Keadilan Elektoral Pilkada 2020

Kamis, 07 Januari 2021 - 05:05 WIB
loading...
Keadilan Elektoral Pilkada...
A Ahsin Thohari (Foto: Istimewa)
A A A
A Ahsin Thohari
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta

TERSEDIANYA sistem keadilan pemilu/pilkada (electoral justice system) yang efektif adalah kunci pelaksanaan proses demokrasi elektoral yang andal, kredibel, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sistem itu berfungsi sebagai instrumen memitigasi dan mengelola persepsi kekurangan, ketidaksetaraan, dan bahkan kecurangan penyelenggaraan pemilu/pilkada dalam kerangka legal.

Tanpa sistem keadilan pemilu/pilkada yang efektif, ketidakpercayaan masyarakat atas kontestasi elektoral akan memuncak yang pada gilirannya akan menggerogoti legitimasi pemerintahan yang terbentuk. Tidak hanya tersedianya desain sistem keadilan pemilu/pilkada yang mumpuni untuk menjamin legitimasi demokrasi dan kredibilitas proses pemilu/pilkada, keberadaan lembaga-lembaga tepercaya yang menampung sekaligus menyelesaikan residu persoalan elektoral pun menjadi keniscayaan.

Fase Krusial
Dalam konteks Pilkada 2020, residu persoalan elektoral itu kini telah memasuki fase krusial, yaitu pengajuan permohonan perselisihan hasil pilkada (PHPKada) yang kali ini masih akan diperiksa dan diadili Mahkamah Konstitusi (MK). Ini akan menjadi terakhir kali bagi MK bertindak sebagai pengadil dalam perkara PHPKada. Sebab, Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengharuskan dibentuknya badan peradilan khusus yang menangani perkara PHPKada sebelum pelaksanaan pemilu serentak nasional 2024.

Sudah sepatutnya tugas terakhir MK di ranah pilkada ini dihiasi dengan darma bakti terbaik oleh sembilan hakimnya. Di masa lalu, kewenangan MK mengadili perkara PHPKada ini pernah menjadi ajang patgulipat salah seorang ketuanya yang membuat wajah MK coreng-moreng sehingga kepercayaan publik sempat berada di titik nadir sepanjang sejarah berdirinya MK. Saat ini pun, kepercayaan publik terhadap MK belum dapat dibilang tinggi. Survei Charta Politika pada Mei-Juli 2020 menunjukkan tingkat kepercayaan publik kepada MK hanya sebesar 59,4% atau di urutan ke-10, jauh di bawah TNI yang menjadi lembaga negara dengan tingkat kepercayaan publik tertinggi sebesar 87,8% atau di urutan pertama.

Selepas Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi dan KPU kabupaten kota menerbitkan keputusan mengenai penetapan perolehan suara calon terpilih dalam Pilkada 2020, MK telah kebanjiran banyak perkara PHPKada yang harus diputus dalam tenggang waktu paling lama 45 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK). Pasangan calon (paslon) kepala dan wakil kepala daerah yang merasakan ketidakadilan atas terbitnya keputusan KPU dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada MK.

Akan tetapi, tidak jarang pula paslon kepala dan wakil kepala daerah hanya coba-coba saja mengajukan permohonan untuk sekadar menunda kekalahan. Dalam Pilkada 2020 ini, tercatat 135 permohonan perkara PHPKada telah dilayangkan ke MK setelah pendaftaran ditutup pada 29 Desember 2020 untuk pilkada bupati/wali kota dan pada 30 Desember untuk pilkada gubernur. Rincian 135 permohonan tersebut adalah 114 pilkada bupati, 14 pilkada wali kota, dan 7 pilkada gubernur.

Tetap tingginya permohonan PHPKada itu seperti melawan sejarah beberapa putusan MK dalam pilkada-pilkada sebelumnya yang lebih banyak berakhir dengan kekalahan pemohon. Selama ini, proporsi probabilitas kemenangan bagi pemohon dalam perkara PHPKadadi MK dapat dikatakan kecil. Data MK menunjukkan, dari 982 perkara PHPKada, 481 di antaranya ditolak (48,98%) dan 405 tidak dapat diterima (41,24%). PerkaraPHPKada yang dikabulkan hanya menyentuh angka 37 (3,77%) dan yang dikabulkan sebagian hanya 26 (2,65%). Sisanya, perkara PHPKada yang gugur sebanyak 5 (0,51%) dan yang ditarik kembali sebanyak 28 (2,85%).

Legasi Cemerlang
Salah satu catatan yang pantas kita kemukakan soal tugas terakhir MK bertindak sebagai pengadil dalam perkara PHPKada ini adalah koinsidensinya dengan perpanjangan masa tugas hakim konstitusi hingga usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun. Bagai mendapat durian runtuh, sembilan hakim konstitusi itu akan terus menikmati kemewahan menjadi penghuni “Gedung Pilar 9” dengan durasi jabatan yang bervariasi.

Ada yang akan pensiun pada 2023 (Manahan Sitompul), 2024 (Wahiduddin Adams), 2026 (Anwar Usman dan Arief Hidayat), 2029 (Aswanto dan Suhartoyo), 2032 (Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih), dan bahkan 2034 (Daniel Yusmic Pancastaki Foekh). Ketentuan perpanjangan masa tugas hakim konstitusi itu diatur dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Undang-undang ini menganggap sembilan hakim konstitusi yang sedang menjabat saat ini telah memenuhi syarat untuk melanjutkan tugasnya tanpa melalui mekanisme seleksi kembali.

Dengan demikian, bila undang-undang itu tidak dibatalkan, pada waktu-waktu mendatang, kita akan menyaksikan fenomena “gerontokrasi yudisial” di MK. Apalagi, Pasal 15 ayat (2) undang-undang tersebut menaikkan syarat usia minimum hakim konstitusi dari paling rendah 47 tahun menjadi 55 tahun. Maksim gerontokrasi selalu mendalilkan the oldest the holder of the most power (yang tertua adalah pemegang kekuasaan terbesar).

Gerontokrasi adalah kata yang berdenotasi netral, tidak bisa dilekati sifat positif atau negatif. Akan tetapi, ia dapat berkonotasi negatif tatkala dimaksudkan sebagai instrumen untuk menutup peluang seseorang semata-mata karena faktor usia. Kita tidak menemukan argumentasi yang memadai dalam konsiderans maupun penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 soal mengapa masa tugas hakim konstitusi perlu diperpanjang.

Akan tetapi, beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sempat menyinggung alasan agar jabatan hakim konstitusi tidak dijadikan sebagai batu loncatan karier politik dan harus menjadi perhentian terakhir seseorang untuk mengabdi kepada negara. Boleh jadi alasan ini dapat menjadi justifikasi yang valid, meskipun tetap tidak bisa mengurangi purbasangka adanya kepentingan politik dari partai politik di balik disahkannya undang-undang tersebut.

Ketentuan undang-undang yang menguntungkan sembilan hakim konstitusi yang sedang menjabat itu tidak boleh mengendurkan komitmennya untuk tetap menegakkan keadilan elektoral tanpa bias oleh kepentingan politik tertentu. Seperti diketahui, partai politik di DPR yang mendukung pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 itu juga menjadi pihak yang menyokong calon kepala daerah nonperseorangan yang bertarung di Pilkada 2020. Maka, perkara PHPKada ini akan menjadi ujian integritas dan kenegarawanan sembilan hakim konstitusi.

Kita percaya, tugas terakhir MK sebagai pengadil dalam perkara PHPKada sebelum beralih ke badan peradilan khusus ini tidak berujung tergadainya keadilan elektoral Pilkada 2020. Semoga sudut pandang jernih sembilan hakim konstitusi yang telah dimanjakan dengan perpanjangan masa tugasnya oleh pembentuk undang-undang itu tidak jadi berkabut. Kita tunggu legasi cemerlang mereka berupa putusan yang memenuhi keadilan elektoral.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2248 seconds (0.1#10.140)