Kompetensi 6 Menteri Baru Jokowi Oke, Moral dan Integritas Perlu Diuji

Rabu, 23 Desember 2020 - 07:05 WIB
loading...
Kompetensi 6 Menteri Baru Jokowi Oke, Moral dan Integritas Perlu Diuji
Meskipun kompetensinya diakui, enam menteri baru Jokowi perlu diuji lagi dalam aspek moralitas dan integritas. Foto/dok.setpres
A A A
JAKARTA - Presiden Jokowi akhirnya melakukan reshuffle kabinet yang pertama di periode kedua pemerintahannya. Enam menteri baru yang hari ini akan dilantik adalah Tri Rismaharini (Menteri Sosial), Sandiaga Salahuddin Uno (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), Budi Gunadi Sadikin (Menteri Kesehatan), Yaqut Cholil Qoumas (Menteri Agama), Wahyu Sakti Trenggono (Menteri Kelautan dan Perikanan) dan M Lutfi (Menteri Perdagangan).

Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai tidak banyak yang meragukan kemampuan keenam menteri baru itu jika dilihat dari aspek kompetensi. Namun menurutnya, aspek yang juga tak kalah penting adalah integritas dan moralitas.

“Tidak ada persyaratan khusus soal latar belakang profesi untuk menjadi menteri, sejauh memiliki integritas, moralitas, kapabilitas dan kompetensi serta memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan,” jelas Karyono melalui pernyataan tertulisnya kepada SINDOnews, Selasa (22/12/2020).

(Baca: Enam Menteri Baru Dilantik Jokowi Hari Ini, Undangan Dibatasi)

Tiga figur menteri yaitu M Lutfi, Sandiaga Uno dan Wahyu Sakti Trenggono dikenal sebagai pengusaha besar yang sukses dalam menjalankan bisnis. Ketiga figur menteri baru tersebut memiliki kesamaan latar belakang sebagai pengusaha dan sama-sama memiliki pengalaman di pemerintahan.

Berikutnya adalah Tri Rismaharini. Rekam jejak Wali Kota Surabaya dua periode itu telah dikenal publik sebagai figur pemimpin yang tegas, berani dan cukup prestasi. Pelbagai terobosan kebijakan mampu membawa kemajuan Kota Surabaya.

Karyono menganggap tidak aneh jika sosok Risma dipercaya menjadi Menteri Sosial menggantikan Juliari Batubara. Justru dengan menunjuk Risma, sedikitnya dapat memulihkan citra negatif pemerintah dan juga PDI Perjuangan akibat kasus korupsi yang menjerat kadernya.

“Setidaknya, diangkatnya Risma dapat menimbulkan kepercayaan publik yang sempat menurun. Banyak yang berharap figur Risma tidak sekadar memperbaiki kinerja Kemensos, tapi juga membersihkan korupsi di kementerian tersebut,” ujarnya.

(Baca: Enam Menteri Baru Siap Tancap Gas)

Berikutnya yaitu pergantian Menteri Agama dari Fachrul Razi ke tangan Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas dari unsur Nahdlatul Ulama (NU). Pergantian posisi menteri agama ini akhirnya dikembalikan ke pakem lama dimana posisi menteri agama seolah menjadi kavling milik NU.

Karyono menduga eksperimen politik Jokowi yang menempatkan Fachrul Razi belum memuaskan. Meski Fachrul berpengalaman sebagai mantan perwira tinggi militer, hasilnya kurang maksimal, tidak sesuai harapan dalam memberantas radikalisme/ekstrimisme beragama yang kian menguat.

“Mungkin itu yang menjadi pertimbangan mengganti dengan Yaqut. Selain memperbaiki kinerja di Kementerian Agama, sosok Yaqut diharapkan lebih berani dan tegas dalam membersih anasir radikalisme/ekstrimisme baik di internal kementerian maupun eksternal,” terangnya.

(Baca: Kata Ekonom Senior Tentang 6 Menteri Baru Jokowi)

Namun di antara keenam nama tersebut, sosok Budi Gunadi Sadikin menjadi di luar mainstream selama ini. Ia menggantikan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Padahal, Budi Gunadi bukan berlatar belakang dokter, tetapi lulusan teknik Fisika Nuklir dari ITB dan dikenal sebagai seorang profesional yang memiliki banyak pengalaman di bidang bisnis dan perbankan.

“Keputusan Presiden Jokowi ini justru menarik. Dugaan saya, hal ini berkaitan dengan skema penanganan masalah pandemi Covid-19 yang memerlukan langkah cepat dan tepat. Ini merupakan langkah extra ordinary yang memang dibutuhkan ketika menghadapi kondisi yang luar biasa seperti sekarang ini,” kata dia.

(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)

Karyono pun mengaitkan reshuffle dengan paradigma kekuasaan. Menurutnya, kekuasaan semestinya menjadi instrumen untuk mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD Negara RI 1945 sebagai visi besar menuju Indonesia yang dicita-citakan.

Karena itu, ia menilai paradigma kekuasaan harus kembali ke khitah agar tujuan pembangunan dapat tercapai dan tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Kabinet pemerintahan yang berisikan orang-orang dari pelbagai latar belakang harus memiliki paradigma dan platform yang sama dalam memajukan Indonesia.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1693 seconds (0.1#10.140)