Pencopotan Ketua KPU Imbas Batasan Final dan Mengikat Putusan DKPP Tidak Jelas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Arief Budiman telah diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sidang yang dilaksanakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Arief dicopot dari jabatan karena diduga melanggar kode etik saat hadir di sidang gugatan yang dilakukan Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik yang menggugat Surat presiden di PTUN.
Menanggapi putusan ini, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai, kasus pencopotan Arief merupakan efek dari ketidakjelasan batasan final dan mengikat dalam UU tentang sifat putusan DKPP.
"Sekali pun sudah dinyatakan bahwa keputusan DKPP final tapi kenyataanya masih bisa digugat di PTUN. Sekali pun pintu masuknya dari aspek SK Presiden. Akibatnya terjadi saling menafikan yang bukan berujung pada penyelesaian tapi keruwetan," kata Ray saat dihubungi SINDOnews, Kamis (14/1/2021). ( )
Ray melanjutkan, salah satu keruwetannya seperti yang terjadi saat ini. Ketua KPU dipandang melampaui kewenangan jabatan karena dinilai mengaktifkan kembali saudari Evi. Padahal, putusan DKPP tetap seperti semula bahwa saudari Evi sudah dinyatakan diberhentikan. Akibatnya, maju kena mundur kena.
Baca juga: Pemberhentian Ketua KPU, Pemuda Muhammadiyah Sebut DKPP Gagal Paham
Menurut Ray, putusan DKPP ini lebih mengacu pada aspek dugaan penggunaan jabatan untuk suatu kegiatan yang dinilai lembaga pengadilan etik itu melampaui kewenangan Arief sebagai ketua KPU. Adapun soal kehadirannya dalam rangka mendukung pendaftaran gugatan saudari Evi ke PTUN tidak menjadi dasar bagi keputusan DKPP.
Karena itu, Ray melihatnya untuk menerima putusan DKPP yang dimaksud, sembari mengingatkan bahwa kasus ini akan dapat terus berulang jika tidak ada kejelasan batasan final dari sifat putusan DKPP. ( )
"Siapa pun kelak jadi ketua KPU akan selalu bisa berada dalam situasi ini. Serba salah. Dibuat surat pengangkatan ulang, melanggar putusan DKPP. Tidak dibuat, ada perintah PTUN yang membatalkan SK presiden," katanya.
Lihat Juga: KPU Jateng Gelar Simulasi Pemantapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pilkada 2024 di Salatiga
Menanggapi putusan ini, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai, kasus pencopotan Arief merupakan efek dari ketidakjelasan batasan final dan mengikat dalam UU tentang sifat putusan DKPP.
"Sekali pun sudah dinyatakan bahwa keputusan DKPP final tapi kenyataanya masih bisa digugat di PTUN. Sekali pun pintu masuknya dari aspek SK Presiden. Akibatnya terjadi saling menafikan yang bukan berujung pada penyelesaian tapi keruwetan," kata Ray saat dihubungi SINDOnews, Kamis (14/1/2021). ( )
Ray melanjutkan, salah satu keruwetannya seperti yang terjadi saat ini. Ketua KPU dipandang melampaui kewenangan jabatan karena dinilai mengaktifkan kembali saudari Evi. Padahal, putusan DKPP tetap seperti semula bahwa saudari Evi sudah dinyatakan diberhentikan. Akibatnya, maju kena mundur kena.
Baca juga: Pemberhentian Ketua KPU, Pemuda Muhammadiyah Sebut DKPP Gagal Paham
Menurut Ray, putusan DKPP ini lebih mengacu pada aspek dugaan penggunaan jabatan untuk suatu kegiatan yang dinilai lembaga pengadilan etik itu melampaui kewenangan Arief sebagai ketua KPU. Adapun soal kehadirannya dalam rangka mendukung pendaftaran gugatan saudari Evi ke PTUN tidak menjadi dasar bagi keputusan DKPP.
Karena itu, Ray melihatnya untuk menerima putusan DKPP yang dimaksud, sembari mengingatkan bahwa kasus ini akan dapat terus berulang jika tidak ada kejelasan batasan final dari sifat putusan DKPP. ( )
"Siapa pun kelak jadi ketua KPU akan selalu bisa berada dalam situasi ini. Serba salah. Dibuat surat pengangkatan ulang, melanggar putusan DKPP. Tidak dibuat, ada perintah PTUN yang membatalkan SK presiden," katanya.
Lihat Juga: KPU Jateng Gelar Simulasi Pemantapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pilkada 2024 di Salatiga
(abd)