Membedah Sengketa Lahan Pesantren di Megamendung antara PTPN VIII dan Habib Rizieq

Jum'at, 25 Desember 2020 - 08:08 WIB
loading...
Membedah Sengketa Lahan Pesantren di Megamendung antara PTPN VIII dan Habib Rizieq
Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab memiliki pondok pesantren bernama Pesantren Alam dan Agrokultural Markaz Syariah di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Foto/Okezone/Putra Ramadhani Astyawan
A A A
JAKARTA - Silang sengketa keabsahan penguasaan dan pemanfaatan lahan puluhan ribu hektare (ha) di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menjadi polemik baru menjelang tutup tahun 2020.

Sengketa tersebut terkait keberadaan dan berdirinya Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah Front Pembela Islam (FPI) di atas kapling seluas kurang lebih 31,91 ha yang berada di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.

Semua bermula dari surat bernomor SB/I.1/6131/XII/2020 tertanggal 18 Desember 2020 yang dilayangkan PT Perkebunan Nusantara ( PTPN) VIII (Persero). Surat berperihal somasi pertama dan terakhir ditujukan kepada Pimpinan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah. Surat somasi diteken oleh Direktur PTPN VIII Mohammad Yudayat. ( )

Surat ini ditembuskan ke beberapa pihak. Di antaranya Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Direktur Utama PTPN III (Persero), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Bareskrim Mabes Polri.

Di dalam surat somasi, secara umum, Mohammad Yudayat menyatakan bahwa adanya permasalahan penguasaan fisik tanah hak guna usaha (HGU) PTPN VIII Kebun Gunung Mas seluas kurang lebih 31,91 ha di Megamendung oleh Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah sejak 2013. Penguasaan tersebut tanpa izin dan persetujuan dari PTPN VIII.

PTPN VIII menegaskan lahan tersebut merupakan aset PTPN VIII berdasarkan Sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008. PTPN juga mengingatkan adanya ancaman pidana atas penguasaan fisik tanah HGU tersebut tanpa izin dan persetujuan dari PTPN VIII. Untuk itu, PTPN VIII memperingatkan agar Pimpinan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah menyerahkan tanah tersebut atau dikosongkan paling lambat tujuh hari terhitung sejak surat diterima.

Masalah lahan ini rupanya ditanggapi oleh pendiri Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah sekaligus Imam Besar FPI Habib Muhammad Rizieq Shihab (HRS). Video pernyataan HRS diunggah oleh akun YouTube FPI, FRONT TV, Rabu (23/12/2020). Jika disarikan pernyataan HRS, maka mencakup, satu, Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah diganggu, diusir, dan digusur oleh pengganggu dengan cara menyebar fitnah bahwa pondok pesantren menyerobot tanah milik negara. ( esantren Agrokultural Markaz Syariah Bogor, Ponpes Milik Habib Rizieq yang Selalu Dijaga Ketat )

Dua, HRS mengakui tanah pondok pesantren benar sertifikat HGU-nya atas nama PTPN. Tapi tanah ini sudah 30 tahun lebih digarap oleh masyarakat dan tidak pernah lagi ditangani oleh PTPN. Tiga, berdasarkan UU Agraria, menurut HRS, jika selama 20 tahun sebuah lahan kosong atau ditelantarkan kemudian digarap oleh masyarakat, maka masyarakat berhak membuat sertifikat.

Empat, masih berdasarkan UU Agraria, sebut HRS, sertifikat HGU atas lahan tidak bisa diperpanjang atau akan dibatalkan jika lahan ditelantarkan oleh pemilik HGU atau pemilik HGU tidak menguasai secara fisik lahan tersebut.

"Itu UU, saudara. Tanah ini HGU PTPN, tapi selama 30 tahun PTPN tidak menguasai secara fisik, saudara. Selama 30 tahun tanah ini ditelantarkan, tidak lagi berkebun di sini. Jadi HGU-nya seharusnya batal," ujar HRS.

Berdasarkan pernyataan Sekretaris Bantuan Hukum FPI sekaligus kuasa hukum HRS dan kuasa hukum FPI, Aziz Yanuar, surat somasi dari PTPN VIII telah diterima pihaknya pada Selasa (22/12/2020). Jika mengukur tenggang waktu 7 hari sejak surat somasi PTPN VIII diterima, maka paling lambat tanah atau lokasi pondok pesantren harus dikosongkan atau diserahkan ke PTPN VIII adalah Selasa (29/12/2020).



Atas klaim PTPN VIII dan HRS, SINDOnews tidak ingin langsung menyimpulkan siapa pihak yang benar dan sah atas hak lahan seluas kurang lebih 31,91 ha tersebut. Keberadaan dan keabsahan kami soroti melalui ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lebih khusus, secara berurutan berdasarkan tahun, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria); Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak atas Tanah; dan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentangPengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU.

Beleid hak guna usaha (HGU) dalam UU Agraria diatur secara rigit pada Bagian IV yang terdiri atas tujuh pasal, mulai dari Pasal 28 hingga Pasal 34.

Pasal 28 berisi tiga ayat yang menjelaskan definisi HGU, luas tanah HGU, dan pengalihan HGU. Ayat (1) tertuang bahwa HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

Ayat (2) tertera bahwa HGU diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektare (ha) hingga 25 ha atau lebih. Untuk HGU seluas 25 ha atau lebih, maka berlaku ketentuan harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.

"Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain," bunyi Pasal 28 ayat (3).

Pasal 29 yang terdiri dari tiga pasal mengatur bahwa HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Tapi untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama, maka dapat diberikan HGU paling lama 35 tahun. Di sisi lain, atas permintaan pemegang HGU dan mengingat keadaan perusahaannya, maka HGU dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun.

Siapa subjek yang bisa memiliki HGU? Klausalnya tercatat pada Pasal 30. Masing-masing yakni warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (ayat (1)). Bagi orang atau badan hukum yang mempunyai HGU dan tidak lagi memenuhi persyaratan seperti dalam ayat (1), maka dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh HGU jika ia tidak memenuhi syarat tersebut.

Jika HGU tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu satu tahun, maka hak itu hapus karena hukum. Dengan ketentuan, hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. "Hak guna-usaha terjadi karena penetapan Pemerintah," bunyi Pasal 31.

Untuk pendaftaran HGU, diamanahkan dalam Pasal 32 yang terdiri atas dua ayat. Pasal a quo secara utuh berbunyi:

Pasal 32
(1) Hak guna-usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.

(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Merujuk pada Pasal 19, terdiri atas empat ayat, pendaftaran di seluruh wilayah Republik Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Untuk pendaftaran meliputi tiga hal yaitu pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah,pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak, dan pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Pendaftaran tanah dilakukan dengan mengingat keadaan negara, masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi, dan kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. Biaya-biaya pendaftaran tanah diatur dalam PP, dengan ketentuan bagi rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Sedangkan Pasal 34 huruf e hingga g mengamanahkan bahwa HGU hapus atau lenyap karena tujuh kondisi. Diktum lengkap pasal a quo yaitu:

Pasal 34.
Hak guna-usaha hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).

Menyitir pernyataan HRS sebelumnya di atas bahwa tanah HGU milik PTPN VIII ditelantarkan selama sekitar 30 tahun. Apakah secara otomatis menjadi milik (masyarakat) penggarap?

Dalam memori penjelasan UU Agraria, diktum Pasal 34 termasuk huruf e (diterlantarkan) tidak ada penjelasannya. Dalam memori penjelasan UU a quo tercatat bahwa "Pasal 31 s/d 34. Tidak memerlukan penjelasan."

Untuk membandingkan kata "diterlantarkan" Pasal 34 huruf a, maka kami menggunakan ketentuan Pasal 27 UU yang sama. Pasal ini hakikatnya mengatur tentang terhapusnya hak milik tanah. Hak milik lenyap jika dalam dua kondisi yaitu tanahnya jatuh kepada negara (huruf a) dan tanahnya musnah (huruf b). Hak milik lenyap karena tanah jatuh kepada negara karena empat keadaan. Satu di antaranya "karena diterlantarkan".

Pada penjelasan Pasal 27 disebutkan bahwa "Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya."

Berikutnya SINDOnews menghadirkan PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak atas Tanah. Klausul HGU termuat pada BAB II "Pemberian Hak Guna Usaha" yang terdiri atas 17 pasal, mulai dari Pasal 2 hingga Pasal 18.

Secara umum, subjek yang bisa memiliki HGU, pelepasan atau pengalihan hak, tanah yang diberi HGU adalah milik negara, luas minimum dan maksimum tanah HGU, jangka waktu, perpanjangan atau pembaharuan HGU, hingga HGU hapus hampir serupa dengan ketentuan yang ada dalam UU Agraria. Tetapi, dalam PP diuraikan dengan lebih detil.

Untuk luas minimum tanah HGU untuk perorangan warga Indonesia maupun badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia adalah 5 ha. Maksimum untuk perorangan 25 ha. Sedangkan untuk badan hukum ditetapkan oleh Menteri. Penetapan tersebut memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan dan dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling berdayaguna di bidang yang bersangkutan.

Berikutnya, HGU diberikan dengan keputusan pemberian oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemberian HGU wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan dan HGU terjadi sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan dalam buku tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepada pemegang HGU kemudian diberikan sertifikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak.

Bagi pemegang HGU, terdapat kewajiban dan hak seperti diamanahkan dalam Pasal 12 hingga Pasal 15. Pemegang HGU berkewajiban untuk melakukan delapan hal sebagaimana Pasal 12 ayat (1). Di antaranya yakni satu, membayar uang pemasukan kepada negara. Dua, melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya.

Tiga, mengusahan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkanoleh instansi teknis. Empat, membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal HGU.

Lima, memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam, dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Enam, menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan HGU.

Di sini lain, pemegang HGU dilarang menyerahkan pengusahaan tanah HGU kepada pihak lain. Kecuali, dalam hal-haldiperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk hak pemegang HGU, disarikan sebagai berikut. Di antaranya satu, berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan HGU untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan. Dua, penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah yang diberikan dengan HGU. Tiga, pengunaan dan penguasaan pada poin dua hanya bisa dilakukan untuk mendukung usaha, dengan mengingat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitarnya.

Diktum hapusnya HGU perorangan atau badan hukum tertulis pada Pasal 17 terdiri atas tiga ayat dan Pasal 18 terdiri atas empat ayat.

Pasal 17 ayat (1) menyebutkan bahwa HGU hapus karena tujuh kondisi. Satu, berakhirnya jangka waktu sebagai ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya (huruf a). Dua, dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena dua (huruf b). Masing-masing yaitu tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14, serta putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Tiga, dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir (huruf c). Empat, dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1991 (huruf d). Lima, ditelantarkan (huruf e). Enam, tanahnya musnah (huruf f). Tujuh, ketentuan Pasal 3 ayat (2) (huruf g).

"Hapusnya Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara," bunyi Pasal 17 ayat (2) PP Nomor 40 Tahun 1996.

Subjek dan jangka waktu HGU juga diatur dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentangPengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU, Pasal 2 dan Pasal 3. Sedangkan penggunaan tanah HGU serta penggunaan dan penguasaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas HGU tertera di antaranya pada Pasal 12 hingga Pasal 15. Untuk ketentuan harusnya HGU tercatat di antaranya pada Pasal 53 dan 54. Saat terhapusnya HGU, maka tanahnya menjadi tanah negara.

Lantas bagaimana jika sertifikat HGU atas tanah telah terbit tetapi ada pihak lain yang merasa memiliki hak ingin menguasai tanah tersebut? Pasal 30 Peraturan a quo memberikan jawabannya.

Pasal 30
Dalam hal Hak Guna Usaha telah diterbitkan sertipikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan secara nyata dikuasai pemegang haknya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 10 (sepuluh) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Lebih dari itu, Peraturan ini juga merumuskan tentang pemantauan dan evaluasi sebagaimana pada Pasal 56. Pemantauan dan evaluasi terhadap penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah HGU dilakukan oleh Kementerian berdasarkan laporan dari pemegang HGU, pengaduan masyarakat atau hasil pemantauan di lapangan. Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berkala terhitung 1 tahun sejak diterbitkannya sertifikat HGU.

Bukankah HRS atau Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah atau FPI adalah masyarakat atau unsur masyarakat?
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1584 seconds (0.1#10.140)