Gus Dur dalam Kenangan Kang Sobary
loading...
A
A
A
Kepergian Gus Dur memang meninggalkan banyak kesan bagi sahabat dan pengagumnya 11 tahun silam. Puluhan judul buku tentang cucu pendiri NU itu pun tumbuh bak cendawan di musim hujan. Ragam tulisannya pun beragam. Dari kesaksian atas sepak terjang Gus Dur hingga penafsiran atas berbagai ide, langkah, dan gagasan mantan Ketua Umum PBNU itu di ranah sosial, politik, budaya, dan humor. Tulisan-tulisan lama Gus Dur di berbagai media baik jurnal, koran, majalah, pun diterbitkan kembali. (Baca Juga : Kangen Humor Gus Dur)
Sudut pandang (angle) yang dipilih para penulis buku-buku Gus Dur umumnya senada. Rata-rata pengarang buku-buku itu menunjukkan kekaguman dan rasa hormat mendalam kepada sosok putra menteri agama pertama RI tersebut. Kondisi ini wajar mengingat sebagian besar penulis buku-buku tentang Gus Dur berasal dari kalangan nahdliyin. Fokus pembahasan umumnya mencoba menafsirkan ide, pemikiran, dan langkah Gus Dur. Sedangkan gaya tulisan sebagian besar mengunakan gaya penulisan artikel ilmiah yang cenderung kaku. Disusun berdasarkan ide-ide besar Gus Dur baik terkait pluralisme, NU, PKB, dan beberapa ide kebangsaan sang kiai presiden.
Mohamad Sobary dalam buku Jejak Guru Bangsa menawarkan hal berbeda. Salah satu sobat karib Gus Dur ini tidak mencoba menganalisa atau menafsirkan langkah dan pemikiran ketua dewan syura PKB tersebut. Pria yang akrab disapa Kang Sobary itu hanya mencoba mengajak pembaca untuk menyaksikan babakan penting dalam hidup Gus Dur. Gaya penulisannya pun lebih mirip dengan novel. Di sana ada dialog baik antara Gus Dur dengan guru-gurunya maupun dialog antara Kang Sobary sendiri dengan sang guru bangsa tersebut.
Dalam prolog-nya, mantan Ketua LKBN Antara itu menegaskan jika dirinya tidak bermaksud untuk menjadi penafsir pemikir dan langkah Gus Dur. Dia takut, jika penafsiran tersebut malah mempersempit atau memperlebar ide atau langkah Gus Dur sendiri. Peneliti LIPI itu hanya ingin mengajak pembaca ikut “berjalan” di belakang Gus Dur dan bersama-sama menjadi saksi atas titik-titik penting dalam hidup pria kelahiran Denanyar, Jombang itu. Titik-titik penting yang menjadi latar kehidupan Gus Dur. Latar yang mungkin menjadi penjelas sepak terjang Gus Dur yang dianggap nyeleneh.
Kendati berusaha seminimal mungkin menjaga agar tidak melakukan tafsir atas Gus Dur, Kang Sobary sendiri pun mengaku, jika karyanya tidak bisa lepas dari potensi “bias”. Pemilihan peristiwa atau kejadian penting dalam kehidupan Gus Dur yang menjadi titik tolak pembahasan tiap bab, bisa jadi merupakan subyektifitas dari aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut. Secara umum Kang Sobary memilah babakan hidup penting Gus Dur ke dalam beberapa bagian. Pertama saat Gus Dur mondok di Krapyak Jogjakarta, dan Tegalrejo Magelang. Kemudian saat Gus Dur aktif di dunia LSM. Lalu saat Gus Dur menjadi ketua umum PBNU, dan seputar pengangkatan Gus Dur menjadi Presiden RI.
Lika-liku Gus Dur saat menghadapi tindakan represif rezim orde baru serta kemampuan suami Sinta Nuriyah itu mengkapitalisasi fanatisme dan budaya nahdliyin menjadi langkah-langkah operasional dalam politik, menjadi titik sorot tersendiri bagi Kang Sobary. Sebagai pedoman dalam menyaksikan “pergulatan hidup” sang guru bangsa, Kang Sobary mendefinisikan Gus Dur sebagai “si luka hati” dan “pejuang kemanusiaan”. Sebagai seorang remaja yang kehilangan ayah di usia muda, menjadikan Gus Dur sebagai sosok pemberontak. Fase ini menjadikan Gus Dur sebagai seorang yang sensitif, reliable, dan suka nabrak-nabrak. Namun sebagai pejuang kemanusiaan, Gus Dur merupakan seorang yang tulus, tanpa pamrih, dan selalu riang dengan berbagai joke segar. Fase-fase ini dalam pandangan Kang Sobary silih berganti menjadi warna dasar kehidupan Gus Dur.
Keunggulan buku ini terletak pada subyektifitas Kang Sobary yang terkesan “objektif”. Penulis produktif ini menampilkan Gus Dur sebagai seorang manusia biasa. Manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan. Kader Muhammadiyah ini pun mengkritisi sikap “keras kepala” Gus Dur saat berhadap-hadapan dengan anggota DPR/MPR yang ngotot melengserkan-nya. Dalam sub bab politik andaikata Kang Sobary mengandaikan jika saja Gus Dur dengan “halus” menghadapi kekerasan dari anggota dewan, mungkin cerita kepresidenan mantan ketua Forum Demokrasi itu akan lain. Terlepas dari itu semua, Kang Sobary menilai kehilangan Gus Dur merupakan kehilangan besar. Tidak hanya bagi warga NU atau Indonesia, tapi juga bagi kemanusiaan. Sebuah buku yang layak dibaca dan dikoleksi tentunya.
Sudut pandang (angle) yang dipilih para penulis buku-buku Gus Dur umumnya senada. Rata-rata pengarang buku-buku itu menunjukkan kekaguman dan rasa hormat mendalam kepada sosok putra menteri agama pertama RI tersebut. Kondisi ini wajar mengingat sebagian besar penulis buku-buku tentang Gus Dur berasal dari kalangan nahdliyin. Fokus pembahasan umumnya mencoba menafsirkan ide, pemikiran, dan langkah Gus Dur. Sedangkan gaya tulisan sebagian besar mengunakan gaya penulisan artikel ilmiah yang cenderung kaku. Disusun berdasarkan ide-ide besar Gus Dur baik terkait pluralisme, NU, PKB, dan beberapa ide kebangsaan sang kiai presiden.
Mohamad Sobary dalam buku Jejak Guru Bangsa menawarkan hal berbeda. Salah satu sobat karib Gus Dur ini tidak mencoba menganalisa atau menafsirkan langkah dan pemikiran ketua dewan syura PKB tersebut. Pria yang akrab disapa Kang Sobary itu hanya mencoba mengajak pembaca untuk menyaksikan babakan penting dalam hidup Gus Dur. Gaya penulisannya pun lebih mirip dengan novel. Di sana ada dialog baik antara Gus Dur dengan guru-gurunya maupun dialog antara Kang Sobary sendiri dengan sang guru bangsa tersebut.
Dalam prolog-nya, mantan Ketua LKBN Antara itu menegaskan jika dirinya tidak bermaksud untuk menjadi penafsir pemikir dan langkah Gus Dur. Dia takut, jika penafsiran tersebut malah mempersempit atau memperlebar ide atau langkah Gus Dur sendiri. Peneliti LIPI itu hanya ingin mengajak pembaca ikut “berjalan” di belakang Gus Dur dan bersama-sama menjadi saksi atas titik-titik penting dalam hidup pria kelahiran Denanyar, Jombang itu. Titik-titik penting yang menjadi latar kehidupan Gus Dur. Latar yang mungkin menjadi penjelas sepak terjang Gus Dur yang dianggap nyeleneh.
Kendati berusaha seminimal mungkin menjaga agar tidak melakukan tafsir atas Gus Dur, Kang Sobary sendiri pun mengaku, jika karyanya tidak bisa lepas dari potensi “bias”. Pemilihan peristiwa atau kejadian penting dalam kehidupan Gus Dur yang menjadi titik tolak pembahasan tiap bab, bisa jadi merupakan subyektifitas dari aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut. Secara umum Kang Sobary memilah babakan hidup penting Gus Dur ke dalam beberapa bagian. Pertama saat Gus Dur mondok di Krapyak Jogjakarta, dan Tegalrejo Magelang. Kemudian saat Gus Dur aktif di dunia LSM. Lalu saat Gus Dur menjadi ketua umum PBNU, dan seputar pengangkatan Gus Dur menjadi Presiden RI.
Lika-liku Gus Dur saat menghadapi tindakan represif rezim orde baru serta kemampuan suami Sinta Nuriyah itu mengkapitalisasi fanatisme dan budaya nahdliyin menjadi langkah-langkah operasional dalam politik, menjadi titik sorot tersendiri bagi Kang Sobary. Sebagai pedoman dalam menyaksikan “pergulatan hidup” sang guru bangsa, Kang Sobary mendefinisikan Gus Dur sebagai “si luka hati” dan “pejuang kemanusiaan”. Sebagai seorang remaja yang kehilangan ayah di usia muda, menjadikan Gus Dur sebagai sosok pemberontak. Fase ini menjadikan Gus Dur sebagai seorang yang sensitif, reliable, dan suka nabrak-nabrak. Namun sebagai pejuang kemanusiaan, Gus Dur merupakan seorang yang tulus, tanpa pamrih, dan selalu riang dengan berbagai joke segar. Fase-fase ini dalam pandangan Kang Sobary silih berganti menjadi warna dasar kehidupan Gus Dur.
Keunggulan buku ini terletak pada subyektifitas Kang Sobary yang terkesan “objektif”. Penulis produktif ini menampilkan Gus Dur sebagai seorang manusia biasa. Manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan. Kader Muhammadiyah ini pun mengkritisi sikap “keras kepala” Gus Dur saat berhadap-hadapan dengan anggota DPR/MPR yang ngotot melengserkan-nya. Dalam sub bab politik andaikata Kang Sobary mengandaikan jika saja Gus Dur dengan “halus” menghadapi kekerasan dari anggota dewan, mungkin cerita kepresidenan mantan ketua Forum Demokrasi itu akan lain. Terlepas dari itu semua, Kang Sobary menilai kehilangan Gus Dur merupakan kehilangan besar. Tidak hanya bagi warga NU atau Indonesia, tapi juga bagi kemanusiaan. Sebuah buku yang layak dibaca dan dikoleksi tentunya.
(war)