GP Ansor Minta Kerja Sama dengan Aplikator Prakerja Dihentikan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejak diluncurkan Kemenko Perekonomian Airlangga Hartarto pada 11 April 2020 lalu, Program Kartu Prakerja telah mendapatkan sorotan tajam dari berbagai kalangan masyarakat. Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor juga menilai program ini telah kehilangan nalar empati terhadap krisis (sense of crisis) di tengah wabah COVID-19 yang telah bermutasi cepat dari krisis kesehatan menjadi krisis ekonomi, bahkan kemanusiaan. (Baca juga: Kartu Prakerja yang Tepat Sasaran Dinilai Bisa Selamatkan Kondisi Saat Ini)
“Setiap hari kita mendengar keluhan-keluhan masyarakat dari media-media soal sulit dan belum meratanya bantuan sosial. Kalau dana Rp5,6 triliun digelontorkan untuk platform digital atas nama pelatihan online tentu ini mencederai keadilan masyarakat banyak,” tegas Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, Senin (11/5/2020). (Baca juga: Sri Mulyani Cairkan Insentif Kartu Prakerja Capai Rp1,6 Triliun)
Menurut Yaqut, kebijakan pemerintah yang tetap mempertahankan kemitraan dengan platform-platform digital seperti tak mengganggap adanya pandemi COVID-19. Di masa pandemi, kata dia, masyarakat lebih membutuhkan tambahan pendapatan daripada sekadar pelatihan online yang tidak secara ketat mengukur partisipasi dan peningkatan kualitas peserta. (Baca juga: KH Miftahudin: Tidak Benar Kartu Prakerja Hanya Dinikmati Platform Digital)
“Pemerintah seperti tidak memiliki kemauan cukup kuat untuk benar-benar menolong rakyatnya. Tambahan pendapatan sebesar Rp1 juta tentu jauh lebih berguna daripada hanya memeroleh sertifikat tapi tidak akan tahu apa manfaatnya,” kata Gus Yaqut, sapaannya.
Gus Yaqut mengatakan, alih-alih membantu rakyat yang terdampak Corona, pemerintah justru menjadikan perusahaan-perusahaan digital itu, bahkan di antaranya sudah kelas unicorn (salah satu di antaranya ditengarai sebagai perusahaan asing) bertambah pundi-pundinya dengan duit APBN.
“Ini kayak pemberian cuma-cuma pemerintah dalam jumlah besar kepada korporasi swasta justru di saat negara sedang menghadapi keterbasan anggaran. Selain itu, pelatihan online semacam ini ke depan akan menjadi modus baru bagi korporasi swasta untuk mengambil anggaran pemerintah dalam balutan kegiatan yang di dalamnya tidak menuntut mekanisme pertanggungjawaban publik, kecuali sebatas dokumen administratif,” tandasnya.
Di sisi lain, ujar dia, beberapa sesi pelatihan di Kartu Prakerja mudah ditemukan di banyak platform media sosial dan daring secara secara gratis. Dia menjelaskan, GP Ansor saja sudah membuat pelatihan online gratis dan praktis, seperti kursus Bahasa Korea.
“Kami juga membuat pelatihan online aplikasi web untuk membangun e-commerce, pelatihan aplikasi mobile e-commerce, pelatihan membuat konten Instagram, pelatihan membuat konten motion graphic, hingga kelas-kelas kewirausahaan, dan sebagainya. Pelatihan online gratis dan praktis tersebut seharusnya sangat bisa dilakukan pemerintah dengan anggaran, fasilitas, dan sumber daya yang jauh lebih besar jika memang ada kemauan untuk itu,” ujar Gus Yaqut.
Meski begitu, ujar Gus Yaqut, sejatinya program Kartu Prakerja yang hanya dapat diakses secara daring menjadikannya tidak inklusif dan tidak aksesibel bagi sebagian kalangan masyarakat. Pasalnya, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hampir separuh penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap internet.
“Ini menunjukkan pemerintah terkesan tidak mengenal dan menolong rakyatnya. Lihat saja seorang menteri terkaget-kaget tahu ada wilayah di Indonesia tidak memiliki akses internet dan listrik. Bagaimana Program Kartu Prakerja bisa dirasakan manfaatnya kalau kayak begini,” tandasnya.
“Setiap hari kita mendengar keluhan-keluhan masyarakat dari media-media soal sulit dan belum meratanya bantuan sosial. Kalau dana Rp5,6 triliun digelontorkan untuk platform digital atas nama pelatihan online tentu ini mencederai keadilan masyarakat banyak,” tegas Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, Senin (11/5/2020). (Baca juga: Sri Mulyani Cairkan Insentif Kartu Prakerja Capai Rp1,6 Triliun)
Menurut Yaqut, kebijakan pemerintah yang tetap mempertahankan kemitraan dengan platform-platform digital seperti tak mengganggap adanya pandemi COVID-19. Di masa pandemi, kata dia, masyarakat lebih membutuhkan tambahan pendapatan daripada sekadar pelatihan online yang tidak secara ketat mengukur partisipasi dan peningkatan kualitas peserta. (Baca juga: KH Miftahudin: Tidak Benar Kartu Prakerja Hanya Dinikmati Platform Digital)
“Pemerintah seperti tidak memiliki kemauan cukup kuat untuk benar-benar menolong rakyatnya. Tambahan pendapatan sebesar Rp1 juta tentu jauh lebih berguna daripada hanya memeroleh sertifikat tapi tidak akan tahu apa manfaatnya,” kata Gus Yaqut, sapaannya.
Gus Yaqut mengatakan, alih-alih membantu rakyat yang terdampak Corona, pemerintah justru menjadikan perusahaan-perusahaan digital itu, bahkan di antaranya sudah kelas unicorn (salah satu di antaranya ditengarai sebagai perusahaan asing) bertambah pundi-pundinya dengan duit APBN.
“Ini kayak pemberian cuma-cuma pemerintah dalam jumlah besar kepada korporasi swasta justru di saat negara sedang menghadapi keterbasan anggaran. Selain itu, pelatihan online semacam ini ke depan akan menjadi modus baru bagi korporasi swasta untuk mengambil anggaran pemerintah dalam balutan kegiatan yang di dalamnya tidak menuntut mekanisme pertanggungjawaban publik, kecuali sebatas dokumen administratif,” tandasnya.
Di sisi lain, ujar dia, beberapa sesi pelatihan di Kartu Prakerja mudah ditemukan di banyak platform media sosial dan daring secara secara gratis. Dia menjelaskan, GP Ansor saja sudah membuat pelatihan online gratis dan praktis, seperti kursus Bahasa Korea.
“Kami juga membuat pelatihan online aplikasi web untuk membangun e-commerce, pelatihan aplikasi mobile e-commerce, pelatihan membuat konten Instagram, pelatihan membuat konten motion graphic, hingga kelas-kelas kewirausahaan, dan sebagainya. Pelatihan online gratis dan praktis tersebut seharusnya sangat bisa dilakukan pemerintah dengan anggaran, fasilitas, dan sumber daya yang jauh lebih besar jika memang ada kemauan untuk itu,” ujar Gus Yaqut.
Meski begitu, ujar Gus Yaqut, sejatinya program Kartu Prakerja yang hanya dapat diakses secara daring menjadikannya tidak inklusif dan tidak aksesibel bagi sebagian kalangan masyarakat. Pasalnya, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hampir separuh penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap internet.
“Ini menunjukkan pemerintah terkesan tidak mengenal dan menolong rakyatnya. Lihat saja seorang menteri terkaget-kaget tahu ada wilayah di Indonesia tidak memiliki akses internet dan listrik. Bagaimana Program Kartu Prakerja bisa dirasakan manfaatnya kalau kayak begini,” tandasnya.