak peserta yang tidak tepat sasaran,” tuturnya.
(Fahmi Bahtiar)
(dam)