Inilah Sejarah Kelam Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Tangan Malaysia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyinggung kembali soal lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia ke pangkuan Malaysia.
Mahfud menyebut permasalahan Pulau Sipadan dan Ligitan sama sekali tak ada kaitannya dengan pertahanan negara. Mahfud menjelaskan, permasalahan lepasnya dua pulau yang berada di Selat Makassar tersebut sebatas sejarah dan yuridis. "Kadang kala kita selalu mengeluh, Indonesia ini tidak mampu menjaga kedaulatan, kita sampai kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Saya kira kehilangan Sipadan-Ligitan itu soal historik saja, soal yuridis, bukan soal pertahanan," kata Mahfud, Selasa (15/12/2020). (Baca juga: Mahfud MD Sebut RI Dapat Pulau Baru 2.000 kali Luas Sipadan-Ligitan, Ini Datanya)
Diketahui, sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas kepemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan Pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN, namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional. (Baca juga: Sipadan-Ligitan Lepas, Mahfud MD Sebut Indonesia Dapat Pulau Baru di Dekat Aceh)
Dikutip dari Wikipedia, Rabu (16/12/2020), persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia mencuat pada 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo, akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Namun Malaysia malah membangun resort di sana.
Pemerintah Indonesia yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada 1969, pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya. (Baca juga: Pulau Komodo Akan Jadi Kelas Premium, Luhut: Mau ke Sana Harus Bayar Mahal)
Pada 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di Pulau Bali ini antara lain menyebutkan akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN, tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina, serta sengketa kepulauan Spratley di Laut China Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, China, dan Taiwan.
Pihak Malaysia pada 1991 lalu menempatkan pasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Pada 1998, masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ. Selanjutnya pada Selasa, 17 Desember 2002, ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
Kemenangan Malaysia karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.
Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di Selat Makassar.
Mahfud menyebut permasalahan Pulau Sipadan dan Ligitan sama sekali tak ada kaitannya dengan pertahanan negara. Mahfud menjelaskan, permasalahan lepasnya dua pulau yang berada di Selat Makassar tersebut sebatas sejarah dan yuridis. "Kadang kala kita selalu mengeluh, Indonesia ini tidak mampu menjaga kedaulatan, kita sampai kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Saya kira kehilangan Sipadan-Ligitan itu soal historik saja, soal yuridis, bukan soal pertahanan," kata Mahfud, Selasa (15/12/2020). (Baca juga: Mahfud MD Sebut RI Dapat Pulau Baru 2.000 kali Luas Sipadan-Ligitan, Ini Datanya)
Diketahui, sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas kepemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan Pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN, namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional. (Baca juga: Sipadan-Ligitan Lepas, Mahfud MD Sebut Indonesia Dapat Pulau Baru di Dekat Aceh)
Dikutip dari Wikipedia, Rabu (16/12/2020), persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia mencuat pada 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo, akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Namun Malaysia malah membangun resort di sana.
Pemerintah Indonesia yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada 1969, pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya. (Baca juga: Pulau Komodo Akan Jadi Kelas Premium, Luhut: Mau ke Sana Harus Bayar Mahal)
Pada 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di Pulau Bali ini antara lain menyebutkan akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN, tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina, serta sengketa kepulauan Spratley di Laut China Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, China, dan Taiwan.
Pihak Malaysia pada 1991 lalu menempatkan pasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Pada 1998, masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ. Selanjutnya pada Selasa, 17 Desember 2002, ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
Kemenangan Malaysia karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.
Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di Selat Makassar.
(cip)