Simalakama Rawat Premium

Jum'at, 04 Desember 2020 - 05:30 WIB
loading...
Simalakama Rawat Premium
Naufal Azizi (dok. pribadi)
A A A
Naufal Azizi
Analis Kebijakan Kementerian ESDM dan Lulusan Pascasarjana Universitas Indonesia

RENCANA penghapusan premium di wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali) mulai 1 Januari 2021 sempat membuat geger publik. Pasalnya jenis bahan bakar minyak (BBM) beroktan RON 88 ini masih menjadi primadona bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tak hanya itu, kehadiran premium juga dijadikan jalan pintas oleh pemerintah dalam mendapatkan akses energi dengan harga terjangkau.

Tekad ini selanjutnya diterjemahkan oleh pemerintah melalui peluncuran BBM Satu Harga di wilayah tertinggal. Program strategis nasional ini jadi bagian dari upaya pemerintah menyeragamkan harga BBM di seluruh pelosok Indonesia, yaitu Rp6.450 untuk premium (RON 88) per liter dan Rp5.150 (CN 48) per liter.

Tentu keberadaan premium dalam BBM Satu Harga akan menjadi persoalan sendiri. Jika wacana penghapusan ini benar-benar dieksekusi, program BBM Satu Harga yang sudah menyasar dan tersebar di 170 lokasi sejak 2016 kemungkinan kandas di tengah jalan.

Persoalan lain adalah tingkat konsumsi premium yang masih tergolong tinggi. Bahkan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas menyebut realisasi bensin terus melebihi kouta yang ditetapkan. Sempat mengalami penurunan pada 2015 sampai 2017, tren kenaikan konsumsi kembali terjadi pada 2018, terutama setelah lahirnya Keputusan Menteri ESDM No 1851 K/15/2018 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) di Jamali.

Catatan BPH Migas menyebutkan pada 2019 penyaluran jenis bahan tertentu (JBT) dan JBKP melonjak 11% dengan rata-rata penyaluran per tahun hingga 25,55 juta kiloliter. Angka yang cukup fantastik. Lonjakan grafik tersebut tak lepas dari kemudahan mendapatkan premium dari sisi harga. Ini yang dikhawatirkan melahirkan moral hazard dalam efisiensi penggunaan BBM.

Sulit dimungkiri tingginya konsumsi premium seiring dengan keterbatasan kemampuan daya beli masyarakat. Terlebih menghadapi Covid-19. Tekanan ekonomi berjalan seiring dengan bonus demografi dan perubahan struktur sosial. Kenyataan ini dapat menciptakan peningkatan beban penyediaan atau suplai premium untuk beberapa tahun ke depan. Pemerintah pun mesti hadir. Turut mengontrol di tengah ambisi menggaungkan pemerataan akses energi.

Maka langkah praktis yang dilakukan pemerintah adalah impor BBM. Dampaknya membuka kembali ruang defisit dalam neraca dagang migas yang merupakan bagian dari komponen perhitungan neraca perdagangan. Padahal jauh-jauh hari Presiden Joko Widodo mewanti-wanti untuk segera mengatasi kondisi semacam ini.

Tuntutan Energi Bersih
Sentimen lain yang memicu peliknya keberadaan premium adalah faktor lingkungan. Pemerintah punya komitmen kuat dalam mengimplementasikan ratifikasi Paris Agreement pada 2016. Ratifikasi ini mengharuskan pemerintah menciptakan lingkungan bersih dari sumber energi baru terbarukan (EBT). Sementara itu basis dari BBM merupakan sumber energi fosil.

Komitmen kuat tersebut tecermin pada penetapan target bauran energi dari EBT sebesar 23% pada 2025 dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Irisan kebijakan lain juga tertuang jelas dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O, yaitu bahwa bensin yang harus dijual ke publik minimum harus mengandung RON 91.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2717 seconds (0.1#10.140)