KTT dan Krisis (Baru) Arab Teluk
loading...
A
A
A
Hasibullah Satrawi
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
BEBERAPA waktu lalu (5/1/2021), negara-negara Arab yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-41. Di satu sisi, KTT yang digelar di Kota Al-Ula, Arab Saudi, bisa dikatakan berhasil mengakhiri krisis negara-negara Arab Teluk yang sudah berlangsung selama 3,5 tahun (sejak Juni 2017). Hal ini bisa dibuktikan dengan hadirnya pemimpin tertinggi dari negara-negara Arab Teluk (khususnya Qatar), di samping adanya Deklarasi Al-Ula yang terdiri atas 117 poin. Bahkan, satu hari sebelum pelaksanaan KTT, Arab Saudi memutuskan membuka kembali perbatasannya dengan Qatar, baik darat, laut maupun udara (aawsat.com, 5/1/2021).
Namun demikian, di sisi yang lain, KTT kali ini justru mengembuskan pesimisme dan bisa membuka celah konflik baru mengingat Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain (pada tahap tertentu) tampaknya tidak terlalu bahagia dengan rekonsiliasi yang tercapai antara Arab Saudi dan Qatar. Hal ini bisa dilihat dari dinginnya sikap kedua negara tersebut (UEA dan Bahrain) terkait dengan perubahan hubungan antara Arab Saudi dan Qatar.
Sebagaimana dimaklumi, krisis Arab Teluk ini berawal dari hubungan Qatar yang dianggap terlalu dekat dengan Iran di satu sisi dan juga dengan kelompok Ikhwan Muslimin di sisi yang lain. Beberapa negara Arab Teluk plus Mesir memprotes sikap Qatar tersebut dengan sangat keras hingga menerapkan embargo total terhadap Qatar. Sebagai negara yang juga kaya raya di Timur Tengah, Qatar menentang keras sikap dari negara-negara Arab Teluk di atas. Alih-alih melunak, Qatar justru semakin dekat dengan Iran dan juga Turki (sebagai musuh dari Arab Saudi, Mesir, dan UEA).
Krisis negara-negara Arab Teluk sejatinya merugikan bagi negara-negara tersebut, baik secara politik maupun secara ekonomi, terlebih lagi sampai pada tahap pemberlakuan embargo total kepada Qatar. Sebaliknya, negara-negara seperti Iran dan Turki yang selama ini menjadi “musuh” bagi (sebagian) negara-negara Arab Teluk justru mendapatkan keuntungan besar dari krisis yang terjadi mengingat krisis yang terjadi telah memaksa Qatar untuk berhubungan dengan pihak-pihak di atas.
Pada tahap tertentu, deklarasi hubungan diplomatik antara sebagian negara Arab Teluk (UEA dan Bahrain) dengan Israel juga bisa dibaca sebagai keuntungan yang didapat oleh lawan dari krisis politik yang terjadi di internal negara-negara Arab Teluk mengingat hubungan itu dilakukan dalam rangka memperkuat barisan mereka (UEA dan Bahrain) dalam menghadapi ancaman Iran.
Ironisnya adalah di saat-saat musuh-musuh negara Arab Teluk diuntungkan dari krisis yang terjadi, justru Palestina sebagai saudara sebangsa (kalau masih boleh dikatakan demikian) yang selama ini kerap diperjuangkan mengalami kerugian berlipat-lipat. Bahkan, Palestina belakangan dijadikan tumbal politik nasional sebagian negara Arab Teluk, termasuk ketika mereka bekerja sama dengan musuh (Israel) untuk menghadapi musuh yang lain (khususnya Iran).
Inilah kurang lebih “kerugian-kerugian” yang membuat negara-negara Arab Teluk belakangan mencoba untuk melakukan rekonsiliasi, selain adanya dukungan bahkan desakan dari pihak luar seperti Amerika Serikat (AS). Namun demikian, hal ini tak berarti bahwa rekonsiliasi bisa langsung berjalan cepat tanpa hambatan. Karena kekayaan, kekuatan, dan kemandirian yang dimiliki negara-negara Arab Teluk bisa melahirkan egoisme politik kekuasaan yang saling memanaskan daripada mendamaikan, terutama bila egoisme politik kekuasaan yang ada terkait dengan semangat untuk menjadi negara nomor satu, tak hanya di kalangan negara-negara Arab Teluk melainkan juga di kawasan Timur Tengah secara umum.
Krisis antara Qatar dan negara-negara Arab Teluk lain selama ini, di sisi lain, juga bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari egoisme politik untuk menjadi nomor satu sebagaimana dijelaskan di atas. Pada tahap tertentu, krisis tersebut menunjukkan bahwa Qatar dan Arab Saudi sama-sama merasa sebagai “negara nomor satu” di Kawasan Arab Teluk; Arab Saudi ingin menjadi yang mengatur, sedangkan Qatar faktanya tak ingin menjadi yang diatur atau tidak ingin menjadi “negara nomor dua”. Hingga akhirnya terbentuk poros Arab Teluk di bawah komando Arab Saudi dan UEA.
Belakangan, tampaknya, Uni Emirat Arab (UEA) juga ingin menjadi negara nomor satu seperti Arab Saudi. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kebijakan UEA yang tampak lebih agresif dan “mendahului” Arab Saudi, seperti terkait hubungan diplomatik dengan Israel. Bahkan, dalam beberapa bagian, UEA berani berbeda dengan sikap Arab Saudi seperti dalam kasus perang Yaman dalam menghadapi kelompok Houthi yang dianggap kepanjangan tangan Iran. Dan, tentu saja puncaknya adalah sikap dingin UEA terkait rekonsiliasi yang terjadi antara Arab Saudi dan Qatar.
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
BEBERAPA waktu lalu (5/1/2021), negara-negara Arab yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-41. Di satu sisi, KTT yang digelar di Kota Al-Ula, Arab Saudi, bisa dikatakan berhasil mengakhiri krisis negara-negara Arab Teluk yang sudah berlangsung selama 3,5 tahun (sejak Juni 2017). Hal ini bisa dibuktikan dengan hadirnya pemimpin tertinggi dari negara-negara Arab Teluk (khususnya Qatar), di samping adanya Deklarasi Al-Ula yang terdiri atas 117 poin. Bahkan, satu hari sebelum pelaksanaan KTT, Arab Saudi memutuskan membuka kembali perbatasannya dengan Qatar, baik darat, laut maupun udara (aawsat.com, 5/1/2021).
Namun demikian, di sisi yang lain, KTT kali ini justru mengembuskan pesimisme dan bisa membuka celah konflik baru mengingat Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain (pada tahap tertentu) tampaknya tidak terlalu bahagia dengan rekonsiliasi yang tercapai antara Arab Saudi dan Qatar. Hal ini bisa dilihat dari dinginnya sikap kedua negara tersebut (UEA dan Bahrain) terkait dengan perubahan hubungan antara Arab Saudi dan Qatar.
Sebagaimana dimaklumi, krisis Arab Teluk ini berawal dari hubungan Qatar yang dianggap terlalu dekat dengan Iran di satu sisi dan juga dengan kelompok Ikhwan Muslimin di sisi yang lain. Beberapa negara Arab Teluk plus Mesir memprotes sikap Qatar tersebut dengan sangat keras hingga menerapkan embargo total terhadap Qatar. Sebagai negara yang juga kaya raya di Timur Tengah, Qatar menentang keras sikap dari negara-negara Arab Teluk di atas. Alih-alih melunak, Qatar justru semakin dekat dengan Iran dan juga Turki (sebagai musuh dari Arab Saudi, Mesir, dan UEA).
Krisis negara-negara Arab Teluk sejatinya merugikan bagi negara-negara tersebut, baik secara politik maupun secara ekonomi, terlebih lagi sampai pada tahap pemberlakuan embargo total kepada Qatar. Sebaliknya, negara-negara seperti Iran dan Turki yang selama ini menjadi “musuh” bagi (sebagian) negara-negara Arab Teluk justru mendapatkan keuntungan besar dari krisis yang terjadi mengingat krisis yang terjadi telah memaksa Qatar untuk berhubungan dengan pihak-pihak di atas.
Pada tahap tertentu, deklarasi hubungan diplomatik antara sebagian negara Arab Teluk (UEA dan Bahrain) dengan Israel juga bisa dibaca sebagai keuntungan yang didapat oleh lawan dari krisis politik yang terjadi di internal negara-negara Arab Teluk mengingat hubungan itu dilakukan dalam rangka memperkuat barisan mereka (UEA dan Bahrain) dalam menghadapi ancaman Iran.
Ironisnya adalah di saat-saat musuh-musuh negara Arab Teluk diuntungkan dari krisis yang terjadi, justru Palestina sebagai saudara sebangsa (kalau masih boleh dikatakan demikian) yang selama ini kerap diperjuangkan mengalami kerugian berlipat-lipat. Bahkan, Palestina belakangan dijadikan tumbal politik nasional sebagian negara Arab Teluk, termasuk ketika mereka bekerja sama dengan musuh (Israel) untuk menghadapi musuh yang lain (khususnya Iran).
Inilah kurang lebih “kerugian-kerugian” yang membuat negara-negara Arab Teluk belakangan mencoba untuk melakukan rekonsiliasi, selain adanya dukungan bahkan desakan dari pihak luar seperti Amerika Serikat (AS). Namun demikian, hal ini tak berarti bahwa rekonsiliasi bisa langsung berjalan cepat tanpa hambatan. Karena kekayaan, kekuatan, dan kemandirian yang dimiliki negara-negara Arab Teluk bisa melahirkan egoisme politik kekuasaan yang saling memanaskan daripada mendamaikan, terutama bila egoisme politik kekuasaan yang ada terkait dengan semangat untuk menjadi negara nomor satu, tak hanya di kalangan negara-negara Arab Teluk melainkan juga di kawasan Timur Tengah secara umum.
Krisis antara Qatar dan negara-negara Arab Teluk lain selama ini, di sisi lain, juga bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari egoisme politik untuk menjadi nomor satu sebagaimana dijelaskan di atas. Pada tahap tertentu, krisis tersebut menunjukkan bahwa Qatar dan Arab Saudi sama-sama merasa sebagai “negara nomor satu” di Kawasan Arab Teluk; Arab Saudi ingin menjadi yang mengatur, sedangkan Qatar faktanya tak ingin menjadi yang diatur atau tidak ingin menjadi “negara nomor dua”. Hingga akhirnya terbentuk poros Arab Teluk di bawah komando Arab Saudi dan UEA.
Belakangan, tampaknya, Uni Emirat Arab (UEA) juga ingin menjadi negara nomor satu seperti Arab Saudi. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kebijakan UEA yang tampak lebih agresif dan “mendahului” Arab Saudi, seperti terkait hubungan diplomatik dengan Israel. Bahkan, dalam beberapa bagian, UEA berani berbeda dengan sikap Arab Saudi seperti dalam kasus perang Yaman dalam menghadapi kelompok Houthi yang dianggap kepanjangan tangan Iran. Dan, tentu saja puncaknya adalah sikap dingin UEA terkait rekonsiliasi yang terjadi antara Arab Saudi dan Qatar.