Sistem Multipartai Membuat Presiden Sulit Bentuk Zaken Kabinet Murni
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Public Instulitute (IPI) Karyono Wibowo memandang, meskipun ada menteri asal partai politik yang terjerat kasus korupsi, tetapi tidak akan banyak mengubah komposisi kabinet ke depan. Sistem multipartai menjadi kendala zaken kabinet .
"Pasalnya, sistem multipartai justru membuka peluang masuknya kader-kader yang berasal dari partai," ujar Karyono merespons ditangkapnya dua menteri Kabinet Indonesia Maju yang berasal dari kader partai, Senin (7/12/2020).
Menurut Karyono, sistem multipartai mendorong adanya koalisi yang membawa konsekuensi presiden terpilih berbagi kekuasaan dengan partai koalisi. Sehingga, komposisi kabinet pun menjadi 'kabinet gado-gado'.
Bahkan, menurut dia, seandainya dalam sistem multipartai ada satu partai pemenang pemilu yang mendapatkan kursi lebih dari 50% (single majority party) pun tetap membuka peluang koalisi dalam kontestasi di pilpres.
(
).
"Koalisi dilakukan untuk menambah dukungan. Karenanya, sistem politik kita masih tetap terbuka lebar bagi kader partai masuk ke dalam kabinet pemerintahan," tutur dia.
Di sisi lain, ia menganggap sistem kepartaian yang menyebabkan jumlah partai membeludak cenderung mengakibatkan gesekan kepentingan antarpartai yang berada di parlemen dengan presiden yang notabene merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.
(
).
Menurutnya, dengan sistem ketatanegaraan saat ini, nampaknya sulit untuk mewujudkan zaken kabinet secara murni dan konsekuen. Maka, yang bisa dilakukan adalah membuat formulasi baru zaken kabinet yang diselaraskan dengan sistem kepartaian saat ini. "Titik tekannya tetap membentuk kabinet profesional, yang mengedepankan kompetensi dan integritas personal para anggota kabinet," jelasnya.
Lebih lanjut Karyono menjelaskan, kabinet profesional yang dimaksud adalah menekankan pada aspek keahlian atau kompetensi dan aspek integritas tanpa membuat dikotomi antara menteri parpol dan nonparpol.
Menurutnya, jika bentuk kabinet pemerintahan dihubungkan dengan maraknya korupsi, menurutnya perlu kajian yang mendalam dengan menguji sejumlah variabel untuk menjelaskan korelasinya. Tapi, pemahaman umum yang sederhana, timbulnya perilaku korupsi selain karena sistem juga karena ada niat, hasrat, dan peluang.
"Jadi, untuk mencegah korupsi, sistem harus diperbaiki untuk terciptanya pemerintahan yang bersih, hukum harus ditegakkan dan perlunya penyelenggara negara yang bersih dan berintegritas," pungkas dia.
"Pasalnya, sistem multipartai justru membuka peluang masuknya kader-kader yang berasal dari partai," ujar Karyono merespons ditangkapnya dua menteri Kabinet Indonesia Maju yang berasal dari kader partai, Senin (7/12/2020).
Menurut Karyono, sistem multipartai mendorong adanya koalisi yang membawa konsekuensi presiden terpilih berbagi kekuasaan dengan partai koalisi. Sehingga, komposisi kabinet pun menjadi 'kabinet gado-gado'.
Bahkan, menurut dia, seandainya dalam sistem multipartai ada satu partai pemenang pemilu yang mendapatkan kursi lebih dari 50% (single majority party) pun tetap membuka peluang koalisi dalam kontestasi di pilpres.
(
Baca Juga
"Koalisi dilakukan untuk menambah dukungan. Karenanya, sistem politik kita masih tetap terbuka lebar bagi kader partai masuk ke dalam kabinet pemerintahan," tutur dia.
Di sisi lain, ia menganggap sistem kepartaian yang menyebabkan jumlah partai membeludak cenderung mengakibatkan gesekan kepentingan antarpartai yang berada di parlemen dengan presiden yang notabene merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.
(
Baca Juga
Menurutnya, dengan sistem ketatanegaraan saat ini, nampaknya sulit untuk mewujudkan zaken kabinet secara murni dan konsekuen. Maka, yang bisa dilakukan adalah membuat formulasi baru zaken kabinet yang diselaraskan dengan sistem kepartaian saat ini. "Titik tekannya tetap membentuk kabinet profesional, yang mengedepankan kompetensi dan integritas personal para anggota kabinet," jelasnya.
Lebih lanjut Karyono menjelaskan, kabinet profesional yang dimaksud adalah menekankan pada aspek keahlian atau kompetensi dan aspek integritas tanpa membuat dikotomi antara menteri parpol dan nonparpol.
Menurutnya, jika bentuk kabinet pemerintahan dihubungkan dengan maraknya korupsi, menurutnya perlu kajian yang mendalam dengan menguji sejumlah variabel untuk menjelaskan korelasinya. Tapi, pemahaman umum yang sederhana, timbulnya perilaku korupsi selain karena sistem juga karena ada niat, hasrat, dan peluang.
"Jadi, untuk mencegah korupsi, sistem harus diperbaiki untuk terciptanya pemerintahan yang bersih, hukum harus ditegakkan dan perlunya penyelenggara negara yang bersih dan berintegritas," pungkas dia.
(zik)