Tekan Kekerasan Gender, TII Dorong Pemerintah Perkuat Layanan bagi Korban
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kaum perempuan acap kali masih menjadi sasaran tindakan kekerasan. Beragam faktor pemicunya, salah satunya yakni kondisi ekonomi di dalam rumah tangga. Apalagi, kondisi pandemi COVID-19 saat ini sangat berdampak terhadap penghasilan yang berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Terkait itu, pusat riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) menyayangkan banyak kasus yang tidak tertangani dan memperdalam fenomena ‘gunung es’ kasus kekerasan berbasis gender dari waktu ke waktu. Situasi ini membutuhkan gerak dari berbagai pemangku kepentingan untuk bertindak secara bersama-sama. (Baca juga: TII: Pandemi Bikin Pekerja Perempuan Rentan Alami Rugi Ekonomi Hingga Kekerasan)
“Persoalannya, terdapat tantangan dari aspek korban dan institusional yang sulit ditangani. Banyak korban kekerasan yang terpinggirkan dari layanan dan akhirnya mengalami dampak psikososial tanpa adanya pendamping psikososial maupun penegakan hukum yang dibutuhkan,” ujar Peneliti bidang Sosial TII Nopitri Wahyuni dalam penjelasan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Selasa (1/12/2020).
Dia melanjutkan peningkatan layanan bagi korban kekerasan berbasis gender merupakan salah satu prioritas refleksi 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Seiring dengan momentum ini, terdapat beberapa hal yang perlu didorong, terutama sinergi untuk memperkuat layanan penanganan kasus melalui peran kementerian/lembaga, pemerintah daerah (Pemda), lembaga pengada layanan maupun pihak lain yang memiliki andil besar dalam mendampingi korban.
Pertama, Pemda harus berkomitmen dalam menjalankan wewenang dalam menekan angka kekerasan terhadap perempuan di daerah. Hal ini diupayakan melalui pemberian dukungan psikologis dan jaminan keamanan bagi pendamping korban di tingkat daerah.
“Pemerintah daerah harus bergiat melakukan sosialisasi secara kreatif terkait dengan dampak-dampak sosio-ekonomi dari COVID-19 dan risiko kekerasan yang dialami dalam dinamika rumah tangga. Hal tersebut juga didukung dengan pemberian informasi lembaga-lembaga pengada layanan dan bentuk-bentuk layanan yang diberikan,” jelas dia.
Kedua, adaptabilitas dan inovasi layanan juga harus memperhitungkan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk lembaga sipil masyarakat dan pihak swasta yang memiliki perhatian penuh terhadap isu kekerasan berbasis gender. Selain perbedaan situasi sosio-ekonomi korban kekerasan, hal itu juga terkait keterbatasan akses layanan bagi korban, kurangnya infrastruktur teknologi, dan perbedaan konteks geografis.
Merujuk kajian Komnas Perempuan pada tahun ini, kelompok responden yang mengalami penambahan pengeluaran rumah tangga selama pandemi maupun berpenghasilan rendah, pemilikan sarana dan prasarana teknologi seperti gawai, laptop, internet, hingga kapasitas penguasaan teknologi, ternyata masih terlampau terbatas.
Belum lagi, adanya teknologi pun menjadi tantangan baru dalam proses pemberian layanan. Tantangan tersebut mencakup akses internet, ketersediaan alat komunikasi yang mendukung pada sisi korban, perbedaan tingkat kenyamanan dalam komunikasi persoalan dan pengalaman melalui infrastruktur teknologi, kendala dalam mendampingi korban melalui layanan teknologi oleh konselor, serta permasalahan pemberian layanan konseling yang cukup memakan waktu.
“Kondisi tersebut semakin memperlebar jarak korban dengan akses layanan. Tantangan ini cukup berbenturan dengan situasi pandemi yang banyak mengakibatkan penundaan layanan secara langsung,” imbuh dia.
Sebagai solusi masalah tersebut, Nopitri menilai kolaborasi dapat diwujudkan dalam pembuatan kelengkapan digital untuk memfasilitasi pelaporan berbasis masyarakat maupun penambahan fasilitas rumah aman bagi korban kekerasan.
Selain itu, perlu juga dukungan anggaran dan fasilitasi berupa pengadaan kegiatan pelatihan pendampingan bagi relawan psikososial. Langkah tersebut bisa menjadi salah satu opsi untuk mengakomodasi permintaan kebutuhan layanan secara lebih luas dengan memotong batasan teknologi yang ada. (Baca juga:Jadi Sejarah AS, Biden Tunjuk Tim Komunikasi yang Semuanya Perempuan)
Mengenai pemberian layanan secara langsung, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Kesehatan juga perlu berkoordinasi untuk menyediakan protokol kesehatan bagi lembaga pengada layanan, terutama bagi pendamping layanan. Pada aspek ini, kebutuhan akan rapid test dapat dipertimbangkan agar pemberian layanan bagi korban dapat berjalan dengan aman.
Terkait itu, pusat riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) menyayangkan banyak kasus yang tidak tertangani dan memperdalam fenomena ‘gunung es’ kasus kekerasan berbasis gender dari waktu ke waktu. Situasi ini membutuhkan gerak dari berbagai pemangku kepentingan untuk bertindak secara bersama-sama. (Baca juga: TII: Pandemi Bikin Pekerja Perempuan Rentan Alami Rugi Ekonomi Hingga Kekerasan)
“Persoalannya, terdapat tantangan dari aspek korban dan institusional yang sulit ditangani. Banyak korban kekerasan yang terpinggirkan dari layanan dan akhirnya mengalami dampak psikososial tanpa adanya pendamping psikososial maupun penegakan hukum yang dibutuhkan,” ujar Peneliti bidang Sosial TII Nopitri Wahyuni dalam penjelasan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Selasa (1/12/2020).
Dia melanjutkan peningkatan layanan bagi korban kekerasan berbasis gender merupakan salah satu prioritas refleksi 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Seiring dengan momentum ini, terdapat beberapa hal yang perlu didorong, terutama sinergi untuk memperkuat layanan penanganan kasus melalui peran kementerian/lembaga, pemerintah daerah (Pemda), lembaga pengada layanan maupun pihak lain yang memiliki andil besar dalam mendampingi korban.
Pertama, Pemda harus berkomitmen dalam menjalankan wewenang dalam menekan angka kekerasan terhadap perempuan di daerah. Hal ini diupayakan melalui pemberian dukungan psikologis dan jaminan keamanan bagi pendamping korban di tingkat daerah.
“Pemerintah daerah harus bergiat melakukan sosialisasi secara kreatif terkait dengan dampak-dampak sosio-ekonomi dari COVID-19 dan risiko kekerasan yang dialami dalam dinamika rumah tangga. Hal tersebut juga didukung dengan pemberian informasi lembaga-lembaga pengada layanan dan bentuk-bentuk layanan yang diberikan,” jelas dia.
Kedua, adaptabilitas dan inovasi layanan juga harus memperhitungkan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk lembaga sipil masyarakat dan pihak swasta yang memiliki perhatian penuh terhadap isu kekerasan berbasis gender. Selain perbedaan situasi sosio-ekonomi korban kekerasan, hal itu juga terkait keterbatasan akses layanan bagi korban, kurangnya infrastruktur teknologi, dan perbedaan konteks geografis.
Merujuk kajian Komnas Perempuan pada tahun ini, kelompok responden yang mengalami penambahan pengeluaran rumah tangga selama pandemi maupun berpenghasilan rendah, pemilikan sarana dan prasarana teknologi seperti gawai, laptop, internet, hingga kapasitas penguasaan teknologi, ternyata masih terlampau terbatas.
Belum lagi, adanya teknologi pun menjadi tantangan baru dalam proses pemberian layanan. Tantangan tersebut mencakup akses internet, ketersediaan alat komunikasi yang mendukung pada sisi korban, perbedaan tingkat kenyamanan dalam komunikasi persoalan dan pengalaman melalui infrastruktur teknologi, kendala dalam mendampingi korban melalui layanan teknologi oleh konselor, serta permasalahan pemberian layanan konseling yang cukup memakan waktu.
“Kondisi tersebut semakin memperlebar jarak korban dengan akses layanan. Tantangan ini cukup berbenturan dengan situasi pandemi yang banyak mengakibatkan penundaan layanan secara langsung,” imbuh dia.
Sebagai solusi masalah tersebut, Nopitri menilai kolaborasi dapat diwujudkan dalam pembuatan kelengkapan digital untuk memfasilitasi pelaporan berbasis masyarakat maupun penambahan fasilitas rumah aman bagi korban kekerasan.
Selain itu, perlu juga dukungan anggaran dan fasilitasi berupa pengadaan kegiatan pelatihan pendampingan bagi relawan psikososial. Langkah tersebut bisa menjadi salah satu opsi untuk mengakomodasi permintaan kebutuhan layanan secara lebih luas dengan memotong batasan teknologi yang ada. (Baca juga:Jadi Sejarah AS, Biden Tunjuk Tim Komunikasi yang Semuanya Perempuan)
Mengenai pemberian layanan secara langsung, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Kesehatan juga perlu berkoordinasi untuk menyediakan protokol kesehatan bagi lembaga pengada layanan, terutama bagi pendamping layanan. Pada aspek ini, kebutuhan akan rapid test dapat dipertimbangkan agar pemberian layanan bagi korban dapat berjalan dengan aman.
(kri)