Akademisi: UU Cipta Kerja Miliki Semangat Sejahterakan Rakyat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Djaka Badrayana menilai kehadiran Undang-Undang (UU) no. 11/2020 tentang Cipta Kerja memilik semangat untuk mensejahterakan rakyat.
“Terlepas dari dinamikanya, jika dicermati semangat dari UU Cipta Kerja itu pada mensejahterakan rakyat,” kata Djaka dalam diskusi daring bertajuk Reformasi Birokrasi 4.0: Peluang dan Tantangan Implementasi UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja yang digelar oleh Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) dalam keterangan pers, Kamis (10/12/2020). (Baca juga: Moncer di Bisnis, Kreativitas Gibran dan Bobby Dinantikan di Pemerintahan )
Kesejahteraan masyarakat, baginya, adalah tujuan yang harus dicapai oleh seorang pejabat publik, khususnya kepala negara dan daerah. Kesejahteraan yang dia maksud di sini dalam konteks ekonomi, yakni memiliki pendapatan yang layak.
“Kalau saya seorang presiden, saya bertanggung jawab atas 267 juta orang. Yang harus jadi concern saya adalah bagaimana membuat kesejahteraan mereka meningkat, yang dalam indikator ekonomi berdasarkan pendapatan per kapita yang meningkat,” ujarnya.
Untuk meningktakan pendapatan per kapita masyarakat, lanjut Djaka, maka harus meningkatan pertumbuhan Product Domestic Bruto (PDB), dengan mendorong konsumsi pemerintah lebih tinggi, investasi lebih tinggi dan ekspor dikurangi impor.
Menurutnya, dalam konteks Indonesia, faktor investasi begitu penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana investasi itu penting dan dapat meningkatkan kesejahteraan atau pendapatan masyarakat, Dosen FEB UIN Jakarta ini pun menerangkan alur logikanya.
“Kalau ingin output naik,maka capital atau investasi, pekerja, teknologi dan semua faktor-faktor produksi itu harus ditingkatkan untuk berproduksi, menyerap tenaga kerja, menghasilkan barang yang akan dibeli masyarakat, mendapatkan untung dan modal baru lalu pekerjanya mendapatkan pendapatan. Itu efek kesejahteraan dari aktivitas investasi,” terangnya. (Baca juga: Berhadiah 500 M, PTN-PTS Ditantang Ikut Kompetisi Kampus Merdeka )
Djaka menambahkan, investasi menjadi sangat penting kehadirannya karena saat ini pekerja tersedia banyak di Indonesia, sumber daya, teknologi dan lahan juga tersedia. Kapital atau investasi lah menjadi faktor utama yang membuat faktor-faktor produksi lain itu menjadi produktif.
“Sebetulnya investasi bisa juga mengandalkan investor dalam negeri. Namun berdasarkan data 2020, Bank Indonesia (BI) mengatakan, dana pihak ketiga di perbankan Indonesia saat ini ada 6.300 triliun rupiah. Itu dana milik orang Indonesia. Pertanyaannya, kenapa orang lebih cenderung pilih simpan duit di bank daripada menginvestasikannya di sektor produktif?” beber Djaka.
Alasannya, menurut Djaka, aktivitas investasi bukan hanya didorong oleh faktor ekonomi semata. Bisa juga dipengaruhi oleh faktor non ekonomi. Seperti regulasi yang ada, izin yang berbelit-belit dan proses investasi yang tidak efisen dan lama ini mempengaruhi calon investor untuk enggan berinvestasi dan lebih memilih menyimpan uangnya di bank.
“Di situlah pentingnya regulasi UU Cipta Kerja yang dukung kemudahan dan perlindungan UMKM, penyederhanaan dan kemudahan perizinan usaha, riset dan inovasi dan kluster-kluster lain,” simpul Wakil Ketua International Council for Small Business (ICSB) Banten.
UU Cipta Kerja juga disebutnya sebagai momentum reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi, lanjutnya, selama ini disadari penting untuk dilakukan sejak 1999, namun bagaimana melakukannya masih menjadi pertanyaan besar, hingga hadir UU Cipta Kerja.
“Dalam UU Cipta Kerja terlihat sekali bahwa ini dihadirkan untuk merespon kondisi-kondisi birokrasi, seperti banyak dan tumpang tindihnya antar kementerian, antar pusat dan daerah,” bebernya.
Djaka menceritakan pengalamannya tentang bagaimana kondisi birokrasi di Indonesia begitu rumit dan tumpang tindih yang menghambat investasi. Ia mendampingi seorang investor asing yang sudah mengeluarkan dana 1,4 triliun untuk membangun smelter, pada 2015, di satu wilayah di Indonesia. Namun sampai sekarang belum bisa beropreasi karena terkendala oleh tumpang tindih regulasi perizinan.
Reformasi birokrasi, menurutnya, tidak cukup dengan melahirkan regulasi. Itu juga harus didukung dengan perubahan budaya dan mindset sumber daya manusia (SDM) birokrasi juga. “Seringkali, mindset orang-orang dalam birokrasi menjadi kendala,” ucapnya.
“Terlepas dari dinamikanya, jika dicermati semangat dari UU Cipta Kerja itu pada mensejahterakan rakyat,” kata Djaka dalam diskusi daring bertajuk Reformasi Birokrasi 4.0: Peluang dan Tantangan Implementasi UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja yang digelar oleh Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) dalam keterangan pers, Kamis (10/12/2020). (Baca juga: Moncer di Bisnis, Kreativitas Gibran dan Bobby Dinantikan di Pemerintahan )
Kesejahteraan masyarakat, baginya, adalah tujuan yang harus dicapai oleh seorang pejabat publik, khususnya kepala negara dan daerah. Kesejahteraan yang dia maksud di sini dalam konteks ekonomi, yakni memiliki pendapatan yang layak.
“Kalau saya seorang presiden, saya bertanggung jawab atas 267 juta orang. Yang harus jadi concern saya adalah bagaimana membuat kesejahteraan mereka meningkat, yang dalam indikator ekonomi berdasarkan pendapatan per kapita yang meningkat,” ujarnya.
Untuk meningktakan pendapatan per kapita masyarakat, lanjut Djaka, maka harus meningkatan pertumbuhan Product Domestic Bruto (PDB), dengan mendorong konsumsi pemerintah lebih tinggi, investasi lebih tinggi dan ekspor dikurangi impor.
Menurutnya, dalam konteks Indonesia, faktor investasi begitu penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana investasi itu penting dan dapat meningkatkan kesejahteraan atau pendapatan masyarakat, Dosen FEB UIN Jakarta ini pun menerangkan alur logikanya.
“Kalau ingin output naik,maka capital atau investasi, pekerja, teknologi dan semua faktor-faktor produksi itu harus ditingkatkan untuk berproduksi, menyerap tenaga kerja, menghasilkan barang yang akan dibeli masyarakat, mendapatkan untung dan modal baru lalu pekerjanya mendapatkan pendapatan. Itu efek kesejahteraan dari aktivitas investasi,” terangnya. (Baca juga: Berhadiah 500 M, PTN-PTS Ditantang Ikut Kompetisi Kampus Merdeka )
Djaka menambahkan, investasi menjadi sangat penting kehadirannya karena saat ini pekerja tersedia banyak di Indonesia, sumber daya, teknologi dan lahan juga tersedia. Kapital atau investasi lah menjadi faktor utama yang membuat faktor-faktor produksi lain itu menjadi produktif.
“Sebetulnya investasi bisa juga mengandalkan investor dalam negeri. Namun berdasarkan data 2020, Bank Indonesia (BI) mengatakan, dana pihak ketiga di perbankan Indonesia saat ini ada 6.300 triliun rupiah. Itu dana milik orang Indonesia. Pertanyaannya, kenapa orang lebih cenderung pilih simpan duit di bank daripada menginvestasikannya di sektor produktif?” beber Djaka.
Alasannya, menurut Djaka, aktivitas investasi bukan hanya didorong oleh faktor ekonomi semata. Bisa juga dipengaruhi oleh faktor non ekonomi. Seperti regulasi yang ada, izin yang berbelit-belit dan proses investasi yang tidak efisen dan lama ini mempengaruhi calon investor untuk enggan berinvestasi dan lebih memilih menyimpan uangnya di bank.
“Di situlah pentingnya regulasi UU Cipta Kerja yang dukung kemudahan dan perlindungan UMKM, penyederhanaan dan kemudahan perizinan usaha, riset dan inovasi dan kluster-kluster lain,” simpul Wakil Ketua International Council for Small Business (ICSB) Banten.
UU Cipta Kerja juga disebutnya sebagai momentum reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi, lanjutnya, selama ini disadari penting untuk dilakukan sejak 1999, namun bagaimana melakukannya masih menjadi pertanyaan besar, hingga hadir UU Cipta Kerja.
“Dalam UU Cipta Kerja terlihat sekali bahwa ini dihadirkan untuk merespon kondisi-kondisi birokrasi, seperti banyak dan tumpang tindihnya antar kementerian, antar pusat dan daerah,” bebernya.
Djaka menceritakan pengalamannya tentang bagaimana kondisi birokrasi di Indonesia begitu rumit dan tumpang tindih yang menghambat investasi. Ia mendampingi seorang investor asing yang sudah mengeluarkan dana 1,4 triliun untuk membangun smelter, pada 2015, di satu wilayah di Indonesia. Namun sampai sekarang belum bisa beropreasi karena terkendala oleh tumpang tindih regulasi perizinan.
Reformasi birokrasi, menurutnya, tidak cukup dengan melahirkan regulasi. Itu juga harus didukung dengan perubahan budaya dan mindset sumber daya manusia (SDM) birokrasi juga. “Seringkali, mindset orang-orang dalam birokrasi menjadi kendala,” ucapnya.
(mpw)