Kebebasan Sipil di Indonesia Alami Kemunduran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebebasan penting ditegakkan demi harkat dan martabat manusia. Norma ini berlaku bagi kebebasan sipil yang berkenaan dengan kualitas demokrasi substantif, juga bagi kebebasan ekonomi yang menyangkut kesamaan peluang bagi setiap warga negara untuk meningkatkan kesejahteraannya. (Baca juga: Pamer Baca Buku How Democracies Dies Dinilai Paradoks Demokrasi Ala Anies)
Direktur Eksekutif Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS) Nanang Sunandar mengatakan, selain terkait dengan kualitas demokrasi, kebebasan sipil juga terkait dengan integritas personal warga negara. Karena itu, kebebasan sipil tidak boleh dikesampingkan dalam pembangunan, meskipun atas alasan mendorong kemajuan ekonomi. (Baca juga: Politik Dinasti pada Pilkada 2020 Bahayakan Demokrasi Tingkat Lokal)
Menurut Nanang, kondisi kebebasan ekonomi di Indonesia cenderung membaik dari tahun ke tahun. Sayangnya, kondisi kebebasan sipil cenderung memburuk, ditandai antara lain dengan meningkatnya pembatasan dan pelanggaran atas kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan kebebasan pribadi. “Berdasarkan data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dari Badan Pusat Statistik (BPS), skor aspek kebebasan sipil terus turun, dari 80,79 pada 2011 menjadi 77,2 pada 2019,” terang Nanang di Jakarta (Rabu, 25/11/2020). (Baca juga: MPR Sebut Demokrasi Indonesia Lebih Baik dari Amerika)
Dalam diskusi daring “Data dan Fakta Kebebasan Sipil di Indonesia” yang diselenggarakan oleh INDEKS dan Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia, Nanang menekankan pentingnya toleransi dalam ranah sosial dan kebijakan publik yang antidiskriminasi dalam ranah politik untuk memajukan kebebasan sipil. Bersikap toleran, menurut Nanang, berarti bertenggang rasa atas perilaku seseorang dalam ranah personalnya, selama perilaku personal itu tidak merenggut kebebasan pihak lain.
“Apakah saya menganut agama A atau B atau bahkan tidak beragama, minum alkohol atau jus, mencintai laki-laki atau perempuan, misalnya, itu semua tidak boleh ditentukan secara paksa oleh pihak luar, termasuk oleh keputusan politik seperti undang undang atau regulasi lain yang mengklaim mewakili kehendak orang banyak,” ujar Nanang.
Menurut Nanang, demi tegaknya kebebasan sipil, toleransi dalam kehidupan sosial perlu didukung oleh perangkat regulasi dan kebijakan publik yang anti-diskriminasi dan tidak memfavoritkan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. “Tanpa kebebasan sipil, demokrasi rentan melahirkan kebijakan publik dan keputusan politik yang didasarkan pada preferensi kelompok masyarakat yang terbesar, entah dalam hal jumlah pengikut, kekuatan modal, atau pengaruh politik,” kata Nanang.
Dalam sesi sebelumnya, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut kemunduran kondisi kebebasan sipil di Indonesia tercermin tidak hanya dalam data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dari BPS, tapi juga data dari berbagai lembaga internasional seperti Freedom House dan Economist Intelligence Unit.
Mengutip Thomas Power dan Eve Warburton (2020), Usman menyinggung dua level regresi dalam demokrasi Indonesia. Dari bawah, regresi terjadi karena menguatnya illiberal movement dan meluasnya dukungan akar rumput pada agenda nasionalisme sempit dan otoritarianisme. Dari atas, regresi terjadi karena melemahnya ruang sipil, kritisisme publik, dan oposisi politik. Selain itu, menurut Usman, melemahnya institusi-institusi politik, menguatnya populisme, dan polarisasi di masyarakat merupakan faktor-faktor yang mengakibatkan kemunduran demokrasi substantif di Indonesia.
Direktur Eksekutif Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS) Nanang Sunandar mengatakan, selain terkait dengan kualitas demokrasi, kebebasan sipil juga terkait dengan integritas personal warga negara. Karena itu, kebebasan sipil tidak boleh dikesampingkan dalam pembangunan, meskipun atas alasan mendorong kemajuan ekonomi. (Baca juga: Politik Dinasti pada Pilkada 2020 Bahayakan Demokrasi Tingkat Lokal)
Menurut Nanang, kondisi kebebasan ekonomi di Indonesia cenderung membaik dari tahun ke tahun. Sayangnya, kondisi kebebasan sipil cenderung memburuk, ditandai antara lain dengan meningkatnya pembatasan dan pelanggaran atas kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan kebebasan pribadi. “Berdasarkan data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dari Badan Pusat Statistik (BPS), skor aspek kebebasan sipil terus turun, dari 80,79 pada 2011 menjadi 77,2 pada 2019,” terang Nanang di Jakarta (Rabu, 25/11/2020). (Baca juga: MPR Sebut Demokrasi Indonesia Lebih Baik dari Amerika)
Dalam diskusi daring “Data dan Fakta Kebebasan Sipil di Indonesia” yang diselenggarakan oleh INDEKS dan Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia, Nanang menekankan pentingnya toleransi dalam ranah sosial dan kebijakan publik yang antidiskriminasi dalam ranah politik untuk memajukan kebebasan sipil. Bersikap toleran, menurut Nanang, berarti bertenggang rasa atas perilaku seseorang dalam ranah personalnya, selama perilaku personal itu tidak merenggut kebebasan pihak lain.
“Apakah saya menganut agama A atau B atau bahkan tidak beragama, minum alkohol atau jus, mencintai laki-laki atau perempuan, misalnya, itu semua tidak boleh ditentukan secara paksa oleh pihak luar, termasuk oleh keputusan politik seperti undang undang atau regulasi lain yang mengklaim mewakili kehendak orang banyak,” ujar Nanang.
Menurut Nanang, demi tegaknya kebebasan sipil, toleransi dalam kehidupan sosial perlu didukung oleh perangkat regulasi dan kebijakan publik yang anti-diskriminasi dan tidak memfavoritkan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. “Tanpa kebebasan sipil, demokrasi rentan melahirkan kebijakan publik dan keputusan politik yang didasarkan pada preferensi kelompok masyarakat yang terbesar, entah dalam hal jumlah pengikut, kekuatan modal, atau pengaruh politik,” kata Nanang.
Dalam sesi sebelumnya, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut kemunduran kondisi kebebasan sipil di Indonesia tercermin tidak hanya dalam data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dari BPS, tapi juga data dari berbagai lembaga internasional seperti Freedom House dan Economist Intelligence Unit.
Mengutip Thomas Power dan Eve Warburton (2020), Usman menyinggung dua level regresi dalam demokrasi Indonesia. Dari bawah, regresi terjadi karena menguatnya illiberal movement dan meluasnya dukungan akar rumput pada agenda nasionalisme sempit dan otoritarianisme. Dari atas, regresi terjadi karena melemahnya ruang sipil, kritisisme publik, dan oposisi politik. Selain itu, menurut Usman, melemahnya institusi-institusi politik, menguatnya populisme, dan polarisasi di masyarakat merupakan faktor-faktor yang mengakibatkan kemunduran demokrasi substantif di Indonesia.
(cip)