PKS Terbitkan Anjuran Vaksinasi Corona, Berikut Penjabarannya

Jum'at, 15 Januari 2021 - 01:31 WIB
loading...
A A A
2. Islam memerintahkan agar kita menjaga diri dari penyakit menular dan virus yang mewabah. Rasulullah saw. bersabda, "Berlarilah dari penderita lepra (al majdzum) seperti engkau melarikan diri dari singa," (Bukhari, 5/5380). "Jika engkau mendengar wabah (at tha'un) sedang melanda suatu tempat, janganlah memasuki tempat itu," (Al-Bukhari, 5/5396).

Menurut Al Garafi, segala upaya untuk melindungi diri dari hal hal yang mendatangkan kerusakan (mafsadah) hukumnya adalah wajib (Al Garafi. 1998. 4/401). Maka, disiplin dengan protokol kesehatan, yaitu menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan merupakan perkara yang wajib.

3. Islam memerintahkan agar kita tidak menjadi sebab terjadinya penularan wabah sehingga orang yang potensial menularkan wabah harus melakukan isolasi diri. Rasulullah saw. bersabda, "Jika wabah itu sedang melanda suatu tempat dan engkau sedang berada di sana, janganlah keluar darinya," (Bukhari, 5/5396).

Maka, orang yang merasakan adanya gejala tertular oleh Covid 19, dia harus memeriksakan kesehatannya, lalu melakukan isolasi, dan dilakukan penanganan medis. Jika dia tidak melakukannya sehingga menimbulkan kemudaratan (dharar) bagi orang lain, maka dia berdosa.

4. Menurut mayoritas ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, hukum berobat dari penyakit yang tidak menular adalah mubah (boleh). Namun, menurut mazhab Syafii hukumnya bisa sunah atau wajib. Sunah jika pengobatan itu tidak dipastikan kemanjurannya. Hukum itu menjadi wajib jika efikasinya itu diduga kuat berhasil (Al Jamal. tt. 2/134).
Keharusan berobat dari penyakit yang menular tentu lebih kuat dari penyakit yang tidak menular. Penyebab (ilat) nya karena berpotensi menimbulkan bahaya bagi pihak lain. Rasulullah saw. bersabda, "La dhororo wa Ia dhirara," Artinya, tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya. (Ibnu Majah, 2/2341, shahih lighairihi), Maka, jika seseorang menolak untuk berobat dari penyakit yang menular, dia berdosa.

B. Pandangan Fikih Tentang Vaksinasi Covid-19 Beberapa persoalan fikih tentang vaksinasi Covid 19 bisa dijelaskan sebagai berikut:

1. Pencegahan dengan kaidah al akhdzu bil asbab harus dilakukan dengan wasilah yang bisa diukur dan telah terbukti secara ilmiah. Pencegahan dengan cara-cara lain seperti ramuan herbal, rugyah, dan lain lain bisa dipergunakan sebagai pelengkap. Secara medis, vaksinasi Covid 19 merupakan wasilah utama.

2. Vaksin Corona yang digunakan harus sudah melewati uji klinis yang standar berdasarkan penilaian pihak yang memiliki otoritas, yaitu BPOM.

3. Penggunaan vaksin Covid-19 sah untuk digunakan jika memenuhi lima syarat, yaitu: a) adanya kesucian dan kehalalan vaksin yang digunakan sesuai dengan penilaian MUI, b), adanya ancaman bahaya yang akan ditimbulkan jika tidak dilakukan vaksinasi Covid 19, c) adanya kemanjuran (efikasi) vaksin yang mencapai derajat "dugaan kuat" (adh dhan ar rajih) bagi terjadinya kekebalan terhadap virus tersebut, d) adanya keamanan sehingga tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar, dan e) tidak adanya kondisi atau penyakit penyerta yang bisa mengakibatkan terjadinya kemudaratan yang lebih besar jika dilakukan vaksinasi tersebut.

4. Anjuran penggunaan vaksin ini tidak berlaku jika syarat syarat di No.3 tidak terpenuhi. Berdasarkan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi Kemkes (No. 02.02/4/1/2021), ada beberapa kondisi yang tidak bisa diberi vaksin Covid 19 produksi Sinovac, yaitu: a) pernah terkonfirmasi menderita Covid 19, b) ibu hamil dan menyusui, c) menjalani terapi jangka panjang terhadap penyakit kelainan darah, d) penderita penyakit jantung, e) penderita penyakit autoimun (lupus, sjogren, vasculitis), f) penderita penyakit ginjal.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0960 seconds (0.1#10.140)