Pasangan Ideal di 2024: Prabowo-Puan, Anies- Gatot, atau Ganjar-Khofifah?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Meski Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 masih lama. Namun nama-nama sosok yang dinilai layak menjadi pemimpin mendatang sudah bermunculan.
Banyak lembaga survei sudah merilis tentang elektabilitas para tokoh. Tidak hanya itu, wacana tentang calon presiden 2024 sudah mengemuka di ruang publik.
(Baca juga : Menunggu Panglima TNI yang Khatam Urusan Pertahanan Maritim )
Bahkah ada beberapa sosok yang memiliki elektabilitas yang tinggi berdasarkan hasil kajian sejumlah lembaga survei. Di antaranya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Sejumlah nama lainnya adalah para tokoh yang saat ini menjabat kepala daerah, yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubenur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.( )
Dari kalangan militer muncul nama mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Sedangkan dari kalangan pengusaha mengemuka nama Sandiaga Uno.
(Baca juga : Kasus Edhy dan Juliari Pengaruhi Elektabilitas Cakada Gerindra dan PDIP )
Siapa saja dari nama-nama tersebut yang nanti berhasil mencalonkan diri sebagai capres? Siapa pula di antaranya yang bakal menempati posisi calon wakil presiden (cawapres)? Jika dibuat simulasi pasangan, siapakah yang berhasil unggul dengan potensi kekuatan yang dimilikinya?
Berikut ini SINDOnews menganalisis peluang sejumlah tokoh yang dinilai potensial memenangi pilpres jika maju berpasangan.
Prabowo Subianto-Puan Maharani
Kans Prabowo berduet dengan kader PDIP Puan Maharani di pilpres mendatamg dinilai besar. Kedekatan dan keakraban yang ditunjukkan Prabowo dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri setahun belakangan bisa dimaknai sebagai sinyal kuat lahirnya duet ini.
Dari sisi dukungan partai, duet Prabowo-Puan kuat karena ditopang oleh dua partai besar beraliran nasionalis, yakni PDIP sebagai partai pemilik kursi terbesar di DPR yakni 128 kursi, dan Gerindra di posisi ketiga dengan 78 kursi. Syarat presidential threshold 20% kursi DPR untuk mencalonkan pun sudah terpenuhi.( )
Dari sisi konfigurasi politik, duet Prabowo-Puan juga cukup menarik karena memadukan militer dengan sipil, senior dan tokoh muda, dan juga merepresentasikan keterwakilan gender. Dari sisi elektabilitas Prabowo masih cukup kuat, yakni di angka 16,8% berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia pada September 2020.
(Baca juga : Gelar We Love Bali, Kemenparekraf Ajak Libur Akhir Tahun di Indonesia Saja )
Hanya saja, beda dengan Prabowo, elektabilitas Puan justru masih rendah. Di sisi lain Prabowo juga perlu menjaga elektabilitasnya agar tidak terus merosot akibat ditinggalkan pemilihnya seusai dia bergabung ke dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Banyak pendukung Prabowo, terutama dari kalangan umat Islam yang kecewa saat Prabowo meninggalkan peran sebagai oposisi.
AHY-Ganjar Pranowo
Ketua Umum Partai Demokrat AHY boleh tidak menempati urutan teratas survei capres, namun putra Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono ini punya kans jadi capres karena memiliki partai politik sebagai kendaraan.
Demokrat hanya perlu menjalin koalisi dengan dua partai lain untuk memenuhi syarat ambang batas pencapresan 20% kursi DPR. Saat ini AHY juga masuk deretan teratas figur yang diunggulkan menang pilpres. Survei Indonesia Political Opinion (IPO) yang dipublikasi pada Oktober 2020, AHY masuk enam besar capres dengan elektabilitas 5,7%.
Kans pasangan ini untuk menang pilpres jika jadi berpasangan cukup besar karena faktor Ganjar sebagai figur bakal capres dengan elektabilitas tertinggi sejauh ini.
(Baca juga : Suap Bansos COVID-19, Mensos Juliari Dinilai Pantas Dijatuhi Hukuman Mati )
Survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada September 2020 menempatkan Ganjar di urutan paling atas dengan elektabilitas 18,7%. Tantangan Ganjar adalah bagaimana dia mampu menjaga elektabilitasnya agar tidak turun, terutama saat dia tidak lagi menjabat gubernur pada 2023, setahun menjelang pilpres digelar.
Peluang Ganjar nyapres melalui partainya, PDIP, kemungkinan sangat tipis lantaran ada Puan sebagai putra mahkota di sana. Karena itu, jika berani maju pilpres melalui partai lain atau tanpa dukungan PDIP—entah sebagai capres atau cawapres—potensi menang sangat terbuka. Kelebihan lain pasangan AHY-Ganjar adalah dua-duanya tergolong muda dan dinamis sehingga bisa mendapatkan dukungan pemilih milenial.
(Baca juga : KPK Buka Peluang Usut Dugaan Aliran Uang Mensos Juliari ke PDIP )
Terlebih keduanya sangat baik dalam memanfaatkan media sosial untuk menjaga popularitas.
Pada Rabu, 2 Desember 2020, AHY menggelar pertemuan silaturahmi dengan Ganjar. Pertemuan kedua tokoh di kediaman Ganjar di Jawa Tengah sangat mungkin bagian dari upaya pendekatan dan penjajakan untuk berpasangan di pilpres mendatang.(
)
Anies Baswedan-Gatot Nurmantyo
Jika maju sebagai pasangan di pilpres Anies dan Gatot bepeluang mendapat dukungan luas dari kalangan pemilih muslim. Pemilih yang dimaksud adalah barisan yang pada pilpres lalu mendukung Prabowo-Sandiaga Uno.
Pemilih muslim, terutama yang terafiliasi dengan kelompok 212 kemungkinan akan mencari figur lain setelah Prabowo memilih bergabung ke pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dari sisi elektabilitas, Anies dan Gatot juga punya cukup modal. Sejauh ini Anies sering masuk 3 besar kandidat capres dengan elektabilitas tertinggi. Hasil survei Indikator Politik Indonesia per September 2020, Anies di posisi ketiga dengan elektabilitas 14,4%, di bawah Ganjar dan Prabowo. Sedangkan survei Populi Center per November 2020, elektabilitas Anies di nomor 2 yakni 9,5%, terpaut tipis dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang unggul dengan 9,9%.
Adapun Gatot, elektabilitasnya masih cukup rendah meski namanya kerap masuk dalam 10 besar capres potensial. Namun, langkah Gatot saat ini yang kerap tampil mengkritik kebijakan pemerintah sedikit banyak akan berpengaruh pada kenaikan elektabilitasnya. Di tengah kondisi negara saat ini yang nyaris tidak memiliki kekuatan opisisi, peran tokoh seperti Gatot bisa menarik perhatian dan dukungan rakyat.
Anies-Gatot termasuk kombinasi ideal karena merepresentasikan sipil dan militer. Keduanya juga punya pengalaman memimpin. Gatot merupakan mantan Panglima TNI berpangkat jenderal bintang 4, sedangkan Anies saat ini menjabat Gubernur DKI.
Hanya, kelemahan pasangan ini adalah keduanya tidak memiliki partai politik. Kendaraan politik akan jadi masalah nantinya, terutama jika syarat presidential threshold atau syarat minimal jumlah kursi partai di DPR untuk mengajukan capres masih 20%.
Meski demikian, Anies masih punya harapan karena Partai Nasdem sudah memberi sinyal akan mendukungnya di pilpres. Selain itu, bukan tidak mungkin partai Islam nontradisional seperti PKS dan PAN akan memdukung Gubernur DKI Jakarta ini maju sebagai capres.
Sandiaga Uno-Khofifah Indar Parawansa
Modal permah maju sebagai cawapres jadi salah satu kekuatan Sandiaga Uno dalam menghadapi Pilpres 2024. Elektabilitas Sandi masih cukup tinggi. Jika kembali maju di pilpres, maka saatnya Sandi menjadi capres. Populer di kalangan ibu-ibu dan generasi milenial adalah modal Sandi untuk terus menaikkan elektabilitasnya hingga tiga tahun ke depan.
Sandi memamg sulit maju di pilpres melalui partainya, Getindra, karena posisi capres sudah dikapling oleh Prabowo. Namun, figur seperti Sandi bakal laku di partai lain, terutama yang bercorak Islam seperti PKS, PAN dan PPP. Tawaran untuk Sandi agar bersedia menjadi ketua umum PPP adalah bukti bahwa sosok pengusaha muda ini cukup diminati partai. Hal yang sama bisa juga berlaku saat proses pencapresan nanti.
Satu modal kuat Sandi yang tidak semua bakal capres miliki adalah kekuatan finansial. Untuk maju sebagai capres, salah satu miliarder Indonesia ini termasuk tokoh yang paling siap dari sisi pendanaan.
Jika berpasangan dengan Khofifah, duet ini punya kans besar terpilih. Khofifah bahkan bisa jadi kunci kemenangan. Meski elektabilitasnya masih kalah dibandingkan kepala daerah lain seperti Ganjar, Anies dan Ridwan Kamil, namun Khofifah punya nilai tawar tinggi di pilpres mendatang.
(Baca juga : Pilpres 2024, Beranikah Ganjar Hengkang dari PDIP dan Lawan Titah Megawati? )
Khofifah punya pengalaman karena pernah jadi menteri dan saat ini menjabat gubernur Jawa Timur. Khofifah juga menjadi representasi Nahdlatul Ulama. Khofifah juga mudah diterima oleh berbagai kalangan, baik di kubu partai nasionalis maupun partai berbasis Islam.
Sandi-Khofifah bakal jadi perpaduan unik karena merepresentasikan keterwakilan gender. Secara geopolitik juga kombinasi ideal karena Sandi berasal dari Sumatera sedangkan Khofifah dari Jawa. Potensi dukungan partai bisa datang dari PKS, PKB, PPP, dan PAN.
Ganjar Pranowo-Khofifah Indar Parawansa
Skenario awal PDIP diperkirakan berubah jika elektabilits Ganjar Pranowo terus menanjak hingga menjelang pilpres. Saat ini Ganjar masih menempati urutan teratas survei capres.
Skenario PDIP memajukan Puan Maharani sebagai cawapres berpasangan Prabowo bisa saja berubah jika Ganjar dinilai punya kans besar menang, sebagaimana terjadi pada Joko Widodo di Pilpres 2019. Saat itu, Megawati memberi jalan ke Jokowi karena elektablitasnya yang sangat tinggi.
(Baca juga : Pengamat: Sulit Membayangkan Ganjar Pranowo Jadi 'Kampret atau Kadrun' di 2024 )
Jika ini yang terjadi maka PDIP sebagai partai nasionalis berpeluang menggandeng tokoh yang berasal dari kalangan santri. Hal ini juga terjadi pilpres 2019 ketika di periode kedua Jokowi menggandeng KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Hasilnya, Jokowi dan PDIP kembali menang.
Salah satu figur potensial mewakili santri di pilpres mendatang adalah Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Khofifah menjadi representasi Nahdlatul Ulama sekaligus mewakili kalangan perempuan. Khofifah juga mudah diterima oleh berbagai kalangan, baik di kubu partai nasionalis maupun partai berbasis santri seperti PKB dan PPP.
Dengan begitu kansnya untuk maju di pilpres sangat terbuka. Potensi Ganjar-Khofifah menang jika berpasangan cukup besar. Salah satu faktornya adalah dukungan populasi dua provinsi asal kedua tokoh yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Anies Baswedan-Habib Rizieq Shihab
Aspirasi publik yang menduetkan Anies Baswedan dengan tokoh Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab (HRS) mencuat hampir sebulan belakangan ini. Itu terjadi setelah kepulangan HRS dari Arab Saudi. Jika kedua tokoh ini berpasangan di pilpres, maka dukungan kemungkinan akan diperoleh dari pemilih Islam yang berafiliasi ke gerakan 212.
Kedua tokoh memiliki basis dukungan yang sama, yakni kalangan Islam. Khusus HRS, meski memiliki pendukung fanatik dalam jumlah besar, namun elektabilitasnya masih rendah. Namun bukan tidak mungkin dukungan terhadapnya naik setelah ia kembali ke Tanah Air setelah tiga tahun di Arab Saudi.
Dari sisi ketokohan sebagai ulama HRS memiliki pengaruh kuat. Namun, apakah dia punya pengaruh yang sama di dunia politik masih perlu pembuktian.
Hanya saja, kendala terbesar jika kedua tokoh ini berpasangan adalah dukungan partai politik. Keduanya sama-sama bukan kader partai. Namun, cerita akan berbeda jika nanti UU Pemilu diubah dan syarat presidential threshold 20% dihapus. Bisa saja ada partai Islam peserta Pemilu 2024 yang mengajukan duet ini sebagai capres-cawapres.
Dua Kategori Capres
Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, membaca peluang siapa tokoh yang akan maju capres bisa dilihat pada dua variabel. Pertama, variabel tetap. Mengacu. variabel ini, parpol biasanya sudah memiliki calonnya, misalnya PDIP sudah punya Puan dan Gerindra akan ajukan Prabowo.
Kedua, variabel dinamis, yakni mengacu pada elektabilitas tokoh. “Kalau variabel ini kita tidak tahu siapa yang akan maju capres nanti karena yang sekarang elektabilitasnya di atas bisa saja ke bawah, dan yang ada di bawah bisa saja ke atas,” ujarnya kepada SINDOnews.
Namun, dalam sejarah pilpres Indonesia, kata dia, kemunculan capres hanya mengerucut pada dua kategori. Pertama dari kalangan menteri. Contohnya adalah SBY pada 2004. Kedua, kepala daerah sebagaimana dilakukan Jokowi pada 2019.
“Jadi bicara posisi, yang potensial maju jadi capres pada 2024 itu adalah kepala daerah. Kenapa? Karena bisa dilihat kinerjanya dan eksposurenya luas,” kata Qodari.
Dia menyebut kepala daerah yang berpeluang semuanya di Jawa, yakni gubernur DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Qodari menyangsikan jika ada figur yamg bjsa muncul sebagai capres di luar dua kategori menteri dan kepala daerah. Ini juga berlaku pada kemunculan Habib Riziek Shihab yang banyak disebut potensial jadi capres.
“Apakah HRS ini bisa ciptakan kategori ketiga, yaitu capres yang maju lewat jalur tokoh masyarakat?” ujarnya.
Banyak lembaga survei sudah merilis tentang elektabilitas para tokoh. Tidak hanya itu, wacana tentang calon presiden 2024 sudah mengemuka di ruang publik.
(Baca juga : Menunggu Panglima TNI yang Khatam Urusan Pertahanan Maritim )
Bahkah ada beberapa sosok yang memiliki elektabilitas yang tinggi berdasarkan hasil kajian sejumlah lembaga survei. Di antaranya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Sejumlah nama lainnya adalah para tokoh yang saat ini menjabat kepala daerah, yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubenur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.( )
Dari kalangan militer muncul nama mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Sedangkan dari kalangan pengusaha mengemuka nama Sandiaga Uno.
(Baca juga : Kasus Edhy dan Juliari Pengaruhi Elektabilitas Cakada Gerindra dan PDIP )
Siapa saja dari nama-nama tersebut yang nanti berhasil mencalonkan diri sebagai capres? Siapa pula di antaranya yang bakal menempati posisi calon wakil presiden (cawapres)? Jika dibuat simulasi pasangan, siapakah yang berhasil unggul dengan potensi kekuatan yang dimilikinya?
Berikut ini SINDOnews menganalisis peluang sejumlah tokoh yang dinilai potensial memenangi pilpres jika maju berpasangan.
Prabowo Subianto-Puan Maharani
Kans Prabowo berduet dengan kader PDIP Puan Maharani di pilpres mendatamg dinilai besar. Kedekatan dan keakraban yang ditunjukkan Prabowo dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri setahun belakangan bisa dimaknai sebagai sinyal kuat lahirnya duet ini.
Dari sisi dukungan partai, duet Prabowo-Puan kuat karena ditopang oleh dua partai besar beraliran nasionalis, yakni PDIP sebagai partai pemilik kursi terbesar di DPR yakni 128 kursi, dan Gerindra di posisi ketiga dengan 78 kursi. Syarat presidential threshold 20% kursi DPR untuk mencalonkan pun sudah terpenuhi.( )
Dari sisi konfigurasi politik, duet Prabowo-Puan juga cukup menarik karena memadukan militer dengan sipil, senior dan tokoh muda, dan juga merepresentasikan keterwakilan gender. Dari sisi elektabilitas Prabowo masih cukup kuat, yakni di angka 16,8% berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia pada September 2020.
(Baca juga : Gelar We Love Bali, Kemenparekraf Ajak Libur Akhir Tahun di Indonesia Saja )
Hanya saja, beda dengan Prabowo, elektabilitas Puan justru masih rendah. Di sisi lain Prabowo juga perlu menjaga elektabilitasnya agar tidak terus merosot akibat ditinggalkan pemilihnya seusai dia bergabung ke dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Banyak pendukung Prabowo, terutama dari kalangan umat Islam yang kecewa saat Prabowo meninggalkan peran sebagai oposisi.
AHY-Ganjar Pranowo
Ketua Umum Partai Demokrat AHY boleh tidak menempati urutan teratas survei capres, namun putra Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono ini punya kans jadi capres karena memiliki partai politik sebagai kendaraan.
Demokrat hanya perlu menjalin koalisi dengan dua partai lain untuk memenuhi syarat ambang batas pencapresan 20% kursi DPR. Saat ini AHY juga masuk deretan teratas figur yang diunggulkan menang pilpres. Survei Indonesia Political Opinion (IPO) yang dipublikasi pada Oktober 2020, AHY masuk enam besar capres dengan elektabilitas 5,7%.
Kans pasangan ini untuk menang pilpres jika jadi berpasangan cukup besar karena faktor Ganjar sebagai figur bakal capres dengan elektabilitas tertinggi sejauh ini.
(Baca juga : Suap Bansos COVID-19, Mensos Juliari Dinilai Pantas Dijatuhi Hukuman Mati )
Survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada September 2020 menempatkan Ganjar di urutan paling atas dengan elektabilitas 18,7%. Tantangan Ganjar adalah bagaimana dia mampu menjaga elektabilitasnya agar tidak turun, terutama saat dia tidak lagi menjabat gubernur pada 2023, setahun menjelang pilpres digelar.
Peluang Ganjar nyapres melalui partainya, PDIP, kemungkinan sangat tipis lantaran ada Puan sebagai putra mahkota di sana. Karena itu, jika berani maju pilpres melalui partai lain atau tanpa dukungan PDIP—entah sebagai capres atau cawapres—potensi menang sangat terbuka. Kelebihan lain pasangan AHY-Ganjar adalah dua-duanya tergolong muda dan dinamis sehingga bisa mendapatkan dukungan pemilih milenial.
(Baca juga : KPK Buka Peluang Usut Dugaan Aliran Uang Mensos Juliari ke PDIP )
Terlebih keduanya sangat baik dalam memanfaatkan media sosial untuk menjaga popularitas.
Pada Rabu, 2 Desember 2020, AHY menggelar pertemuan silaturahmi dengan Ganjar. Pertemuan kedua tokoh di kediaman Ganjar di Jawa Tengah sangat mungkin bagian dari upaya pendekatan dan penjajakan untuk berpasangan di pilpres mendatang.(
Baca Juga
Anies Baswedan-Gatot Nurmantyo
Jika maju sebagai pasangan di pilpres Anies dan Gatot bepeluang mendapat dukungan luas dari kalangan pemilih muslim. Pemilih yang dimaksud adalah barisan yang pada pilpres lalu mendukung Prabowo-Sandiaga Uno.
Pemilih muslim, terutama yang terafiliasi dengan kelompok 212 kemungkinan akan mencari figur lain setelah Prabowo memilih bergabung ke pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dari sisi elektabilitas, Anies dan Gatot juga punya cukup modal. Sejauh ini Anies sering masuk 3 besar kandidat capres dengan elektabilitas tertinggi. Hasil survei Indikator Politik Indonesia per September 2020, Anies di posisi ketiga dengan elektabilitas 14,4%, di bawah Ganjar dan Prabowo. Sedangkan survei Populi Center per November 2020, elektabilitas Anies di nomor 2 yakni 9,5%, terpaut tipis dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang unggul dengan 9,9%.
Adapun Gatot, elektabilitasnya masih cukup rendah meski namanya kerap masuk dalam 10 besar capres potensial. Namun, langkah Gatot saat ini yang kerap tampil mengkritik kebijakan pemerintah sedikit banyak akan berpengaruh pada kenaikan elektabilitasnya. Di tengah kondisi negara saat ini yang nyaris tidak memiliki kekuatan opisisi, peran tokoh seperti Gatot bisa menarik perhatian dan dukungan rakyat.
Anies-Gatot termasuk kombinasi ideal karena merepresentasikan sipil dan militer. Keduanya juga punya pengalaman memimpin. Gatot merupakan mantan Panglima TNI berpangkat jenderal bintang 4, sedangkan Anies saat ini menjabat Gubernur DKI.
Hanya, kelemahan pasangan ini adalah keduanya tidak memiliki partai politik. Kendaraan politik akan jadi masalah nantinya, terutama jika syarat presidential threshold atau syarat minimal jumlah kursi partai di DPR untuk mengajukan capres masih 20%.
Meski demikian, Anies masih punya harapan karena Partai Nasdem sudah memberi sinyal akan mendukungnya di pilpres. Selain itu, bukan tidak mungkin partai Islam nontradisional seperti PKS dan PAN akan memdukung Gubernur DKI Jakarta ini maju sebagai capres.
Sandiaga Uno-Khofifah Indar Parawansa
Modal permah maju sebagai cawapres jadi salah satu kekuatan Sandiaga Uno dalam menghadapi Pilpres 2024. Elektabilitas Sandi masih cukup tinggi. Jika kembali maju di pilpres, maka saatnya Sandi menjadi capres. Populer di kalangan ibu-ibu dan generasi milenial adalah modal Sandi untuk terus menaikkan elektabilitasnya hingga tiga tahun ke depan.
Sandi memamg sulit maju di pilpres melalui partainya, Getindra, karena posisi capres sudah dikapling oleh Prabowo. Namun, figur seperti Sandi bakal laku di partai lain, terutama yang bercorak Islam seperti PKS, PAN dan PPP. Tawaran untuk Sandi agar bersedia menjadi ketua umum PPP adalah bukti bahwa sosok pengusaha muda ini cukup diminati partai. Hal yang sama bisa juga berlaku saat proses pencapresan nanti.
Satu modal kuat Sandi yang tidak semua bakal capres miliki adalah kekuatan finansial. Untuk maju sebagai capres, salah satu miliarder Indonesia ini termasuk tokoh yang paling siap dari sisi pendanaan.
Jika berpasangan dengan Khofifah, duet ini punya kans besar terpilih. Khofifah bahkan bisa jadi kunci kemenangan. Meski elektabilitasnya masih kalah dibandingkan kepala daerah lain seperti Ganjar, Anies dan Ridwan Kamil, namun Khofifah punya nilai tawar tinggi di pilpres mendatang.
(Baca juga : Pilpres 2024, Beranikah Ganjar Hengkang dari PDIP dan Lawan Titah Megawati? )
Khofifah punya pengalaman karena pernah jadi menteri dan saat ini menjabat gubernur Jawa Timur. Khofifah juga menjadi representasi Nahdlatul Ulama. Khofifah juga mudah diterima oleh berbagai kalangan, baik di kubu partai nasionalis maupun partai berbasis Islam.
Sandi-Khofifah bakal jadi perpaduan unik karena merepresentasikan keterwakilan gender. Secara geopolitik juga kombinasi ideal karena Sandi berasal dari Sumatera sedangkan Khofifah dari Jawa. Potensi dukungan partai bisa datang dari PKS, PKB, PPP, dan PAN.
Ganjar Pranowo-Khofifah Indar Parawansa
Skenario awal PDIP diperkirakan berubah jika elektabilits Ganjar Pranowo terus menanjak hingga menjelang pilpres. Saat ini Ganjar masih menempati urutan teratas survei capres.
Skenario PDIP memajukan Puan Maharani sebagai cawapres berpasangan Prabowo bisa saja berubah jika Ganjar dinilai punya kans besar menang, sebagaimana terjadi pada Joko Widodo di Pilpres 2019. Saat itu, Megawati memberi jalan ke Jokowi karena elektablitasnya yang sangat tinggi.
(Baca juga : Pengamat: Sulit Membayangkan Ganjar Pranowo Jadi 'Kampret atau Kadrun' di 2024 )
Jika ini yang terjadi maka PDIP sebagai partai nasionalis berpeluang menggandeng tokoh yang berasal dari kalangan santri. Hal ini juga terjadi pilpres 2019 ketika di periode kedua Jokowi menggandeng KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Hasilnya, Jokowi dan PDIP kembali menang.
Salah satu figur potensial mewakili santri di pilpres mendatang adalah Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Khofifah menjadi representasi Nahdlatul Ulama sekaligus mewakili kalangan perempuan. Khofifah juga mudah diterima oleh berbagai kalangan, baik di kubu partai nasionalis maupun partai berbasis santri seperti PKB dan PPP.
Dengan begitu kansnya untuk maju di pilpres sangat terbuka. Potensi Ganjar-Khofifah menang jika berpasangan cukup besar. Salah satu faktornya adalah dukungan populasi dua provinsi asal kedua tokoh yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Anies Baswedan-Habib Rizieq Shihab
Aspirasi publik yang menduetkan Anies Baswedan dengan tokoh Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab (HRS) mencuat hampir sebulan belakangan ini. Itu terjadi setelah kepulangan HRS dari Arab Saudi. Jika kedua tokoh ini berpasangan di pilpres, maka dukungan kemungkinan akan diperoleh dari pemilih Islam yang berafiliasi ke gerakan 212.
Kedua tokoh memiliki basis dukungan yang sama, yakni kalangan Islam. Khusus HRS, meski memiliki pendukung fanatik dalam jumlah besar, namun elektabilitasnya masih rendah. Namun bukan tidak mungkin dukungan terhadapnya naik setelah ia kembali ke Tanah Air setelah tiga tahun di Arab Saudi.
Dari sisi ketokohan sebagai ulama HRS memiliki pengaruh kuat. Namun, apakah dia punya pengaruh yang sama di dunia politik masih perlu pembuktian.
Hanya saja, kendala terbesar jika kedua tokoh ini berpasangan adalah dukungan partai politik. Keduanya sama-sama bukan kader partai. Namun, cerita akan berbeda jika nanti UU Pemilu diubah dan syarat presidential threshold 20% dihapus. Bisa saja ada partai Islam peserta Pemilu 2024 yang mengajukan duet ini sebagai capres-cawapres.
Dua Kategori Capres
Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, membaca peluang siapa tokoh yang akan maju capres bisa dilihat pada dua variabel. Pertama, variabel tetap. Mengacu. variabel ini, parpol biasanya sudah memiliki calonnya, misalnya PDIP sudah punya Puan dan Gerindra akan ajukan Prabowo.
Kedua, variabel dinamis, yakni mengacu pada elektabilitas tokoh. “Kalau variabel ini kita tidak tahu siapa yang akan maju capres nanti karena yang sekarang elektabilitasnya di atas bisa saja ke bawah, dan yang ada di bawah bisa saja ke atas,” ujarnya kepada SINDOnews.
Namun, dalam sejarah pilpres Indonesia, kata dia, kemunculan capres hanya mengerucut pada dua kategori. Pertama dari kalangan menteri. Contohnya adalah SBY pada 2004. Kedua, kepala daerah sebagaimana dilakukan Jokowi pada 2019.
“Jadi bicara posisi, yang potensial maju jadi capres pada 2024 itu adalah kepala daerah. Kenapa? Karena bisa dilihat kinerjanya dan eksposurenya luas,” kata Qodari.
Dia menyebut kepala daerah yang berpeluang semuanya di Jawa, yakni gubernur DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Qodari menyangsikan jika ada figur yamg bjsa muncul sebagai capres di luar dua kategori menteri dan kepala daerah. Ini juga berlaku pada kemunculan Habib Riziek Shihab yang banyak disebut potensial jadi capres.
“Apakah HRS ini bisa ciptakan kategori ketiga, yaitu capres yang maju lewat jalur tokoh masyarakat?” ujarnya.
(dam)