Kangen Humor Gus Dur
loading...
A
A
A
Bulan Desember selalu menjadi bulan syahdu. Tak hanya karena hujannya yang bikin suasana muram, tapi di bulan inilah Presiden ke-4 RI KH Abdurahaman Wahid (Gus Dur) berpulang. Sosok kosmopolit yang lahir dari dunia pesantren. Sosok yang dikenal dengan kencendikiawanannya, kecerdasannya, dan humor-humor segarnya.
Di era post truth (pasca kebenaran) humor rasanya menjadi kebutuhan pokok. Humor akan memberikan ruang bagi akal sehat untuk terus membangun optimisme yang kini terancam dengan membanjirnya ujaran pesimisme, ketakutan, dan rasa permusuhan. Pun dalam suasana bernegara akhir-akhir ini di mana ketegangan-ketegangan yang dipicu pandemic Covid-19, kian terbatasnya kebebasan berekspresi, hingga kian menguatnya dominasi aparat hukum, rasanya humor-humor segar nan cerdas sangat kita butuhkan untuk meningkatkan imunitas tubuh dan kewarasan pikir.
Era post truth saat ini memang menjadi gejala baru di berbagai belahan dunia. Fenomena Brexit hingga munculnya sayap ultra nasioanlis di berbagai Negara Eropa menjadi bukti nyata betapa era tersebut menuai kejayaannya. Di era post truth ini kebenaran yang berlaku bukanlah kebenaran objektif melainkan kebenaran emosional. Data dan realitas tak lagi menjadi yang utama selama hal itu tidak disuarakan oleh kelompok atau individu dari golongan sendiri. Bahkan kebohongan bisa jadi sebagai “kebenaran” saat diulang-ulang oleh para kelompok pendenggung (buzzer) kelompok-kelompok tertentu di berbagai media sosial. (Baca Juga : Sebut Gus Dur Buta, Ustaz Maaher Pernah Dilaporkan ke Polda Jatim)
Kondisi ini tentu berbahaya bagi harmonisasi kehidupan nusantara. Betapa tidak dengan ragam suku, agama, bahasa, hingga adat-istiadat, Indonesia bagaikan sekam yang mudah terbakar saat kebenaran emosional memegang peranan. Individu atau kelompok dengan mudah memainkan emosi massa demi kepentingan tertentu. Mereka dengan basis data individu yang mudah diperoleh dan dibeli, dengan cermat menyemburkan kebohongan dan narasi kebencian untuk diterima objek sasaran yang ditentukan sebelumnya. Basis data itu mengambarkan kesukaan, kecenderungan ideology, hingga lingkaran pertemanan objek sasaran. Dengan demikian objek sasaran dengan mudah menerima narasi-narasi kebencian karena sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan individual mereka.
Di sinilah signifikansi humor dibutuhkan. Humor yang dalam satu pengertian didefinisikan sebagai sikap untuk membangkitkan tawa atau rasa gembira berpotensi menjadi antitesa atas berbagai semburan kebohongan yang bertujuan memunculkan ketakutan dan rasa pesimisme. Di masa lalu, humor merupakan salah satu medium penting dalam upaya penyebaran nilai-nilai Islam di kalangan masyarakat. Di setiap dakwah, para mubaligh selalu menyelipkan humor untuk menyampaikan pesan-pesan penting dalam Islam. Tradisi humor ini ditransfer dengan indah oleh Gus Dur dalam kehidupan politik Indonesia. Di tengah berbagai represi orde baru maupun saat liberalisasi demokrasi pascareformasi Gus Dur mampu “menyepelekannya” dengan berbagai ungkapan humor cerdas.
Pasca Gus Dur rasanya belum ada tokoh bangsa yang mampu mencairkan suasana tegang kehidupan bernegara dengan humor-humor cerdas. Akibatnya masalah yang sebenarnya sepele menjadi runyam karena didekati dengan pandangan kecurigaan atau pendekatan hukum yang tidak pada tempatnya. Kini di bulan Desember yang ditahbiskan sebagai Bulan Gus Dur, saatnya kita mengenang kecendekiwanan, kenegarawanan, hingga humor-humor cucu pendiri Nadhlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari’e itu tersebut. Sembari bergumam dalam hati, jika masalah-masalah yang kita hadapi seberat apapun itu toh pada akhirnya selesai juga pada waktunya. Maka tak usahlah sedih dan berputus asa karena tidak ada kesulitan yang abadi. Gitu Aja Kok Repot….
Di era post truth (pasca kebenaran) humor rasanya menjadi kebutuhan pokok. Humor akan memberikan ruang bagi akal sehat untuk terus membangun optimisme yang kini terancam dengan membanjirnya ujaran pesimisme, ketakutan, dan rasa permusuhan. Pun dalam suasana bernegara akhir-akhir ini di mana ketegangan-ketegangan yang dipicu pandemic Covid-19, kian terbatasnya kebebasan berekspresi, hingga kian menguatnya dominasi aparat hukum, rasanya humor-humor segar nan cerdas sangat kita butuhkan untuk meningkatkan imunitas tubuh dan kewarasan pikir.
Era post truth saat ini memang menjadi gejala baru di berbagai belahan dunia. Fenomena Brexit hingga munculnya sayap ultra nasioanlis di berbagai Negara Eropa menjadi bukti nyata betapa era tersebut menuai kejayaannya. Di era post truth ini kebenaran yang berlaku bukanlah kebenaran objektif melainkan kebenaran emosional. Data dan realitas tak lagi menjadi yang utama selama hal itu tidak disuarakan oleh kelompok atau individu dari golongan sendiri. Bahkan kebohongan bisa jadi sebagai “kebenaran” saat diulang-ulang oleh para kelompok pendenggung (buzzer) kelompok-kelompok tertentu di berbagai media sosial. (Baca Juga : Sebut Gus Dur Buta, Ustaz Maaher Pernah Dilaporkan ke Polda Jatim)
Kondisi ini tentu berbahaya bagi harmonisasi kehidupan nusantara. Betapa tidak dengan ragam suku, agama, bahasa, hingga adat-istiadat, Indonesia bagaikan sekam yang mudah terbakar saat kebenaran emosional memegang peranan. Individu atau kelompok dengan mudah memainkan emosi massa demi kepentingan tertentu. Mereka dengan basis data individu yang mudah diperoleh dan dibeli, dengan cermat menyemburkan kebohongan dan narasi kebencian untuk diterima objek sasaran yang ditentukan sebelumnya. Basis data itu mengambarkan kesukaan, kecenderungan ideology, hingga lingkaran pertemanan objek sasaran. Dengan demikian objek sasaran dengan mudah menerima narasi-narasi kebencian karena sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan individual mereka.
Di sinilah signifikansi humor dibutuhkan. Humor yang dalam satu pengertian didefinisikan sebagai sikap untuk membangkitkan tawa atau rasa gembira berpotensi menjadi antitesa atas berbagai semburan kebohongan yang bertujuan memunculkan ketakutan dan rasa pesimisme. Di masa lalu, humor merupakan salah satu medium penting dalam upaya penyebaran nilai-nilai Islam di kalangan masyarakat. Di setiap dakwah, para mubaligh selalu menyelipkan humor untuk menyampaikan pesan-pesan penting dalam Islam. Tradisi humor ini ditransfer dengan indah oleh Gus Dur dalam kehidupan politik Indonesia. Di tengah berbagai represi orde baru maupun saat liberalisasi demokrasi pascareformasi Gus Dur mampu “menyepelekannya” dengan berbagai ungkapan humor cerdas.
Pasca Gus Dur rasanya belum ada tokoh bangsa yang mampu mencairkan suasana tegang kehidupan bernegara dengan humor-humor cerdas. Akibatnya masalah yang sebenarnya sepele menjadi runyam karena didekati dengan pandangan kecurigaan atau pendekatan hukum yang tidak pada tempatnya. Kini di bulan Desember yang ditahbiskan sebagai Bulan Gus Dur, saatnya kita mengenang kecendekiwanan, kenegarawanan, hingga humor-humor cucu pendiri Nadhlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari’e itu tersebut. Sembari bergumam dalam hati, jika masalah-masalah yang kita hadapi seberat apapun itu toh pada akhirnya selesai juga pada waktunya. Maka tak usahlah sedih dan berputus asa karena tidak ada kesulitan yang abadi. Gitu Aja Kok Repot….
(war)