Perizinan Modus Berulang Korupsi Kepala Daerah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Korupsi yang dilakukan kepala daerah tidak akan pernah ada habisnya. Beragam modus terus dilancarkan guna mengeruk uang rakyat dari berbagai objek. Mulai dari pembangunan proyek infrastruktur, pertambangan, hingga perizinan. Ratusan kepala daerah telah dikerangkeng dan sebagian telah bebas sepertinya bukan menjadi pelajaran berharga.
Teranyar penyidik KPK menangkap Wali Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat yang juga Ketua DPC PDIP Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna. Priatna dan beberapa orang lainnya dibekuk sesaat setelah terjadi transaksi dugaan suap, kemarin. Diduga telah terjadi serah-terima uang sejumlah Rp425 juta dari total komitmen fee lebih dari Rp3 miliar. Transaksi dugaan suap diduga terkait dengan pengurusan izin pembangunan rumah sakit di Kota Cimahi. (Baca: Antara Cacian dan Doa yang Dikabulkan)
Penangkapan Ajay menambah daftar panjang catatan kelam kepala daerah berjuluk "Kota Tentara" yang menjadi daerah otonom sejak Juni 2001. Sebelumnya Wali Kota Cimahi pertama Itoc Tochija ditangkap KPK karena terlibat korupsi pembangunan Pasar Atas dan divonis tujuh tahun penjara. Kemudian Atty Suharti wali kota Cimahi periode 2012 - 2017. Atty terseret kasus pembangunan Pasar Atas Cimahi.
Selain di Cimahi, KPK juga menangap banyak kepala daerah karena korupsi. Ada Bupati Kutai Timur (Kutim) Kalimantan yang juga Ketua Dewan Pertimbangan DPC Partai Nasdem Kutim Ismunandar dan Ketua DPRD Encek Unguria Riarinda Firgasih.
Ismunandar, Encek, dan lima orang lainnya telah ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan suap sejumlah proyek pekerjaan/pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur 2019-2020.
Rektor Universitas Sembilanbelas November (USN) Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) Azhari menilai, perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah sangat berdampak pada proses pelaksanaan pemerintahan di daerah hingga pemenuhan pelayanan publik. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdata di Dapodik)
Dia membeberkan, penangkapan wali kota Cimahi menjadi pertanda bahwa dugaan korupsi yang dilakukan kepala daerah terus berulang. Penangkapan terhadap Priatna juga mengindikasikan dugaan korupsi kepala daerah pasti tidak pernah berhenti dan masih akan terus berlangsung.
"Saya meyakini bahwa kejadian seperti ini akan terus berjadi. Kenapa? Karena sistem pemerintahan kita khususnya pemerintahan daerah memberikan peluang untuk mendorong orang melakukan tindakan dugaan korupsi. Jadi saya pikir akan susah diberantas," ujar Azhari.
Pakar dan peneliti pemerintahan ini membeberkan, berdasarkan kajian dan penelitian sejumlah pihak baik Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), KPK , Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), maupun lembaga swadaya masyarakat menunjukkan bahwa biaya untuk menjadi seorang kepala daerah sangat besar. Untuk tingkat kabupaten/kota, tutur Azhari, seseorang yang maju sebagai calon kepala daerah harus merogoh kocek antara Rp40-Rp50 miliar. Belum lagi kata dia, jika untuk level calon gubernur. (Baca juga: Fungsi Minyak Zaitun untuk Kesehatan)
"Permasalahannya, uang yang dikeluarkan itu akan dikembalikan dari mana atau lewat mana? Ketika terpilih dan sudah menjadi kepala daerah (diduga) mau tidak mau mengembalikannya dengan cara perbuatan koruptif dan melanggar aturan," paparnya.
Teranyar penyidik KPK menangkap Wali Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat yang juga Ketua DPC PDIP Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna. Priatna dan beberapa orang lainnya dibekuk sesaat setelah terjadi transaksi dugaan suap, kemarin. Diduga telah terjadi serah-terima uang sejumlah Rp425 juta dari total komitmen fee lebih dari Rp3 miliar. Transaksi dugaan suap diduga terkait dengan pengurusan izin pembangunan rumah sakit di Kota Cimahi. (Baca: Antara Cacian dan Doa yang Dikabulkan)
Penangkapan Ajay menambah daftar panjang catatan kelam kepala daerah berjuluk "Kota Tentara" yang menjadi daerah otonom sejak Juni 2001. Sebelumnya Wali Kota Cimahi pertama Itoc Tochija ditangkap KPK karena terlibat korupsi pembangunan Pasar Atas dan divonis tujuh tahun penjara. Kemudian Atty Suharti wali kota Cimahi periode 2012 - 2017. Atty terseret kasus pembangunan Pasar Atas Cimahi.
Selain di Cimahi, KPK juga menangap banyak kepala daerah karena korupsi. Ada Bupati Kutai Timur (Kutim) Kalimantan yang juga Ketua Dewan Pertimbangan DPC Partai Nasdem Kutim Ismunandar dan Ketua DPRD Encek Unguria Riarinda Firgasih.
Ismunandar, Encek, dan lima orang lainnya telah ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan suap sejumlah proyek pekerjaan/pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur 2019-2020.
Rektor Universitas Sembilanbelas November (USN) Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) Azhari menilai, perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah sangat berdampak pada proses pelaksanaan pemerintahan di daerah hingga pemenuhan pelayanan publik. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdata di Dapodik)
Dia membeberkan, penangkapan wali kota Cimahi menjadi pertanda bahwa dugaan korupsi yang dilakukan kepala daerah terus berulang. Penangkapan terhadap Priatna juga mengindikasikan dugaan korupsi kepala daerah pasti tidak pernah berhenti dan masih akan terus berlangsung.
"Saya meyakini bahwa kejadian seperti ini akan terus berjadi. Kenapa? Karena sistem pemerintahan kita khususnya pemerintahan daerah memberikan peluang untuk mendorong orang melakukan tindakan dugaan korupsi. Jadi saya pikir akan susah diberantas," ujar Azhari.
Pakar dan peneliti pemerintahan ini membeberkan, berdasarkan kajian dan penelitian sejumlah pihak baik Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), KPK , Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), maupun lembaga swadaya masyarakat menunjukkan bahwa biaya untuk menjadi seorang kepala daerah sangat besar. Untuk tingkat kabupaten/kota, tutur Azhari, seseorang yang maju sebagai calon kepala daerah harus merogoh kocek antara Rp40-Rp50 miliar. Belum lagi kata dia, jika untuk level calon gubernur. (Baca juga: Fungsi Minyak Zaitun untuk Kesehatan)
"Permasalahannya, uang yang dikeluarkan itu akan dikembalikan dari mana atau lewat mana? Ketika terpilih dan sudah menjadi kepala daerah (diduga) mau tidak mau mengembalikannya dengan cara perbuatan koruptif dan melanggar aturan," paparnya.