Jalan Syahid Tahun 2021 di Negeri Pancasila?
loading...
A
A
A
Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan S.U.
Guru Besar Emititus Universitas Muhammadiyah Surakarta; Wakil Sekjen Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005
HAMPIR seluruh aktivis gerakan Islam mengenal dengan baik semboyan “Isy kariman au mut syahidan” (hidup mulia atau mati syahid). Semboyan ini merupakan doktrin sentral beragam latihan kader gerakan. Doktrin ini lebih dipahami sebagai target Gerakan jika gagal menegakkan syariah, lebih baik mati saja secara syahid.
Dari tewasnya 6 pengawal Rizieq Shihab beberapa waktu banyak direspons publik umat sebagai syuhada atau syahid dalam berbagai sholat gaib yang dilakukan di berbagai tempat. Sikap Rizieq Shihab sepulang dari Saudi, lebih terkait dengan doktrin tersebut. Demikian pula respons public gerakan terhadap pelarangan kegiatan FPI.
Problem utamanya ialah cara pandang tentang penegakkan syariah yang lebih rigit, simbolis dan hitam putih, berberda dengan syariah profetik masa kenabian Muhammad SAW yang humanis-kultural. Lebih dari itu, atas nama demokrasi berselimut sakralitas syariah sering membuat orang yang ditokohkan terjebak pada sikap di atas hukum hanya karena hukum yang berlaku tidak secara simbolis berbasis kitab suci.
Dari sini tokoh yang diberi label ulama atau ustdaz dengan ringan menghujat penguasa atas nama demokrasi. Kiai Miftah Fauzi, ulama Tasikmalaya, misalnya, di hadapan ribuan jamaah Masjid Agung dengan lantang memberi label kasar pada penguasa atas kematian 6 pengawal Rizieq Shihab. Beberapa ustadz juga melakukan hal serupa. Namun ketika dilakukan penegakkan hukum, public dengan enteng menyebut hal itu sebagai kriminalisasi ulama, yang seolah sah melanggar hukum yang tidak berbasis syariah.
Sementara itu, sekelompok selebriti penuh semangat menebar kedermawanan, seperti yang dilakukan Baim Wong. Di saat yang sama beberapa selebriti dengan ghirah dakwah simbolis hitam putih seperti dilakukan Felix Siauw bersama gejala hijrah memperkaya aksesori simbolis jilbab, tanpa wewangian dan serba tertutup. Gaya hidup yang populer hijrah di berbagai kampus yang menandai intoleran embiro radikalisme.
Tahun 2021, dua gaya ber-Islam yang satu humanis dan filanropis, yang lain simbolis post-truth akan memawarnai dinamika sosial gerakan Islam di tengah kriris ekonomi dan sosial dampak Covid-19. Sementara gerakan Islam arus utama seperti Muhammadiyah dan NU sebagai institusi cenderung lambat merespon. Beberapa pengikutnya bahkan sering menggunakan strategi triple member. Dalam momen tampil keras seperti Kiai Miftah Fauzi, di saat lain oposisional dan anti kemapanan.
Dari sini perlunya kembali pada syariah profetik, yang dibawa Nabi Muhammad SAW, dua abad sebelum lahir ilmu-ilmu ke-Islam yang rigit tafsur ulama sejak abad ke-9. Hanya dengan pendekatan syariah profetik, negeri muslim terbesar di dunia ini bisa memberi kontribusi pemulihan krisis sosial-ekonomi akibat wabah Covid-19 sebagai jalan syahid di negeri Pancasila. Bersediakah kita mulai?
Kotagede 3 Januari 2021
Guru Besar Emititus Universitas Muhammadiyah Surakarta; Wakil Sekjen Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005
HAMPIR seluruh aktivis gerakan Islam mengenal dengan baik semboyan “Isy kariman au mut syahidan” (hidup mulia atau mati syahid). Semboyan ini merupakan doktrin sentral beragam latihan kader gerakan. Doktrin ini lebih dipahami sebagai target Gerakan jika gagal menegakkan syariah, lebih baik mati saja secara syahid.
Dari tewasnya 6 pengawal Rizieq Shihab beberapa waktu banyak direspons publik umat sebagai syuhada atau syahid dalam berbagai sholat gaib yang dilakukan di berbagai tempat. Sikap Rizieq Shihab sepulang dari Saudi, lebih terkait dengan doktrin tersebut. Demikian pula respons public gerakan terhadap pelarangan kegiatan FPI.
Problem utamanya ialah cara pandang tentang penegakkan syariah yang lebih rigit, simbolis dan hitam putih, berberda dengan syariah profetik masa kenabian Muhammad SAW yang humanis-kultural. Lebih dari itu, atas nama demokrasi berselimut sakralitas syariah sering membuat orang yang ditokohkan terjebak pada sikap di atas hukum hanya karena hukum yang berlaku tidak secara simbolis berbasis kitab suci.
Dari sini tokoh yang diberi label ulama atau ustdaz dengan ringan menghujat penguasa atas nama demokrasi. Kiai Miftah Fauzi, ulama Tasikmalaya, misalnya, di hadapan ribuan jamaah Masjid Agung dengan lantang memberi label kasar pada penguasa atas kematian 6 pengawal Rizieq Shihab. Beberapa ustadz juga melakukan hal serupa. Namun ketika dilakukan penegakkan hukum, public dengan enteng menyebut hal itu sebagai kriminalisasi ulama, yang seolah sah melanggar hukum yang tidak berbasis syariah.
Sementara itu, sekelompok selebriti penuh semangat menebar kedermawanan, seperti yang dilakukan Baim Wong. Di saat yang sama beberapa selebriti dengan ghirah dakwah simbolis hitam putih seperti dilakukan Felix Siauw bersama gejala hijrah memperkaya aksesori simbolis jilbab, tanpa wewangian dan serba tertutup. Gaya hidup yang populer hijrah di berbagai kampus yang menandai intoleran embiro radikalisme.
Tahun 2021, dua gaya ber-Islam yang satu humanis dan filanropis, yang lain simbolis post-truth akan memawarnai dinamika sosial gerakan Islam di tengah kriris ekonomi dan sosial dampak Covid-19. Sementara gerakan Islam arus utama seperti Muhammadiyah dan NU sebagai institusi cenderung lambat merespon. Beberapa pengikutnya bahkan sering menggunakan strategi triple member. Dalam momen tampil keras seperti Kiai Miftah Fauzi, di saat lain oposisional dan anti kemapanan.
Dari sini perlunya kembali pada syariah profetik, yang dibawa Nabi Muhammad SAW, dua abad sebelum lahir ilmu-ilmu ke-Islam yang rigit tafsur ulama sejak abad ke-9. Hanya dengan pendekatan syariah profetik, negeri muslim terbesar di dunia ini bisa memberi kontribusi pemulihan krisis sosial-ekonomi akibat wabah Covid-19 sebagai jalan syahid di negeri Pancasila. Bersediakah kita mulai?
Kotagede 3 Januari 2021
(cip)